Kamis, 21 Oktober 2010

Pengetahuan sumber daya,motivasi,sikap,kepribadian dan gaya hidup

TUGAS SOFTSKILL MENGENAI PENGETAHUAN,SUMBERDAYA,MOTIVASI,BUDAYA,SIKAP DAN GAYA HIDUP
NAMA : Dimas Yuliando




NPM :10208383




KELAS :3EA10




MATERI :Prilaku Konsumen




JUDUL : Pengetahuan sumber daya,motivasi,sikap,kepribadian dan gaya hidup


















UNIVERSITAS GUNADARMA
KALIMALANG 2010/2011




PENULISAN ILMIAH MENGENAI SISTEMATIKA PERILAKU KONSUMEN

BAB I PENDAHULUAN

• Latar belakang masalah

• Rumusan masalah

• Tujuan penelitian

• Kegunaan penelitian

• Sistematika pembahasan



BAB II LANDASAN TEORI

• Isi dan pembahasan


BAB III METODELOGI PENELIAN

• Jenis dan sumber data

• Metode pengumpulan data

• Teknik analisa


BAB IV HASIL PEMBASAN PENELITIAAN

• Pembahasan
BAB V.PENUTUP
• Kesimpulan
• Daftar pustaka







I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Homo homini socius bahwa manusia adalah makhluk sosial. Psikologi adalah studi tentang perilaku manusia. Psikologi sosial membahas bagaimana individu/kelompok dapat mempengaruhi dan mengubah perilaku orang lain. Psikologi keorganisasian secara khusus membahas perilaku manusia dalam lingkungan keorganisasian dan meneliti pengaruh organisasi terhadap individu dan pengaruh individu terhadap organisasi. Sosiologi berusaha memberikan arti dan menguraikan perilaku kelompok dan berusaha keras mengembangkan perumusan tentang sikap manusia, interaksi sosialnya, dan kebudayaannya. Antropologi memberikan pengetahuan dan konsep yang luas tentang kebudayaan manusia, bagaimana perilaku sosial, teknis, dan keluarga.begitupun dalam memberikan motivasi,agar dapat menjadi pribadi yang berinteraksi dengan baik di masyarakat.



1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belang permasalahan yang ada, maka dikemukakan perumusan masalah sebagai berikut :

A.makna makna para ahli mengenai bidang budaya dan lainnya?

B.sejarah singkat dan abstraksi?

C.Dasar – dasar penjabaran yang menjadi pokok permasalahan?


1.3. Tujuan dan Manfaat

Tujuan yang ingin dicapai pada studi ini adalah :

A. Mengetahui dasar mengenai pengetahuan,sumber daya,motivasi,kepribadian,nilai
maupun budaya yang ada.

B.Mengetahui dasar dan pengertian dari bidang yang dibahas diatas.


1.4 Kegunaan penelitian

A.Menambah pemahaman dasar mengenai kepribadian,motivasi dan yang lainnya?

B.Menaambah pemahaman mengenai dasar pengembangan sikap dan gaya hidup?






II. LANDASAN TEORI

2.1sistematika pembahsan.

Keith Davis dan John W Newstrom (1993) : empat asumsi dasar memahami manusia :
1. Perbedaan individu, manusia dilahirkan membawa keunikan masing-masing. Dengan memahami perilaku tertentu seseorang, kita akan memahami dan mencari variable penyebab perbedaan prestasi individu. Variabel yang mempengaruhi perilaku individu a.l. : a)variable fisiologis (fisik dan mental), b)variable psikologis (persepsi, sikap, kepribadian, belajar, motivasi), c)variable lingkungan (keluarga, kebudayaan, kelas sosial). Gibson, dkk tentang perilaku individu : (a)perilaku timbul karena ada stimulus atau motivasi, (b)perilaku diarahkan kepada tujuan, (c)perilaku yang terarah pada tujuan dapat terganggu oleh frustasi, konflik, dan kecemasan.
2. Orang seutuhnya, seorang manusia perlu dilihat secara utuh, bukan sepotong-sepotong, karena dapat menyesatkan pandangan orang terhadapnya.
3. Perilaku termotivasi, sebab mengapa seorang karyawan bekerja lebih baik daripada karyawan lain? Gibson, dkk : a.l. sebab beda kemampuan, naluri, imbalan intrinsik, dan ekstrinsik, tingkat aspirasi dan latar belakang seseorang. Campbell dkk (1970) : motivasi berkaitan dengan (a)arah perilaku, (b)kekuatan respon, setelah memilih mengikuti tindakan tertentu, (c)ketahanan perilaku, berapa lama terus-menerus berperilaku tertentu.
4. Martabat/nilai manusia, unsur manusia perlu dibedakan dari unsur lain. Miftah Thoha : perbedaan karakteristik manusia, beda pengetahuan, kemampuan, kebutuhan, kepercayaan, pengalaman, pengharapan, dll.
















III.METODELOGI
1. Pendekatan Kognitif
Pengenalan cenderung bersifat individual. Sumber teori = Psikologi. Littlejohn (1992) : kaitan antara stimuli (S) yang berfungsi sebagai masukan (input) dan jawaban/respon (R) berupa perilaku yang berfungsi sebagai keluaran (output), ada pemrosesan informasi. Miftah Thoha (1983) : perilaku tersusun secara teratur. Ada rangsangan/pemrosesan untuk mengetahui/mengenal (cognition), lalu dijawab dengan perilaku.
2. Pendekatan Kepuasan
Adanya faktor dalam diri yang menguatkan (energize), mengarahkan (direct), mendukung (sustain), dan menghentikan (stop) perilaku. Abraham H. Maslow, teori hierarki kebutuhan : a)manusia mempunyai kebutuhan yang berbeda yang ingin dipenuhinya, b)kebutuhan yang mendesak dipenuhi lebih dulu, itulah yang menyebabkan orang berperilaku, c)kebutuhan yang sudah terpenuhi tidak lagi menjadi pendorong perilaku. Dikenal dengan 5 jenjang kebutuhan :
1)kebutuhan fisiologis (makan, minum, tempat tinggal, seks, dll)
2)keselamatan dan keamanan
3)afiliasi, sosial, dan cinta
4)Penghargaan/status
5)Aktualisasi diri.
Catatan penting dalam teori ini : a)asumsi, manusia mempunyai kebutuhan untuk berkembang dan maju, b)adanya kebutuhan tingkat tinggi, yaitu Penghargaan dan Aktualisasi Diri.
Termasuk pendekatan kepuasan : Frederick Herzberg, teori dua-faktor : 2 faktor yang membuat orang puas/tidak puas :
 factor Hygiene (kesehatan) = mempertahankan semangat kerja, bila faktor ini dipenuhi netral saja, tetapi bila tidak dipenuhi timbul ketidakpuasan, misalnya = gaji
 factor Motivator (motif) = penghargaan dan aktualisasi wewenang, pengakuan, dsb. Bila dipenuhi timbul kepuasan, tak dipenuhi = netral saja, dengan terminology berorientasi kepada pekerjaan. Dua kontinum untuk dapat menafsirkan kepuasan kerja secara tepat, yaitu bila suatu kondisi kerja menyebabkan kepuasan kerja maka bila kondisi kerja itu tidak ada akan menimbulkan ketidakpuasan dan sebaliknya.
David Mc Clelland, teori motivasi atau Teori Kebutuhan yang dipelajari : kebanyakan kebutuhan manusia diperoleh dari adanya kebudayaan, yaitu :
(1)kebutuhan berprestasi (need for achievement – N-Ach)
(2)kebutuhan afiliasi (need for affiliation – N-Aff)
(3)kebutuhan kekuasaan (need for power – N-Pow).
Hampir mirip Maslow, kebutuhan yang mendesak memotivasi orang tsb memenuhi. Bedanya : ada analisa kebutuhan dapat dipelajari oleh seseorang. Kebudayaan bangsa yang ekonominya lemah dapat ditingkatkan secara cepat dengan merangsang rakyat mempunyai N-Ach tinggi. Bukti-buktinya sbb : mereka yang mempunyai N-Ach tinggi : (1)lebih senang menetapkan sendiri tujuan hasil karyanya, (2)menghindari hasil karya yang mudah dan sukar lebih senang kepada tujuan yang sebatas kemampuannya, (3)menyenangi umpan balik yang cepat tampak dan efisien tentang hasil karyanya, (4)senang bertanggung jawab pada pemecahan masalah. N-aff = ada 2, Approach (ingin pendekatan) dan Avondance (takut sendiri). N-pow = ada 2, Sosial (ingin mengurus tujuan kelompok) dan Personal (ingin menaklukan lawan).
3. Pendekatan Psikoanalitik
Pendekatan ini menunjukkan bahwa perilaku manusia dikuasai kepribadian dan personalianya.






IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


INTRODUKSI
Homo homini socius bahwa manusia adalah makhluk sosial. Psikologi adalah studi tentang perilaku manusia. Psikologi sosial membahas bagaimana individu/kelompok dapat mempengaruhi dan mengubah perilaku orang lain. Psikologi keorganisasian secara khusus membahas perilaku manusia dalam lingkungan keorganisasian dan meneliti pengaruh organisasi terhadap individu dan pengaruh individu terhadap organisasi. Sosiologi berusaha memberikan arti dan menguraikan perilaku kelompok dan berusaha keras mengembangkan perumusan tentang sikap manusia, interaksi sosialnya, dan kebudayaannya. Antropologi memberikan pengetahuan dan konsep yang luas tentang kebudayaan manusia, bagaimana perilaku sosial, teknis, dan keluarga.
Keith Davis dan John W Newstrom (1993) : empat asumsi dasar memahami manusia :
1. Perbedaan individu, manusia dilahirkan membawa keunikan masing-masing. Dengan memahami perilaku tertentu seseorang, kita akan memahami dan mencari variable penyebab perbedaan prestasi individu. Variabel yang mempengaruhi perilaku individu a.l. : a)variable fisiologis (fisik dan mental), b)variable psikologis (persepsi, sikap, kepribadian, belajar, motivasi), c)variable lingkungan (keluarga, kebudayaan, kelas sosial). Gibson, dkk tentang perilaku individu : (a)perilaku timbul karena ada stimulus atau motivasi, (b)perilaku diarahkan kepada tujuan, (c)perilaku yang terarah pada tujuan dapat terganggu oleh frustasi, konflik, dan kecemasan.
2. Orang seutuhnya, seorang manusia perlu dilihat secara utuh, bukan sepotong-sepotong, karena dapat menyesatkan pandangan orang terhadapnya.
3. Perilaku termotivasi, sebab mengapa seorang karyawan bekerja lebih baik daripada karyawan lain? Gibson, dkk : a.l. sebab beda kemampuan, naluri, imbalan intrinsik, dan ekstrinsik, tingkat aspirasi dan latar belakang seseorang. Campbell dkk (1970) : motivasi berkaitan dengan (a)arah perilaku, (b)kekuatan respon, setelah memilih mengikuti tindakan tertentu, (c)ketahanan perilaku, berapa lama terus-menerus berperilaku tertentu.
4. Martabat/nilai manusia, unsur manusia perlu dibedakan dari unsur lain. Miftah Thoha : perbedaan karakteristik manusia, beda pengetahuan, kemampuan, kebutuhan, kepercayaan, pengalaman, pengharapan, dll.
Masalah yang paling vital dalam organisasi yang menjadi tantangan manajer adalah : manusia dan perilakunya. Tiga pendekatan dalam memahami terjadinya perilaku :
1. Pendekatan Kognitif
Pengenalan cenderung bersifat individual. Sumber teori = Psikologi. Littlejohn (1992) : kaitan antara stimuli (S) yang berfungsi sebagai masukan (input) dan jawaban/respon (R) berupa perilaku yang berfungsi sebagai keluaran (output), ada pemrosesan informasi. Miftah Thoha (1983) : perilaku tersusun secara teratur. Ada rangsangan/pemrosesan untuk mengetahui/mengenal (cognition), lalu dijawab dengan perilaku.
2. Pendekatan Kepuasan
Adanya faktor dalam diri yang menguatkan (energize), mengarahkan (direct), mendukung (sustain), dan menghentikan (stop) perilaku. Abraham H. Maslow, teori hierarki kebutuhan : a)manusia mempunyai kebutuhan yang berbeda yang ingin dipenuhinya, b)kebutuhan yang mendesak dipenuhi lebih dulu, itulah yang menyebabkan orang berperilaku, c)kebutuhan yang sudah terpenuhi tidak lagi menjadi pendorong perilaku. Dikenal dengan 5 jenjang kebutuhan :
1)kebutuhan fisiologis (makan, minum, tempat tinggal, seks, dll)
2)keselamatan dan keamanan
3)afiliasi, sosial, dan cinta
4)Penghargaan/status
5)Aktualisasi diri.
Catatan penting dalam teori ini : a)asumsi, manusia mempunyai kebutuhan untuk berkembang dan maju, b)adanya kebutuhan tingkat tinggi, yaitu Penghargaan dan Aktualisasi Diri, c)kebutuhan yang belum dipenuhi sama sekali dapat menimbulkan kesulitan bagi manajer, berupa frustasi, konflik, dan tekanan intern.
Termasuk pendekatan kepuasan : Frederick Herzberg, teori dua-faktor : 2 faktor yang membuat orang puas/tidak puas :
 factor Hygiene (kesehatan) = mempertahankan semangat kerja, bila faktor ini dipenuhi netral saja, tetapi bila tidak dipenuhi timbul ketidakpuasan, misalnya = gaji
 factor Motivator (motif) = penghargaan dan aktualisasi wewenang, pengakuan, dsb. Bila dipenuhi timbul kepuasan, tak dipenuhi = netral saja, dengan terminology berorientasi kepada pekerjaan. Dua kontinum untuk dapat menafsirkan kepuasan kerja secara tepat, yaitu bila suatu kondisi kerja menyebabkan kepuasan kerja maka bila kondisi kerja itu tidak ada akan menimbulkan ketidakpuasan dan sebaliknya.
David Mc Clelland, teori motivasi atau Teori Kebutuhan yang dipelajari : kebanyakan kebutuhan manusia diperoleh dari adanya kebudayaan, yaitu :
(1)kebutuhan berprestasi (need for achievement – N-Ach)
(2)kebutuhan afiliasi (need for affiliation – N-Aff)
(3)kebutuhan kekuasaan (need for power – N-Pow).
Hampir mirip Maslow, kebutuhan yang mendesak memotivasi orang tsb memenuhi. Bedanya : ada analisa kebutuhan dapat dipelajari oleh seseorang. Kebudayaan bangsa yang ekonominya lemah dapat ditingkatkan secara cepat dengan merangsang rakyat mempunyai N-Ach tinggi. Bukti-buktinya sbb : mereka yang mempunyai N-Ach tinggi : (1)lebih senang menetapkan sendiri tujuan hasil karyanya, (2)menghindari hasil karya yang mudah dan sukar lebih senang kepada tujuan yang sebatas kemampuannya, (3)menyenangi umpan balik yang cepat tampak dan efisien tentang hasil karyanya, (4)senang bertanggung jawab pada pemecahan masalah. N-aff = ada 2, Approach (ingin pendekatan) dan Avondance (takut sendiri). N-pow = ada 2, Sosial (ingin mengurus tujuan kelompok) dan Personal (ingin menaklukan lawan).
3. Pendekatan Psikoanalitik
Pendekatan ini menunjukkan bahwa perilaku manusia dikuasai kepribadian dan personalianya.
a. Einstein : mengapa dasar pembawaan halus dan gerak hati manusia dapat menimbulkan perilaku agresif? karena keterbatasan pengendalian dirinya?
b. Sigmund Freud (pelopor psiko-analis) : menjawab surat Einstein : manusia mempunyai naluri/instict yang mudah menyulut semangat berperang, naluri untuk menghancurkan, ada 2 pendorong kehidupan manusia : (1)Eros = naluri untuk hidup, kecenderungan untuk bersatu, penjagaan diri, seks, dan cinta. (2)Thanatos = harapan kematian yang menghimpun manusia ke arah kehancuran. Ada mekanisme pertahanan untuk menyesuaikan keinginan sebagai kenyataan eksternal dan nilai-nilai internal (kesadaran). 3 unsur yang menimbulkan konflik (a)id (das-es) : mendasarkan pada kesenangan, tidak rasional, impulsive, condong pada apa yang dirasa baik, (b)ego (das-ich) : logika, yang mungkin/tak mungkin, patut/tidak, jalan tengah, (c)superego (das-uberich) : alam ketidaksadaran manusia, hati nurani, moral, nilai-nilai individu, condong pada yang dirasa benar.
c. Gibson dkk : sikap adalah kesiap-siagaan mental yang diorganisasi dengan pengalaman, tanggapan orang lain, objek dan lain-lain yang bersifat tetap dan berubah, tergantung tingkat pemahaman terhadap lingkungan. Sikap menentukan perilaku sebab sikap berhubungan dengan persepsi, kepribadian, belajar, dan motivasi. Kepribadian dipengaruhi faktor budaya dan sosial; (1)kepribadian adalah keseluruhan yang terorganisasi bila tidak maka individu tidak mempunyai arti, (2)pola-pola kepribadian dapat diamati dan diukur, (3)kepribadian memiliki dasar biologis yang berkembang dan berubah menyesuaikan diri dengan lingkungan dan budaya, (4)kepribadian punya segi-segi yang dangkal (ingin menguasai) dan inti yang lebih dalam (sentimen, perasaan wewenang), (5)kepribadian mencakup ciri yang umum dan khas, tiap orang berbeda tapi ada hal-hal yang sama.
d. Porter / Samovar : isi dan pengembangan sikap dipengaruhi kepercayaan & nilai-nilai yang dianut.
e. Solomon E Asch : semua sikap bersumber pada organisasi kognitif, yaitu informasi dan pengetahuan yang dimiliki seseorang. Sikap pada seseorang/sesuatu tergantung "citra" kita pada itu. Citra diperoleh dari sumber-sumber informasi.
f. Leon Festinger : Disonansi Kognitif : suatu keadaan bila terjadi ketidaksesuaian antara komponen kognitif dan komponen perilaku, yaitu suatu bentuk yang tidak konsisten dan tidak disenangi sehingga orang itu mengurangi disonansi untuk mengembalikan ke keadaan semula. Kesenjangan antara sikap dan perilaku adalah karena tidak ada konsistensi antara sikap yang tersembunyi dan perilaku yang terbuka.
g. Russel G Geen (1976) ingin menjawab, bagaimana orang bereaksi terhadap tekanan hidup, mengatasi, dan apa yang terjadi bila penyelesaian itu tidak efektif. Kepribadian adalah seperangkat perilaku yang membentuk karakter respon seseorang terhadap situasi dan waktu tertentu.
h. Salvatore R Maddi (1980) : Kepribadian adalah ciri yang relatif mantap, kecenderungan dan perangai yang dibentuk dari faktor keturunan, lingkungan, sos-bud. Kekuatan-kekuatan yang membentuk kepribadian :
1.keturunan
2.kebudayaan
3.hubungan keluarga
4.kelas sosial, kelompok dll.
Tiga pendekatan Teori Kepribadian :
a) Pendekatan Ciri (Traits)
Gordon Allport (1966), ciri (traits) adalah kecenderungan yang dapat diduga, mengarahkan perilaku individu pada konsistensi dan khas, sifat menetap dengan jangkauan umum dan luas, bagian yang membentuk kepribadian, petunjuk jalan tindakan, dan sumber keunikan. 3 asumsi ciri : (1)membuat berbagai stimulus (S) berfungsi sama, (2)penyebab perilaku dan alat menjelaskan/mengurai perilaku, (3)pembentukan ciri terpisah secara kultural
b) Pendekatan Psikodinamik
yaitu teori Sigmund Freud tentang id, ego, dan superego. Kepribadian dibentuk dari pengalaman ketika kecil, proses mental sehingga 3 unsur itu menyusun. Konflik membentuk 3 unsur itu maka konflik membentuk kepribadian.
c) Pendekatan Humanistik
Carl Rogers (1977) : harus mendengar apa yang dikatakan orang lain mengenai diri kita, mempersepsikan dunia dan kekuatan yang mempengaruhi, kemudian mengaktualisasi diri sebagai usaha terus-menerus mewujudkan potensi dengan cara berpusat pada masalah, kreatif, demokratis, mengadakan hubungan pribadi, dan menerima orang lain apa adanya. Kelemahannya : condong ke individualis.
Dua faktor penghubung kepribadian dan perilaku:
1. Locus of control (tempat pengendalian)
Rotter : seseorang menguasai nasib diri sendiri, dikendalikan oleh kekuatan dalam diri sendiri disebut : orang internalizer. Mereka yang dikendalikan dari luar disebut : externalizer. Sifat orang internalizer lahir karena : tidak merasa ditekan orang lain, perilaku berpusat pada pekerjaan, berprestasi tinggi, tidak emosional.
2. Androginy (konsep kejantanan & kewanitaan)
Sandra L Bem (1974) : sifat jantan = ambisi, percaya diri, dll. Sifat wanita = kasih sayang, lemah lembut dll. Sifat netral =jujur, bahagia, dll. Androgini adalah mereka yang mendapat nilai tinggi secara bersamaan pada dimensi jantan/wanita. Sifat orang androgini : lebih bebas, mengenali dirinya, suka membantu.
Spence dan Helmreich (1978) : orang androgini = harga diri tinggi, pandai bergaul, orientasi pada hasil tinggi.
Davis & Newstrom : peran adalah pola tindakan yang diharapkan dari budaya tsb seseorang atau pola perilaku yang diharapkan pada posisi tertentu yang mencerminkan hak, kewajiban, dan tanggung jawab posisi.
Role set = pelbagai peran yang berbeda-beda. Role conflict = konflik peran yang menyebabkan emosi dan keraguan dalam melangkah.
Szilagyi (1977) : ketepatan persepsi peran dapat mempengaruhi penentuan hasil karya dalam organisasi.

BUDAYA KERJA
Davis & Newstrom : Administrasi = proses kerjasama 2 orang/lebih dalam organisasi dengan teknologi/rasionalitas untuk mencapai tujuan. Organisasi adalah wadah adminisrasi.
Edward T Hall (1959) : budaya bersifat relatif, tidak dapat menilai budaya lain dengan budaya sendiri, kecuali ada algoritma yang menghubungkan 2 budaya itu.
Kroeber & Kluckhohn (1952) : kebudayaan adalah pola terungkap dan tersirat tentang perilaku yang diwarisi dan disebarkan melalui lambang-lambang dalam suatu kelompok, termasuk perwujudannya pada benda-benda, gagasan dan nilai. Sistem kebudayaan adalah : hasil tindakan yang menjadi kerangka acuan tindakan sama di masa depan.
Junus Melalatoa : budaya adalah sistem ide/gagasan milik suatu masyarakat yang dijadikan acuan tingkah laku sosial masyarakat ybs. Sistem budaya : pengetahuan yang meliputi pandangan hidup, keyakinan, nilai, norma, hukum suatu masyarakat melalui proses belajar untuk menata, menilai, menginterpretasi sejumlah benda dan peristiwa dalam kehidupan masyarakat ybs.
Deddy Mulyana / Jalaludin Rahmat : budaya adalah tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hierarki, agama, konsep, objek materi, dan milik kelompok orang dari generasi ke generasi melalui usaha individu dan kelompok yang tampak dalam pola-pola bahasa, kegiatan, dan perilaku yang berfungsi sebagai model penyesuaian diri.
Ciri-ciri kebudayaan adalah :
a) kebudayaan adalah hasil belajar dan tidak terkait dengan biologis
b) sistem nilai yang dianut dan dihayati segenap anggota
c) hidup dari generasi ke generasi dan berkembang
d) bersifat simbolik/lambang yang mengandung nilai
e) mempunyai pola, keteraturan dan terintegrasi bulat
f) bersifat adaptif terhadap lingkungan
Isi / substansi kebudayaan :
 yang termasuk tindakan nyata yaitu yang tertangkap panca indera
 setengah nyata, tafsiran dan pemaknaan tindakan nyata
 yang abstrak, gagasan dan asumsi
Edgar H. Schein (1992) : budaya organisasi adalah output dan hasil kreasi ke-pemimpinan dalam organisasi. Budaya dan kepemimpinan adalah konsep yang tidak dapat dipisahkan. Kepemimpinan menciptakan budaya organisasi, baik pemimpin pelopor (founding father) maupun penerus.
Tiga hal tentang budaya organisasi :
1. masalah sosialisasi, berkenaan pembelajaran budaya dari generasi ke generasi
2. masalah perilaku, sebagai proses alih budaya
3. masalah organisasi besar–kecil, budaya yang ada di sub-sub organisasi.
Struktur budaya organisasi :
a) Lapisan terdalam, nilai yang bertahan lama. Edgar H. Schein : yang diajarkan yang di permukaan/ teratas saja.
b) Lapisan tengah, yang setengah nyata dan interpretatif
c) Lapisan teratas, tindakan konkret. Kotter & Heskett (1992) : perilaku anggota lama diikuti anggota baru.
Faktor pembentuk budaya organisasi :
1. kesesuaian dengan budaya masyarakat
2. kepemimpinan, sebagai pencetus, perintis, proses sosialisasi, komunikator, penyusun kebijakan
3. sejarah dan tradisi organisasi
4. sistem sosial politik
5. peraturan
6. lingkungan yang berubah.
Manfaat memahami budaya organisasi :
 meningkatkan dinamika kelompok
 mengatasi kegagalan komunikasi dan kerjasama
 menghilangkan banyak penolakan
 memberi daya hidup dan adaptasi terhadap lingkungan yang berubah.
Unsur-unsur budaya :
1.William Mc Dougal : pentingnya faktor-faktor personal (instinc) dalam interaksi masyarakat, misalnya : Instinc berkelahi, cinta dsb
2.Edward Ross : pentingnya faktor situasional dalam interaksi (aliran behaviorisme), lebih terkenal dan masuk akal.
Unsur budaya yang mempengaruhi sikap dan perilaku tsb (1, 2) adalah : (a)persepsi seseorang yang dipengaruhi sistem kepercayaan, pandangan dunia, dan organisasi sosial (keluarga/sekolah), (b)proses verbal dan nonverbal, yang ditangkap pancaindera (bahasa) dan yang tidak (jabat tangan dll).
Littlejohn (1980) : budaya organisasi adalah proses membentuk organisasi.
Stephen P Robbins (1996) : budaya organisasi adalah sistem makna bersama yang dianut anggota yang membedakan dengan organisasi lain.
Fungsi-fungsi budaya organisasi:
a. menetapkan batas-batas
b. menumbuhkan rasa identitas
c. menumbuhkan komitmen bersama
d. meningkatkan kemantapan sosial, perekat, pemersatu
e. mekanisme pemaknaan gerak, membentuk sikap dan perilaku anggota.
Manajer/pimpinan adalah pencetus dan pemelihara budaya organisasi kuat.
Robbins (1996) : budaya kuat adalah budaya yang memegang nilai inti organisasi secara intensif dan dianut bersama secara luas. Budaya yang kuat menunjukkan kesepakatan yang tinggi di kalangan anggotanya.
Kuat/lemahnya budaya organisasi dilihat dari 3 segi :
1. Arahnya, apakah searah dengan tujuan organisasi
2. Penyebarannya, apakah dihayati dan dimiliki semua anggota
3. Intensitasnya, pengaruhnya memberi tekanan yang kuat bagi anggota.
Ciri organisasi dengan budaya kuat :
a) cepat dan tepat bertindak
b) dekat dengan pelanggan
c) otonom dan wira usaha (mandiri)
d) produktivitas manusiawi dalam penghargaan dan jumlah
e) sentuhan demi mutu, manajer mengikuti kerja di lapangan
f) berpijak ke bumi, menekuni yang paling berhasil saja
g) bentuk organisasi ramping dan sederhana
h) serentak ketat/longgar secara simultan.
Kotter & Heskett (1992) : budaya organisasi tingkat dalam = apa yang penting dalam organisasi, misalnya : uang, inovasi teknologi, kesejahteraan anggota, dll, sangat sulit berubah dan sebagian besar anggota tidak sadar terhadap nilai-nilai yang mengikat mereka.
Ciri-ciri budaya organisasi yang kuat :
1. kedewasaan, anggota stabil, budaya tingkat dalam diajarkan
2. perilaku yang harus ditempuh dan akar budaya jelas, keterlibatan intern besar
3. mengatur independensi/interdependensi kehidupan anggotanya.
Keterkaitan budaya organisasi - kinerja :
1. Penyatuan tujuan, dalam budaya kuat karyawan bekerja sederap dan seirama pimpinan
2. Motivasi luar biasa, budaya yang kuat menciptakan motivasi tinggi
3. Struktur & kontrol yang diperlukan tidak tergantung aturan birokrasi
4. Kinerja tercapai bila ada kecocokan budaya organisasi dengan motivasi karyawan.
Perilaku Organisasi :
Thoma J Peter & Nancy K Austin (1985) : Management by Wandering Around (MBWA) : gaya manajer yang selalu melakukan listening, empathizing, staying in touch.
Hari Lubis & Martani Huseini : organisasi adalah kesatuan sosial sekelompok manusia yang berinteraksi dengan pola tertentu, sehingga tiap anggota memiliki fungsi dan tugas masing-masing sebagai suatu kesatuan dengan tujuan tertentu dan batas-batas jelas.
Hubungan informal dapat terjadi oleh adanya :
a) hubungan antar-pribadi (dyadic)
b) keahlian sama
c) kepentingan sama
Job description adalah alat yang tepat untuk memberikan jawaban tentang peranan seseorang di dalam organisasi menghindari kemenduaan peran (role ambigue dan role conflick)
Stephen P. Robbins (1990) : perilaku keorganisasian :
 adalah aspek makro organisasi, yaitu desain/struktur organisasi
 adalah aspek mikro melihat proses perilaku individu dan kelompok.
Hari Lubis / Martani Husein (1987) : pendekatan makro mengasumsikan anggota organisasi punya sifat seragam, yaitu perilaku rasional.
Miftah Thoha (1983) : perilaku organisasi adalah studi aspek tingkah laku manusia dalam organisasi atau kelompok. Bagaimana perilaku itu mempengaruhi usaha pencapaian tujuan.
Richard L Daft (1992) : sistem adalah seperangkat elemen/unsur yang saling berinteraksi, memperoleh masukan dari lingkungan, mengolah, dan melepaskan hasil ke lingkungan luarnya.
Tantangan organisasi abad 21 :
a. kompetisi global
b. desain organisasi, Schoemacher : organisasi yang kecil adalah baik, yang penting kaya fungsi bukan organisasi yang berstruktur banyak (small is beautiful)
c. memotivasi sumber daya manusia, dan tanggung jawab karyawan
d. kecepatan produk ke konsumen.
e. teknologi komunikasi.
Semakin besar kelompok maka makin sulit membina hubungan, persahabatan, dan kepentingan yang diinginkan para anggota. Bila kepuasan kerja hilang, motivasi menurun, kinerja turun.

















V.PENUTUP

5.1 Kesimpulan dan saran
A. Mengetahui dasar mengenai pengetahuan,sumber daya,motivasi,kepribadian,nilai
maupun budaya yang ada.

B.Mengetahui dasar dan pengertian dari bidang yang dibahas diatas.

5.2 Daftar pustaka
Anonim. (2003), “Jurnal Keuangan dan Perbankan”, Analisis Pengaruh Faktorfaktor
SDM di Perusahaan Mebel “MF” Kabupaten Pasuruan, th VII no.1,
Surabaya.
Amstrong, M. (1994), A Handbook of Human Resource Management, Terjemahan,
Elex Media Komputindo, Jakarta.
Burhan, A. (2003), Pengaruh Motivasi dan Kemampuan Karyawan terhadap Kinerja
Karyawan pada PT. Industri Soda Indonesia (PERSERO), Skripsi., TIITATS,
Surabaya.
Chang, W.P. (1994), Motivation of Workers in the Construction Industry in Bangkok,
Master Thesis, Asian Institute of Technology, Thailand.
Damora, A. (2003), Pengaruh Leadership terhadap Kinerja Karyawan pada PT.
New Surabaya di Sidoarjo,Tesis., FE-UPN ‘Veteran’ Jatim, Surabaya.
Davis, Keith, John,W.N. (1993), Perilaku dalam Organisasi, Alih Bahasa Agus
Dharma, Erlangga, Jakarta.
Dharma, A. (1991), Manajemen Prestasi Kerja, Rajawali, Jakarta.
Drucker, Peter, F. (1982), Pengantar Manajemen, PT. Pustaka Binaman Pressindo.
Ferdinand, A. (2000), Structural Equation Modelling dalam Penelitian Manajemen,
Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.
Frederico R. F, Goldsmith H.B. (1998), Linking Work or Life Benefits to
Performance, Volume 30, United States.
Handoko, T. H. (1993), Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia, Liberty,
Yogyakarta.
Hansen, M. (1994), Management Accounting, 3th ed, South-Western.
Hasibuan.M. (1997), Manajemen Sumber Daya Manusia, PT. Gunung Agung,
Jakarta.
Hasley, George. D. (1994), Bagaimana Memimpin dan Mengawasi Pegawai Anda,Cetakan Ketiga, Rineka Cipta, Jakarta.

.

BAB 5 DAN SISTEMATIKANYA

BAB V.PENUTUP
5.1 Kesimpulan dan saran
1. Dengan Memberikan pengetahuan mengenai pentingnya koperasi diindonesia.

2. Memberikan pengetahuan bagi masyarakat agar mampu ikut andil dalam berbagai kegiatan koperasi.

3. Memberikan pengetahuan bagi masyarakat jenis – jenis koperasi yang ada diindonesia.


5.2 Daftar pustaka

Arief, Sritua. 1997. Koperasi Sebagai Organisasi Ekonomi Rakyat, dalam
Pembangunanisme dan Ekonomi Indonesia. Pemberdayaan Rakyat dalam
Arus Globalisasi. CSPM dan Zaman. Jakarta.
Drucker, Peter F. 1988. Inovasi dan Kewiraswastaan, Praktek dan Dasar-Dasar.
Erlangga. Jakarta, dalam Hendar dan Kusnadi. 1999. Ekonomi Koperasi untuk
Perguruan Tinggi. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia. Jakarta.
Haeruman, H. 2000. ”Peningkatan Daya Saing Industri Kecil untuk Mendukung
Program PEL”. Makalah Seminar Peningkatan Daya Saing. Graha Sucofindo.
Jakarta
Hendar dan Kusnadi, 1999. Ekonomi Koperasi untuk Perguruan Tinggi, Lembaga
Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.
Hendrojogi. 1997. Koperasi: Azas-azas, Teori dan Praktek.. RajaGrafindo. Jakarta.
Koperindo.com. http/www.Koperindo.com.
Manurung, 2000. “Perkoperasian Di Indonesia: Masalah, Peluang dan Tantangannya
di Masa Depan”. Economics e-Journal, 28 Januari 2000,
Rozi dan Hendri. 1997. Kapan dan Bilamana Berkoperasi. Unri Press. Riau.
Sitio, Arifin dan Tamba, Halomoan. 2001. Koperasi: Teori dan Praktek. Penerbit
Erlangga. Jakarta.
Subyakto, 1996. “Mutu Layanan dalam Perilaku Organisasi Koperasi”. http://
ln.doubleclick.net.
Widiyanti, Ninik, 1994. Manajemen Koperasi. Rineka Cipta. Jakarta.

BAB 4 DAN SISTEMATIKANYA

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Dengan adanya koperasi yang ada diindonesia saat ini dapat membantu masyarakat mengembangkan usaha yang ada,menjadi suatu usaha yang berprospek baik bagi keseluruhan masyarakat yang ada agar dapat ikut serta meningkatkan taraf perkembangan perekonomian bangsa dan Negara.

BAB 3 DAN SISTEMATIKANYA

BAB III KAJIAN METODELOGI

3.2. Metode Penelitian dan Analisis Data

3.2.1. Metode Studi
Studi ini menggunakan metoda survey, namun berbeda dengan
penelitian konvensional, metodologi studi koperasi pada umumnya
dan penelitian yang perspektif koperasi pada khususnya merupakan
penelitian aksi participatory.
sebagai berikut:
a). Perubahan Obyek Menjadi Subjek Penelitian,
b).Topik penelitian, harus berawal dari isu actual yang ditemukan di
lapangan (grounded research),
c).Alur Penelitian dari Bawah ke Atas,
d) Penelitian kualitatif, akomodatif antara peneliti dan responden yang
diteliti, untuk bekerja sama, saling menghormati, saling bergantung
dan saling membantu. Metode yang banyak dikembangkan adalah
observasi partisipasi,
e).Tehnik pengumpulan data primer dengan pengamatan dan diskusi.

3.2.2. Penetapan Sampel dan Responden
Penetapan kelompok secara sengaja (purposive sampling
method

3.2.3. Pengolahan dan Analisa Data
Pengolahan data dilaksanakan dengan cara tabulasi dan analisa data
dilakukan secara diskriftif reflektif

BAB 2 DAN SISTEMATIKANYA

II. LANDASAN TEORI DAN PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Koperasi

Menurut Undang-undang No. 25/1992, koperasi adalah badan usaha yang
beranggotakan orang-perorangan atau badan hukum Koperasi dengan melandaskan
kegiatannya berdasarkan prinsip Koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat
yang berdasarkan asas kekeluargaan (Sitio dan Tamba, 2001). Koperasi sebagai
organisasi ekonomi yang berwatak sosial sebagai usaha bersama berdasar asas-asas
kekeluargaan dan gotong royong (Widiyanti, 94). Ropke menyatakan makna koperasi
dipandang dari sudut organisasi ekonomi adalah suatu organisasi bisnis yang para
pemilik/anggotanya adalah juga pelanggan utama perusahaan tersebut. Kriteria
identitas koperasi akan merupakan dalil/prinsip identitas yang membedakan unit usaha
koperasi dari unit usaha lainnya (Hendar dan Kusnadi, 1999).
Elemen yang terkandung dalam koperasi menurut International Labour
Organization (Sitio dan Tamba, 2001) adalah:
a. perkumpulan orang-orang,
b. penggabungan orang-orang tersebut berdasarkan kesukarelaan,
c. terdapat tujuan ekonomi yang ingin dicapai,
d. koperasi yang dibentuk adalah suatu organisasi bisnis (badan usaha) yang
diawasi dan dikendalikan secara demokratis,
e. terdapat kontribusi yang adil terhadap modal yang dibutuhkan,
f. anggota koperasi menerima resiko dan manfaat secara seimbang.

Prinsip-Prinsip Koperasi
Perkoperasian adalah segala sesuatu yang menyangkut kehidupan Koperasi.
Gerakan Koperasi adalah keseluruhan organisasi Koperasi dan kegiatan perkoperasian
yang bersifat terpadu menuju tercapainya cita-cita bersama Koperasi. Perkoperasian di
Indonesia diatur dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 yang berlandaskan
Pancasila dan UUD 1945, dan bertujuan memajukan kesejahteraan anggota pada
khususnya dan masyarakat pada umumnya serta ikut membangun tatanan
perekonomian nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat yang maju, adil, dan
makmur (Koperindo.com, 2001 )
Prinsip-prinsip atau sendi-sendi dasar Koperasi menurut UU No. 12 tahun 1967,
adalah sebagai berikut.
a.Sifat keanggotaannya sukarela dan terbuka untuk setiap warg negara Indonesia
b.Rapat anggota merupakan kekuasaan tertinggi sebagai pencerminan demokrasi
dalam koperasi
c.Pembagian SHU diatur menurut jasa masing-masing anggota
d.Adanya pembatasan bunga atas modal
e.Mengembangkan kesejahteraan anggota khususnya dan masya rakat pada
umumnya
f.Usaha dan ketatalaksanaannya bersifat terbuka
g.Swadaya, swakarta, dan swasembada sebagai pencerminan prinsip dasar percaya
pada diri sendiri
Menurut UU No. 25 Tahun 1992, prinsip-prinsip koperasi adalah sebagai
berikut:
Prinsip-prinsip koperasi adalah:
a. Keanggotaan bersifat sukarela dan terbuka.
b. Pengelolaan dilakukan secara demokratis.
c. Pembagian sisa hasil usaha dilakukan secara adil sebanding dengan besarnya
jasa usaha masing-masing anggota.
d. Pemberian balas jasa tidak terkait dengan besarnya setoran modal.
e. Kemandirian
f. Pendidikan koperasi

BAB 1 BESERTA SISTEMATIKANYA

Sistematika data jurnal tulisan saya mengenai Dasar perkoperasian

JURNAL MENGENAI DASAR PERKEMBANGAN PERKOPERASIAN.

BAB I PENDAHULUAN
• Latar belakang masalah
• Rumusan maslah
• Tujuan penelitian
• Manfaat penelitian



BAB II. LANDASAN TEORI
• Pembahasan isi secara keseluruhan mengenai
• Pengunaan hipotesis
• Penjabaran definisi – definisi utama

BAB III METODE PENELITIAN
• Jenis dan sumber data
• Metode pengumpulan data
• Teknis analisa

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
• Deskiptif data tentang koperasi.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
BAGIAN AKHIR :
• Kesimpulan dan saran
• Daftar pustaka



JURNAL TULISAN SAYA MENGENAI DASAR PERKEMBANGAN PERKOPERASIAN.

BAB I PENDAHULUAN.

1.1 LATAR BELAKANG MASALAH

Pada dasarnya koperasi adalahh sebuah lembaga yang tak terlalu diperhitungkan karna hanya bersekala kecil dan tak terlalu dimengerti luas sistematis kinerjanya.
Tetapi lambat laun,koperasi berkembang sedemikian pesatnya sehingga mampu menjadi primadona yang membanggakan bagi bangsa dan Negara dan mampu memberikan andil yang cukup besar bagi dunia perekonomiam diindonesia,sehingga pantasalah jikalau kopersi menjadi salah satu tulang pungguang andalan bagi kemajuan Negara kesatuan republic Indonesia.

1.2 RUMUSAN MASALAH
• Apa sajakah makna dari koperasi itu sendiri?

• Apa saja jenis koperasi yang ada di Indonesia?

• Manfaat apa saj ayang dapat dirasakan dari kegiatan berkopersai?

1.3 TUJUAN PENELITIAN
• Memberikan pengetahuan mengenai pentingnya koperasi diindonesia.

• Memberikan pengetahuan bagi masyarakat agar mampu ikut andil dalam berbagai kegiatan koperasi.

• Memberikan pengetahuan bagi masyarakat jenis – jenis koperasi yang ada diindonesia.

MANFAAT PENELITIAN
Dengan adanya kegiatan penelitian ini diharapkan :
• Meningkatikan kesadaran akan pentignya koperasi bagi kelangsungan dan kemajuan perekonomian Negara kesatuan republic Indonesia.

JURNAL 3.MENGENAI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEBERHASILAN KOPERASI,CREDIT UNION DALAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT,BESERTA REVIEW JURNAL 3.

JURNAL MENGENAI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEBERHASILAN KOPERASI,CREDIT UNION DALAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT.
BESERTA REVIEW LENGKAP JURNAL 3.

BAB I PENDAHULUAN
• Latar belakang masalah
• Rumusan maslah
• Tujuan penelitian
• Manfaat penelitian



BAB II. LANDASAN TEORI
• Pembahasan isi secara keseluruhan mengenai
• Pengunaan hipotesis
• Penjabaran definisi – definisi utama

BAB III METODE PENELITIAN
• Jenis dan sumber data
• Metode pengumpulan data
• Teknis analisa

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
• Deskiptif data tentang data kredit.
• Quantitatif data pinjaman dan dan penggunaan pinjaman yangdilakukan masyarakat.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
BAGIAN AKHIR :
• Kesimpulan dan saran
• Daftar pustaka


Ketaren, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Koperasi...

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEBERHASILAN KOPERASI
CREDIT UNION DALAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
(Studi Kasus: Koperasi Credit Union Partisipasi Sukamakmur
Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang)
Nurlela Ketaren
Abstract: This research is about the factors that influence The Credit Union Cooperation
in community empowerment. The problem in this research is what are the factors that
influence the success in Credit Union Cooperation “Partisipasi Sukamakmur” in
community empowerment and how is the community empowerment concept through
Credit Union Cooperation “Partisipasi Sukamakmur”.
This research used the quantitative and qualitative methods. The total population is the
whole members of Credit Union Cooperation or 204 people. The number of debtors in
this Credit Union is 80 people and 50% of them (40 people) became the sample of this
research. From 40 people, the researcher chose 5 people whom the researcher thought that
they have the deep and necessary knowledge to be informants.
Community empowerment through Credit Union Cooperation “Partisipasi Sukamakmur”
has been done through the rountine guidance average 36,62% (91,55%). The efforts are to
improve value and prestige religious activity, social devotion and agriculture. The
community empowerment oriented to create the self effort community (through the
animal breeding activities) which has the similar interest to cooperate, identified the
similar necessity to fulfill the similar necessity. Community Development in Credit
Union Cooperative is the efforts to improve the quality of social life including economics,
education, public health and social culture improvements. Therefore the factors that
influence the success Credit Union Cooperation “Partisipasi Sukamakmur” have so great
influences through the community empowerment that make it possible for its members to
improve their social life quality and also can enlarge the influences in the process which
influences the social economic and capital in Credit Union Cooperation.
Keywords: The factors of success Credit Union and community empowerment

PENDAHULUAN
Salah satu lembaga yang sesuai dengan
pembangunan masyarakat pedesaan dalam upaya
pemberdayaan ekonomi rakyat adalah koperasi.
Hal ini dikarenakan koperasi memiliki prinsip
gotong royong, rasa kebersamaan dan rasa
kekeluargaan. Organisasi koperasi yang
diperlukan masyarakat adalah koperasi yang jujur
dan dinamis sehingga potensi anggota dalam
menghimpun dana dapat terwujud (Badaruddin
dkk, 2005).
Pembangunan koperasi identik dengan
mengatasi kemiskinan. Menurut Bung Hatta,
koperasi yang berazaskan pasal 33 UUD 1945
merupakan satu-satunya jalan untuk
mendekatkan jurang perbedaan antara yang kaya
dengan yang miskin (Mubyarto 2003:10).
Secara makro dapat dilihat peranan
koperasi yang semakin melembaga dalam
perekonomian, antara lain; meningkatnya
manfaat koperasi bagi masyarakat dan
lingkungan, pemahaman yang lebih mendalam
terhadap azas, sendi serta tata kerja koperasi;
meningkatnya produksi, pendapatan dan
kesejahteraan; meningkatnya pemerataan dan
keadilan; meningkatnya kesempatan kerja.
Semua ini mengakibatkan pertumbuhan
struktural dalam perekonomian nasional yang
tergantung pada Co-operative Growth, Cooperative
Share dan Co-operative Effect yang
melibatkan, memberdayakan segenap lapisan
masyarakat, sehingga dapat mengatasi
kemiskinan (Sukamdiyo, 1996).
Credit union diperuntukkan bagi setiap
orang yang mau menciptakan asset dengan cara
menabung dengan harapan hari esok akan lebih
sejahtera. Konsep credit union sangat berbeda
dengan, koperasi kredit, kartu kredit, mobil
kredit, rumah kredit, dan barang-barang kredit
lainnya. Barang-barang tersebut dilunasi secara
perlahan-lahan tanpa memiliki nilai tabungan
didalamnya. Setelah lunas, selesai sudah
kreditnya dan orang yang mempunyai kredit
tersebut tidak punya asset atau modal. Sedangkan
dalam credit union, nilai kredit tersebut justru
menjadi aset dan menjadi modal yang disebut
saham (Ngo. A. Petrus, 2004).
Credit union partisipasi Sukamakmur
merupakan koperasi simpan pinjam yang
memiliki program pendidikan, pembinaan
kualitas sumber daya manusia, dan kesejahteraan.
Setiap anggotanya adalah pilar-pilar yang sangat
berpengaruh terhadap keberhasilan credit uniuon.
Partisipasi anggota diukur dari kesediaan anggota
melaksanakan kewajiban dan melaksanakan hak
anggota secara bertanggung jawab (Widiyanti N,
2002).
Credit Union Partisipasi sukamakmur
berdiri 10 Februari 1994, jumlah anggota
Desember 2004 sebanyak 204 orang, jumlah
simpanan Rp 282.651.425, jumlah pinjaman Rp
410.512.200, jumlah asset Rp 524.052.998.
Apabila keberhasilan credit union terlihat
berdasarkan perkembangan jumlah unit,
partisipasi (jumlah anggota), penggunaan
pinjaman produktif, besarnya asset, dan besarnya
sisa hasil usaha, maka credit union partisipasi
Sukamakmur ini dapat dikatakan cukup berhasil.
Perkembangan Koperasi credit union di
pedesaan sebagai lembaga ekonomi rakyat
merupakan upaya pembangunan yang positif bagi
masyarakat pedesaan. Dengan kata lain koperasi
dipandang memiliki arti yang strategis pada masa
yang akan datang (Mubyarto, 2003). Sesuai
dengan latar belakang tersebut maka
permasalahan dalam penelitian ini adalah
”Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi
keberhasilan koperasi credit union partisipasi
Suka Makmur dalam pemberdayaan
masyarakat?”.

METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan dengan
menggunakan model analisa deskriptif dengan
pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Analisa
deskriptif berusaha menggambarkan model
hubungan antara berbagai variabel dengan
memberikan penafsiran ilmiah dan analisis yang
logis atas hubungan antarfaktor. Credit union
dinyatakan berhasil bila memenuhi enam variabel
yang meningkat setiap tahun, yaitu; SHU,
Partisipasi anggota, Pendidikan Pengurus,
Kepemimpinan Pengurus, Administrasi dan
Manajemen, Pemberdayaan masarakat.
Populasi penelitian adalah seluruh
anggota koperasi Credit union yang berjumlah
204 orang. Sedangkan sampel diambil lima puluh
persen dari jumlah anggota yang meminjam
kepada koperasi Credit union yaitu 40 orang.
Dari sampel yang ada, dipilih informan yang
mempunyai pengetahuan secara mendalam
tentang masalah yang diteliti sebanyak 5 orang.
Teknik pengumpulan data adalah kuesioner dan
wawancara. yang meliputi faktor-faktor
mempengaruhi keberhasilan Credit union,
sedangkan lokasi penelitian adalah koperasi
Credit union Partisipasi Sukamakmur,
Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang.
Untuk melihat faktor-faktor yang
mempengaruhi keberhasilan koperasi Credit
union, digunakan data kuantitatif memakai
analisis tabulasi frekuensi dan persentase. Untuk
data kualitatif digunakan teknik analisis reduksi
data, dengan pengategorian data yang
mempunyai makna untuk menarik kesimpulan
dalam mencari faktor-faktor yang berhubungan
dengan masalah penelitian.
Sampel dalam penelitian adalah anggota
koperasi Partisipasi Sukamakmur yang berjumlah
40 orang dengan komposisi sebagai berikut:
Komposisi responden berdasarkan jenis
kelamin;
1. Responden laki-laki berjumlah 19 orang
(47,5%).
2. Responden perempuan berjumlah 21 orang
(52,5%).
Komposisi responden berdasarkan usia;
1. Responden berusia 27-33 tahun berjumlah 14
orang (35%).
2. Responden berusia 34-40 tahun berjumlah 9
orang (22,5%).
3. Responden berusia 41-47 tahun berjumlah 12
orang (30%).
4. Responden berusia 48-54 tahun berjumlah 5
orang (12,5%).
Komposisi responden berdasarkan tingkat
pendidikan;
1. Tingkat pendidikan SD berjumlah 1 orang
responden (2,5%).
2. Tingkat pendidikan SLTP berjumlah 2 orang
responden (5%).
3. Tingkat pendidikan SLTA berjumlah 17
orang responden (42,5%).
4. Tingkat pendidikan DIII berjumlah 6 orang
responden (15%).
5. Tingkat pendidikan S-1 berjumlah 14 orang
responden (35%).
Komposisi responden berdasarkan penggunaan
pinjaman;
1. Untuk keperluan pertanian berjumlah 5 orang
responden (12,5%).
2. Untuk keperluan konsumsi dan kesejahteraan
berjumlah 20 orang responden (50%).
3. Untuk keperluan peternakan berjumlah 10
responden (25).
4. Untuk keperluan berdagang berjumlah 5
orang responden (12,5%).
Komposisi responden berdasarkan jumlah
pinjaman;
1. Rp 1.000.000,- hingga Rp 2.400.000,-
berjumlah 6 orang responden (15%).
2. Rp 2.500.000,- hingga Rp 4.400.000,-
berjumlah 12 orang responden (30%).
3. Rp 4.500.000,- hingga Rp 6.400.000,-
berjumlah 17 orang responden (42,5%).
4. Rp 6.500.000,- hingga Rp 10.000.000,-
berjumlah 3 orang responden (7,5%).
5. Rp 11.000.000,- hingga Rp 20.000.000,-
berjumlah 2 orang responden (5%).

KESIMPULAN
Berdasarkan apa yang telah dijabarkan
dalam pembahasan di atas, dapat disimpulkan
bahwa:
1. Koperasi credit union perlu menonjolkan
azas kekeluargaan dengan kerja sama,
dibandingkan persaingan sempurna. Koperasi
akan berhasil jika manajemen bersifat
terbuka dan partisipatif.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi
keberhasilan koperasi credit union Partisipasi
Sukamakmur, yang meliputi; SHU,
partisipasi anggota, kepemimpinan pengurus,
manajemen koperasi, dan pemberdayaan
masyarakat dapat dikatakan sudah cukup
tinggi. Akan tetapi, optimalisasi masih perlu
dilakukan sehingga tujuan dari koperasi
credit union Partisipasi Sukamakmur dapat
dicapai dengan lebih maksimal.
3. Pemberdayaan masyarakat berorientasi
kepada masyarakat yang mandiri (melalui
kegiatan peternakan) yang memiliki
kesamaan minat untuk bekerjasama,
mengidentifikasi kebutuhan bersama, dan
kemudian melakukan kegiatan kebutuhan
bersama.
4. Tidak terdapat hubungan nyata antara
karateristik responden pendidikan formal,
umur, pendidikan koperasi, motivasi menjadi
anggota, simpanan dan pinjaman dengan
keberhasilan Koperasi credit union dan KUD
(produktifitas dan kepuasan anggota).
5. Partisipasi anggota yang meliputi; jumlah
simpanan, jumlah pinjaman, frekuensi
mengikuti pendidikan, lama tunggakan dan
lamanya menjadi anggota, mempunyai
hubungan yang signifikan dengan tingkat
pendapatan.
6. Terdapat hubungan antara pendidikan formal
dan non formal (pendidikan koperasi dan
kewirausahaan) dengan keberhasilan usaha.

DAFTAR PUSTAKA
Amelia, 2001. Peranan Aktivitas Credit Union Dalam Pemberdayaan Ekonomi Rakyat. Tesis (S-2)
Tidak Diterbitkan. Medan. Program Magister Studi Pembangunan Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara (FISIP-USU).
Atmosudirjo, Prajudi. 1982. Dasar-dasar Administrasi Niaga. Jakarta: Chalia Indonesia.
Badaruddin & Nasution, M. Arief. 2005. Modal sosial dan Pemberdayaan Komunitas Nelayan (Isuisu
Kelautan dan Kemiskinan Hingga Bajak Laut. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hendrojogi, 1997. Azas-azas Koperasi; Teori dan Praktek. Jakarta: Rajawali Grafindo Persada.
Kartasasmita, Ginandjar. 1995. Administrasi Pembangunan. Jakarta: LP3ES.
Krisnamurti, Bayu. 1998. Perkembangan Kelembagaan dan Perilaku Usaha Koperasi Unit Desa di
Jawa Barat. Kajian Cross Section (Tidak Diterbitkan). Bogor. Institut Pertanian Bogor.
Manurung, M. 1998. Indonesia Menuju Demokrasi Ekonomi; Kumpulan Makalah Sistem Ekonomi.
Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Marbun, Dunan. 1999. Peranan Credit Union dalam Mengelola Simpan-pinjam Untuk Meningkatkan
Pembangunan Ekonomi di Wilayah Pedesaan. Tesis (S-2) Tidak Diterbitkan. Medan. Program
Magister Studi Pembangunan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera
Utara (FISIP-USU).
Mikkelsen, Britha. 1999. Metode Penelitian Partisipatoris dan Upaya-upaya Pemberdayaan. Jakarta:
Obor Indonesia.
Mubyarto. 1999. Reformasi sistem Ekonomi, dari Kapitalisme Menuju Ekonomi Kerakyatan.
Yogyakarta: Aditya Media.
Mutis, Thoby. 1983. Organizational Competency and Effectiveness of The Jakarta Credit
Cooperation/Credit Union (CU). Philippines: South East Asia Interdisciplinary Development
Institute.
Mutis, Thoby. 1992. Pengembangan Koperasi; Kumpulan Karangan. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Ngo, A. Petrus. 2002. Ketua Credit Union Daya Lestari samarinda, Mengapa harus Credit Union?,
Makalah disampaikan pada Seminar Pendalaman Ekonomi Rakyat tanggal 2 Juli, Jakarta.
Ningrum, Natasia S. 2005. Larangan Praktik Monopoli dan Perjuangan Tidak sehat. Wawasan.
Sukardi, 2003. Sritua Arif: Ekonomi Rakyat di Era Globalisasi. Makalah disampaikan Pada Seminar
Sehari Memperingati 100 hari Meninggalnya Prof. Dr. Sritua Arif. Medan, FISIP USU.
Sukamdiyo. 1996. Manajemen Koperasi. Semarang: Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro.
Titus, K. Kurniadi. 2004. Ekonomi Rakyat. Makalah Pendahuluan Pada Seminar Ekonomi Rakyat
tanggal 4 Juni 2004, Lembaga Keuangan Mikro.
Widiyanti, Ninik. 2002. Manajemen Koperasi. Jakarta: Rineka Cipta.


REVIEW III.

(Studi Kasus: Jurnal Koperasi Credit Union Partisipasi Sukamakmur
Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang)
Nurlela Ketaren

JUDUL : JURNAL FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
KEBERHASILAN KOPERASI CREDIT UNION DALAM
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

PENGARANG : Nurlela Ketaren dan Amelia, 2001.

TAHUN PEMBUATAN : 2001. Peranan Aktivitas Credit Union Dalam Pemberdayaan
Ekonomi Rakyat. Tesis (S-2)

LATAR BELAKANG MASALAH :
Menurut penelit,credit union lebih pesat dari KUD dalam hal
perkembangan.Akan tetapi bisnis credit union relatif lebih kecil, dan hanya
bergerak dalam usaha simpan pinjam. Berkaitan dengan hal itu, Marbun (1999) menyatakan
bahwa Koperasi kredit memiliki peranan dalam meningkatkan kegiatan usaha masyarakat
pedesaan, usaha pertanian, usaha dagang, dan jasa.
Secara parsial,variable seperti penghasilan keluarga, pendidikan formal,frekuensi mengikuti pendidikan di lingkungan,mempunyai pengaruh yang kuat terhadap lamanya tunggakan kecuali jenis pekerjaan tidak memiliki hubungan nyata Dengan begitu,dapat diakatakan bahwa pemberdayaan masyarakat dalam pembinaan menuju mandiri yang dapat meningkatkan kesejahteraan hidup sudah cukup tinggi (91,55%). Akan tetapi perlu optimalisasi agar semua anggota dapat meningkatkantaraf ekonominya.

TUJUAN UTAMA :Dengan adanya credit union dapat mengoptimalisasi taraf ekonominya para angotanya.

METODELOGI :
• Penggunaan observasi aktiv
• Pengunaan tehnik quisioner parsial

RINGKASAN DAN KESIMPULAN :
1. Koperasi credit union perlu menonjolkan azas kekeluargaan dengan kerja sama,
dibandingkan persaingan sempurna. Koperasi akan berhasil jika manajemen bersifat
terbuka dan partisipatif.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan koperasi credit union Partisipasi
Sukamakmur, yang meliputi; SHU, partisipasi anggota, kepemimpinan pengurus,
manajemen koperasi, dan pemberdayaan masyarakat dapat dikatakan sudah cukup
tinggi.

JURNAL 2.MENGENAI STUDI PERAN SERTA WANITA DALAM PENGEMBANGAN PROGRAM USAHA KECIL MENEGAH DAN KOPERASI,BESERTA REVIEW LENGKAP JURNAL INI.

JURNAL MENGENAI STUDI PERAN SERTA WANITA DALAM PENGEMBANGAN PROGRAM USAHA KECIL MENEGAH DAN KOPERASI

BAB I PENDAHULUAN
• Latar belakang masalah
• Rumusan maslah
• Tujuan penelitian
• Manfaat penelitian



BAB II. LANDASAN TEORI
• Pembahasan isi secara keseluruhan mengenai
• Pengunaan hipotesis
• Penjabaran definisi – definisi utama

BAB III METODE PENELITIAN
• Jenis dan sumber data
• Metode pengumpulan data
• Teknis analisa

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
• Perbandingan deskriptif dari data kinerja wanita dalam UKM yang didirikan.
• Structural quantitative data perkembangan UKM berdasarkan metode observasi.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
BAGIAN AKHIR :
• Kesimpulan dan saran
• Daftar pustaka


JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 1 TAHUN I - 2006

STUDI PERAN SERTA WANITA DALAM PENGEMBANGAN
USAHA KECIL MENENGAH DAN KOPERASI
Abstract
The aim of this study is for: 1). Analyzing ability and participation of woman in
developing Small & Medium Enterprise (SME) & Co-operative 2). Identifying
encourage and resistor factor of woman participation in development of SME
& Co-operative 3). Obtaining another alternative of improving ability and
participation of woman in development of SME & Co-operative. This study is
held in 5 ( five ) provinces, they are in West Sumatra, West Java, East Java,
West Kalimantan and South Sulawesi, using gender perspective survey
method, data-processing by tabulation and data analysis has done by
reflective descriptive.
From the study has shown that as perpetrator of SME, woman personate as
perpetrator of the business or as owner, as manager or even labour. In activity
of co-operative, woman can personate as a member, official member,
supervisor, manager, builder or even partner of the business. The role of
woman in so many sector; however as according to excesses that she had,
therefore most women are success in finance-related, crafting industry, and
processing industry. In consequence, most co-operative that managed by
woman is saving and loan in essence business activity, whether as a small
entrepreneur, woman has developing in store business, food and beverage
industry, convection / garment, salon / wedding service, also on crafting
industry.
From this research can be concluded that woman succeed in SME & Cooperative
development is shown from performance of some Woman Co-
Operative in East Java and South Sulawesi, whether shown by its organization
aspect that is amount and growths of its member, working performance that
is value and growth of own capital, external capital, turnover, and reached
profit. The business volume (VU) or turnover of sampling cooperative which
has reached Rp 2,6 billion until more than Rp 35 billion per year has given
multiplier effect and also has a big role in developing small and micro business
in the region, because most the co-operatives. turnover is in working capital
loan at small and micro business. Performance of sampling SME has quite
good, whether from its value and development of self-supporting capital,
turnover, and reached margin which average more than 25 %.
Thereby, can be told that women are quite succeed as perpetrator or in
developing SME & Co-operative, the succeed are caused because woman
have competition, skills, marketing, exploiting sources cooperative, and self
image aspect that is sincerity, responsibility, discipline, and also the nature
of: resilient, dare to, creative, proactive, self confidence, and also motivate to
create job opportunity, reducing poverty, and hard focus their mind and time
in every activity their handling on. On the contrary, unsuccessful woman or
resistor of woman as perpetrator or in developing SME & Co-operative, are
caused for example because of woman weakness such as less in taking
decision, emotional, nature of consumptive, family support inexistence, double
role, and low education. To improve the ability and participation of woman in
development of SME & Co-operative , hence can be done by improving
knowledge and skills with training and education, work practice, study compare,
and etc.

I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Ketika Indonesia dilanda kritis, pemerintah baru tersadar bahwa usaha besar
yang dibangga-banggakan justru sebagian besar bangkrut/gulung tikar dan
memberikan beban berat bagi negara dan bangsa, sebaliknya usaha kecil
dan koperasi yang selama ini dipandang sebelah mata mampu bertahan,
bahkan berkembang. Ternyata, meskipun selama ini praktek layanan publik
dirasakan usaha kecil tidak fair, namun mereka mampu menunjukan
kekenyalannya, usaha kecil tetap mendayung sampannya di antara karangkarang
lautan yang berombak besar dan berubah-ubah karena tiupan angin
kencang. Namun demikian, walau usaha kecil mempunyai daya juang luar
biasa, untuk bertahan hidup dan berkembang perlu diberikan lingkungan
berusaha dan dukungan-dukungan lain untuk meningkatkan daya saing dan
daya tumbuhnya. Untuk itu isu pembinaan dan pengembangan usaha kecil
(termasuk mikro), menengah semakin digalakkan. Identifikasi kebutuhan dan
masalah usaha kecil dan koperasi perlu terus dilakukan dalam upaya
meningkatkan daya tumbuh dan daya saingnya.
Hampir setiap hari, semua media melaporkan kondisi krisis ekonomi yang
tak kunjung membaik. Tingkat kesehatan perbankan, dan upaya pemulihan
sektor riil seolah tak ada hasilmya, PHK dan pengangguran bertambah. Karena
krisis suami sebagai kepala rumah tangga menjadi pegangguran tak kentara.
Kebutuhan rumah tangga, pendidikan anak, kesehatan tak mungkin dihentikan,
memaksa para istri yang semula hanya sebagai ibu rumah tangga mulai
berperan di berbagai bidang usaha.
Wanita potensial untuk melakukan berbagai kegiatan produktif yang
menghasilkan dan dapat membantu ekonomi keluarga, dan lebih luas lagi
ekonomi nasional, apalagi potensi tersebut menyebar di berbagai bidang
maupun sektor. Dengan potensi tersebut wanita potensial berperan aktif dalam
proses recovery ekonomi yang masih diselimuti berbagai permasalahan ini.
Dalam konsisi demikian kajian dengan tema .wanita dan pengembangan usaha.
relevan untuk dibicarakan, khususnya dalam upaya menyiasati pemulihan
ekonomi serta meningkatkan kemandirian dan kemampuan wanita. Disamping
wanita sangat potensial dan memiliki kompetensi dalam pengembangan usaha
kecil, menengah maupun koperasi, baik wanita tersebut sebagai pelaku bisnis,
pengelola Pembina/ pendamping, ataupun sebagai tenaga kerja. Tentu saja
masih terus ditingkatkan kualitas dan profesionalismenya dengan peningkatan
kemampuan dan ketrampilannya

1.2. Perumusan Masalah
Wanita memiliki berbagai kelebihan seperti keuletan, etos kerja yang tinggi,
juga memiliki kelemahan-kelemahan yang menghambat peran serta dan
partisipasinya dalam perekonomian Indonesia. Untuk itu perlu dilakukan
penelitian atau studi secara mendalam guna memperoleh gambaran secara
persis kemampuan dan peran serta wanita dalam kegiatan pengembangan
usaha, yaitu : 1) sampai seberapa jauh kompetensi dan peran wanita dalam
berbagai kegiatan atau bidang usaha, 2) kenapa mereka berhasil di suatu
jenis usaha tertentu dan kenapa mereka selalu gagal dalam bidang usaha
lainnya, 3) sampai sejauh mana wanita memiliki kelebihan dan kelemahan
dalam melakukan pengembangan usaha, serta 4) bagaimana kemungkinan
pengembangan kemampuan dan peran serta mereka dalam pengembangan
usaha kecil, menengah dan koperasi.

1.3. Tujuan dan Manfaat
Tujuan yang ingin dicapai pada studi ini adalah :
1) Mengnalisis kemampuan dan peranserta wanita dalam mengembangkan
UKMK
2) Mengidentifikasi factor pendorong dan penghambat peranserta wanita
dalam pengembangan UKMK
3) Memperoleh alternative peningkatan kemampuan dan peranserta wanita
dalam pengembangan UKMK

II. KERANGKA PEMIKIRAN
GBHN 1999 antara lain mengamanatkan perlunya meningkatkan kedudukan dan
peranan perempuan dalam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui
kebijakan nasional untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender dalam
berbagai bidang pembangunan baik di pusat maupun di daerah. Sejalan dengan
amanat GBHN di atas perlu dilakukan peningkatan peran wanita dalam
pengembangan UKMK khususnya dan perekonomian Indonesia pada umumnya.
Untuk itu perlu dilakukan kajian peran serta dan kemampuan wanita dalam
pengembangan usaha kecil, menengah, dan koperasi. Untuk mengetahui peran
serta dan kemampuan wanita dalam pengembangan UKMK dapat dibedakan
menjadi : 1) wanita sebagai pelaku UKMK, 2) wanita sebagai pengelola UKMK,
dan 3) wanita sebagai pembina, pendamping, dan motivator, yang mana dalam
peran tersebut diperlukan pengetahuan, kemampuan, dan kompetensi
kewirausahaan.
Istilah wiraswasta sebelumnya lebih sering dipakai darpada wirausaha sebagai
padanan kata intrepreneur , berasal dari wira berarti utama, gagah, luhur, berani,
teladan, atau pejuang , dan swa berarti sendiri dan ta berarti berdiri, sehingga
swasta berarti berdiri diatas kaki sendiri atau berdiri atas kemampuan sendiri.
Dengan demikian wiraswasta/wirausaha berarti pejuang yang gagah, luhur, berani
dan paantas menjadi teladan dalam bidang usaha. Dengan kata lain wirausaha
adalah orang-orang yang memiliki sifat/jiwa kewirausahaan/kewiraswastaan,
yaitu berani mengambil resiko, keutamaan, kreativitas, keteladanan dalam
menangani usaha dengan berpijak pada kemauan dan kemampuan sendiri.
Keterlibatan wanita Indonesia dalam kegiatan ekonomi sebagai wirausaha telah
ada sejak zaman ke zaman, sejak dulu wanita telah terjun dalam dunia
perdagangan, misalnya wanita-wanita di Solo telah membantu ekonomi keluarga,
bahkan sebagai tulang punggung ekonomi keluarga dari usaha batik yang mereka
kelola. Demikian halnya di Palembang, Padang, Lampung, dan Ujung Pandang,
wanita-wanita sukses mengelola industri rumah tangga berupa kain songket.
Lyle M. Spencer dan Signe Spencer dalam bukunya .Competence at work : Models
for Superior Performance 1993. disebutkan : Kompetensi dapat didefinisikan
sebagai karakter mendasar dari seseorang yang menyebabkan seseorang
sanggup menunjukkan kinerja yang efektif atau superior di dalam suatu pekerjaan
atau karakter yang memberikan kontribusi terhadap kinerja menonjol dalam suatu
pekerjaan. Berarti kompetensi merupakan factor-faktor mendasar yang dimiliki
seorang Best/ Superior Performance (berprestasi secara menonjol) yang
membuatnya berbeda dengan Average Performance (berprestasi secara rata-rata
atau biasa-biasa saja). Kompetensi mempunyai cakupan yang jauh lebih
komprehensif yang terdiri dari keterampilan, motif, sifat, citra diri, peran social,
pengetahuan.
Dalam studi ini, untuk mengidentifikasi kompetensi wanita pelaku usaha koperasi
dan UKM, dilihat performance personal pengurus koperasi/pemilik usaha dari aspek
alasan berkiprah di koperasi-UKM, pemanfaatan teknologi, pemikirannya terhadap
diversifikasi usaha, hubungan kerja dengan anak buah dan mitra usaha guna
melihat motif, pengetahuan, ketrampilan, inter personal, dan peran sosial. Aspek
kepemimpinan (sistem pengambilan keputusan, hubungan kerja dengan bawahan/
sejawat), melihat citra diri yang terdiri dari aspek kejujuran dan tanggung jawab,
keterbukaan, kepedulian, respek, dan disiplin. Serta sifat-sifat/ kompetensi yang
seharusnya dimiliki oleh seorang pelaku usaha atau pimpinan yaitu : ulet, berani,
kreatif, proaktif dalam mengantisipasi perubahan, berjiwa besar, berpikir positif,
percaya diri, tegar, introvert atau ekstrovet.
Untuk melihat hasil usahanya dilihat dari kinerja koperasi /UKM, baik kinerja
kelembagaan maupun usahanya. Dengan menganggap faktor luar tidak
berpengaruh, maka bila pelaku usaha memiliki kompetensi usaha maka kinerja
usahanya akan baik. Untuk mengidentifikasi faktor pendukung dan penghambat
dicari faktor-faktor dominan atau kelebihan-kelebihan yang kebanyakan dimiliki
wanita yang menyebabkan wanita berhasil, dan diidentifikasi kelemahan-kelemahan
yang dimiliki wanita yang biasanya akan menjadi penghambat keberhasilannya,
serta permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam mengelola usaha. Untuk
peningkatan kemampuan wanita diidentifikasi kebutuh peningkatan pengetahuan
dan ketrampilannya.

III. METODA PENELITIAN

3.1. Lokasi
Studi ini dilaksanakan di lima propinsi yaitu : Sumatera Barat, Jawa Barat,
Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Kalimantan Barat.

3.2. Metode Penelitian dan Analisis Data

3.2.1. Metode Studi
Studi ini menggunakan metoda survey, namun berbeda dengan
penelitian konvensional, metodologi studi perempuan pada umumnya
dan penelitian yang perspektif gender pada khususnya merupakan
penelitian aksi participatory .untuk. perempuan (bukan penelitian
.tentang perempuan.). Penelitian untuk perempuan, yaitu penelitian
yang mencakup kebutuhan, minat, pengalaman perempuan, sebagai
instrument untuk meningkatkan status kehidupan dan
kesejahteraannya (Duelli Klein, 1983). Untuk itu dibutuhkan perubahan
sebagai berikut a). Perubahan Obyek Menjadi Subjek Penelitian,
b).Topik penelitian, harus berawal dari isu actual yang ditemukan di
lapangan (grounded research), c).Alur Penelitian dari Bawah ke Atas,
d) Penelitian kualitatif, akomodatif antara peneliti dan responden yang
diteliti, untuk bekerja sama, saling menghormati, saling bergantung
dan saling membantu. Metode yang banyak dikembangkan adalah
observasi partisipasi, e). Penempatan pengalaman pribadi sebagai
suatu material.
Tehnik pengumpulan data primer dengan pengamatan dan diskusi,
pengmatan langsung di lapang, dengan menggunakan kuesioner. Data
sekunder diperoleh dari studi pustaka, Dinas Koperasi dan UKM serta
instansi terkait baik tingkat propinsi maupun kabupaten berupa
publikasi, dokumen, laporan kegiatan.

3.2.2. Penetapan Sampel dan Responden
Penetapan kelompok usaha bersama wanita (KUB), pelaku usaha
wanita diberbagai jenis usaha, asosiasi pengusaha wanita, Pembina/
pendampingan usaha, koperasi wanita atau koperasi lainnya yang
pengurus/pengelolanya sebagian besar wanita sebagai sample maupun
respondennya dilakukannya secara sengaja (purposive sampling
method

3.2.3. Pengolahan dan Analisa Data
Pengolahan data dilaksanakan dengan cara tabulasi dan analisa data
dilakukan secara diskriftif reflektif

3.3. Ruang Lingkup
Aspek yang menjadi focus dalam penelitian ini adalah:
- Identifikasi kompetensi wanita dalam pengembangan usaha atau
kewirausahaan, yang terdiri dari ; motif, sifat, citra diri, peran social,
pengetahuan, ketrampilan
- Identifikasi peran serta wanita dalam berbagai kegiatan usaha dari berbagai
sector usaha, kelompok usaha bersama (KUB), koperasi wanita atau
koperasi lainnya yang pengelolanya sebagian besar wanita
- Identifikasi kinerja KUB wanita, kegiatan usaha wanita diberbagai jenis
usaha, sosiasi usaha, pendampingan usaha, koperasi wanita atau koperasi
lainnya yang pengelolanya sebagian besar wanita
- Identifikasi faktor pendorong dan penghambat peran serta wanita dalam
pengembangan kegiatan usaha

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Kinerja Kelembagaan dan Usaha Koperasi Sampel
Dari 10 koperasi sampel di 5 propinsi lokasi studi, hampir seluruhnya Koperasi
Wanita (9 koperasi), dan hanya satu Koperasi jenis lainnya yaitu KSU (tabel
1). Kegiatan usaha pokok koperasi sampel adalah simpan pinjam, sedang
kegiatan usaha lain yang ditangani antara lain KCK, toko/ waserda, kantin/
catering, wartel/ kiospon, kredit barang dan konveksi. Pengurus Koperasi
sample berjumlah 3 sampai 6 orang , 5 Koperasi 5 Koperasi (50%) telah
memiliki manager dengan pendidikan SLTA (3 kop: K1, K2 Jabar dan K1 Sulsel),
dan S1 (2 Kopwan Jatim). Dari tenaga kerja (TK) yang dimiliki, 4 koperasi
contoh termasuk kecii hanya menggunakan tenaga kerja 1 sampai 3 orang,
2 koperasi agak besar yaitu menggunakan TK 6 an 9 orang dan 2 koperasi
termasuk besar yaitu Kopwan Jatim dengan tenaga kerja 66 orang ( K1) dan
94 orang (K2). Curahan waktu pengurus dalam mengelola Koperasi ada yang
secara sambilan : 3 sampai 4 jam per hari ( 3 koperasi ), namun kebanyakan
full time : 6 - 8 jam per hari (K1,K2 Kalbar dan K1 Sulsel), bahkan pengurus
Kopwan Jatim 12 jam dan 15 jam per hari.
Dilihat dari jumlah anggota, 2 Koperasi contoh dapat dikategorikan koperasi
kecil, dengan jumlah anggota 60 dan 66 orang, kategori koperasi sedang 2
koperasi dengan anggota 129, dan 136 orang , 2 koperasi agak besar dengan
anggota 218 dan 342 orang,1 koperasi termasuk besar dengan anggota 518
orang, dan 3 koperasi termasuk sangat besar dengan anggota 1121 orang (
K1 Sulsel) , 6349 orang ( K1 Jatim ) dan 9177 orang ( K2 Jatim). Sedang dari
perkembangan anggotanya , perkembangan anggota paling rendah K2 Jabar
yaitu menurun 37,5 % dan perkembangan paling tinggi adalah K2 Sumbar
34,69 % dan K1 Jatim 35,67 %.

Sumbar Jabar Jatim Kalbar Sulsel
Kinerja usaha 10 koperasi contoh cukup beragam ( tabel 2 ), modal sendiri(MS)
pada tahun 2000 dari paling rendah sebesar Rp 3 juta (K1 Kalbar), dan paling
tinggi Rp 7,5 M (K2 Jatim), dua koperasi yang memiliki MS antara 500 juta
sampai hampir 1 M yaitu K1 Jatim : Rp 947, 8 juta dan K1 Sulsel Rp 547,34
juta. Dengan demikian bila dilihat nilai MS maka K2 Jatim paling tinggi, sedang
bila dilihat dari perkembangan MS pada tahun 1999-2000, peningkatan paling
tinggi adalah K2 Kalbar dan K1 Jatim ( 51,98% dan 46,36%).
Dilihat dari modal luar yang dapat dihimpun, yang kebanyakan merupakan
simpanan sukarela ataupun jenis simpanan lainnya, dan sebagian pinjaman
dari perbankan, Koperasi yang paling berhasil menghimpun dana adalah K1
Sulsel sebesar Rp 2,1 M, kemudian K1 Jatim : Rp 834, 65 juta dan K2 Jatim
: Rp 818,28. Sedang bila dilihat dari peningkatan modal luar pada tahun
1999-2000, peningkatan paling tinggi dicapai K1 Sumbar : 50,84% kemudian
K2 Sulsel : 48,41% dan K1 Jatim : 31,34%.
Dilihat dari volume usaha (VU) yang dicapai dimana untuk koperasi yang
kegiatan pokoknya simpan pinjam, volume yang paling besar adalah pemberian
pinjaman pada anggota maupun non anggota yang mendapat rekomendasi,
V.U. tertinggi dicapai K2 Jatim : Rp 35,41 M, kemudian K2 Jatim : Rp 6,5 M,
K1 Sulsel : Rp 2,6 M dan K2 Sumbar : Rp 1,1 M. Sedang bila dilihat dari
peningkatan V Unya, peningkatan paling tinggi adalah K1 Jabar : 83,02%,
kemudian K1 Sulsel 60,16%, K1 Jatim 58,25 % dan K2 Sumbar 39,22%.
Adapun dari perolehan SHU ternyata K2 Jatim nilai SHUnya paling tinggi yaitu
Rp 129,46 juta kemudian K1 Sulsel Rp 101,33 juta, K1 Jatim Rp 52,87 juta,
dan K2 Jabar Rp 20,13 juta. Dilihat dari perkembangan SHU pada tahun
1999-2000: perkembangan tertinggi K2 Kalbar 51,99 % kemudian K1 Jabar
36,99 %, K2 Jatim 35,70% dan K1 Sumbar 33,10%.
Bila dikaitkan antara peningkatan volume usaha dan SHU, K2 Jatim mengalami
peningkatan VU 37,84 % diikuti dengan peningkatan SHU 35,79 %, K2 Kalbar
VU meningkat 36, 5% SHUnya meningkat 51,99 % hal ini menunjukkan
koperasi berjalan lebih efisien sehingga kenaikan VU diikuti dengan kenaikan
SHU. K1 Jatim VU nya meningkat 50,25 % SHUnya hanya meningkat 1,75 %
, demikian halnya K1 Sullsel VU nya menigkat 60,16 % SHUnya hanya
meningkat 9,58 %, menunjukkan koperasi tidak effisien, apalagi K2 Sumbar
VUnya meningkat 39,22% tapi SHUnya menurun 30,22%, demikian halnya
K2 Sulsel VUnya meningkat 13,4 % tapi SHUnya menurun 35,26 %.

4.2 Kinerja UKM contoh di lima Propinsi
Usaha kecil wanita yang menjadi sampel dalam penelitian ini 22 UK (Tabel 3
dan 4 ) yaitu Jatim 2 UK, Jabar 6 UK, Kalbar 3 UK, dua diantaranya adalah
KUB, Sulsel 7 UK diantaranya 2 KUB dan Sumbar 4 UK, Kebanyakan UKM
contoh telah memulai usahanya sejak t\ahun 1990an atau berumur 5-10 tahun
yaitu sebanyak 16 UK, tahun 1980 an atau berumur 15-20 tahun 5 UK dan
satu UK telah berumur 30 tahun. UKM wanita bergerak diberbagai macam
kegiatan, kebanyakan adalah kegiatan yang membutuhkan ketrampilan
wanita, seperti konveksi, menjahit, memproduksi jeans,denim, seragam, topi,
salon, rias pengantin, memproduksi aksesoris pengantin, pelaminan,
memproduksi makanan seperti roti atau kue basah/ kue kering, mie basah/
mie kering, keripik sanjai, pengolahan ikan, kerajinan seperti tenun ikat, tikar,
tas, dompet, wartel, toko dan sebagainya.
Dilihat dari pendidikan pelaku usaha, sebagian besar (95,45%) pendidikannya
setingkat SLTP dan SLTA, hanya satu (4,55%) contoh pelaku usaha yang
pendidikannya S1. Curahan waktu yang digunakan untuk mengelola usaha
skitar 4 sampai 10 jam. Dalam hal penyerapan tenaga kerja, karena UK sampel
ini kebanyakan adalah industri atau usaha rumah tangga, penyerapan tenaga
kerja relatif masih kecil yaitu sekitar 2 sampai 15 orang, adapun 4 UKM yang
memiliki 50 dan 60 tenaga kerja sebernarnya mereka adalah anggota kelompok
Untuk menjalankan usahanya, dari 22 UK sampel hanya 12 orang (54,54%)
yang telah memanfaatkan modal luar atau pinjaman untuk menjalankan
usahanya, selebihnya (45,46%) menggunakan modal swadaya. Modal
swadaya yang digunakan sangat bervariasi mulai dari Rp 5 juta sampai yang
paling tinggi Rp 385 juta. Omset yang dicapaipun sangat bervariasi dari Rp 80
juta per tahun sampai Rp 500 juta per tahun dengan catatan ada 8 UK tidak
dapat memberikan nilai omset yang dicapai, karena UKM belum melakukan
pembukuan secara baik . Kegiatan usaha UK sampel kinerjanya dapat
dikatakan cukup baik dan masih prospektif karena margin yang diperoleh
rata-rata 25,72% dengan margin tertinggi mencapai 60% dan margin terendah
10%.



4.3 Keberhasilan dan Kegagalan Wanita Sebagai Pelaku Usaha
Keberhasilan wanita ditunjang dari kelebihan-kelebihan wanita yang
merupakan faktor dominan terhadap keberhasilannya sebagai pelaku usaha
antara lain telaten, jujur sehingga lebih dipercaya, ulet, sabar, teliti, cermat,
serius, tekun, berani mengambil resiko, tangguh, tidak mudah menyerah,
memiliki jiwa bisnis atau wira usaha, kemauan keras, semangat, dedikasi
dan loyalitas tinggi, terbuka, bekerja dengan ikhlas, selalu menjaga nama
baik, tidak egois, disiplin dalam administrasi maupun pengelolaan keuangan,
yang mana kelebihan-kelebihan tersebut harus selalu dijaga dan
dikembangkan.
Sebaliknya wanita memiliki pula kelemahan-kelemahan yang dapat menjadi
penyebab kegagalannya sebagai pelaku bisnis antara lain : memanfaatkan
kesempatan untuk kepentingan pribadi, tidak berani mengambil resiko, kurang
percaya diri, atau terlalu percaya diri, terlalu berambisi sehingga menangani
usaha diluar kemampuannya, wawasan sempit sehingga kurang informasi,
tidak bisa membagi waktu atas peran gandanya, sibuk dengan urusan keluarga
sehingga curahan waktu untuk kegiatan usahanya minimal, kurang sabar atau
emosi tinggi, menetapkan keputusan dengan tergesa-gesa, masih bergantung
atau didominasi suami, consumtive, tidak terbuka, tidak bersungguh-sungguh,
yang mana kelemahan-kelemahan tersebut hendaknya diminimalisir

4.4 Permasalahan Yang Dihadapi dan Kiat Yang Dilakukan Koperasi atau
UKM Dalam Pengembangan Usahanya
Permasalahan-permasalahan yang dihadapi UKM maupun koperasi demikian
pula UKMK wanita dapat mempengaruhi kinerjanya, meskipun hal-hal tersebut
merupakan permasalahan klasik perlu dicarikan pemecahannya.
Permasalahan-permasalahan tersebut antara lain kurang modal, lemahnya
SDM, kurang sarana/ prasarana, sulitnya akses ke perbankan, kurang
menguasai pasar, kurang menguasai penggunaan teknologi, yang meskipun
pelaku usaha wanita mempunyai kompetensi lebih, perlu juga dicarikan
jalan keluarnya secara lintas sektoral atau terpadu.

4.5 Alasan Mengapa Wanita Berkiprah Di Koperasi atau UKM
Pertanyaan apa alasan atau motivasi wanita melakukan usaha, yaitu untuk
menentukan apa yang ingin dicapai, tujuan apa yang hendak dicapai, serta
produk apa yang akan dihasilkan. Dari 32 responden wanita pelaku usaha,
ternyata 31 orang (96,88 %)menyatakan ingin mengurangi pengangguran atau
menciptakan lapangan usaha, kemudian ingin meringankan beban keluarga
10 orang (31,35%), ingin mengubah nasib 8 orang (25 %), ingin menjadi diri
sendiri 5 orang (15,12%), lain-lain yaitu ingin mengembangkan orang lain,
agar berguna bagi orang lain, meningkatkan kesejahteraan anggota koperasi
sebanyak 3 orang (31,35 %). serta yang menjawab ingin kaya hanya 1 orang.
Banyaknya motivasi wanita melakukan usaha karena ingin mengurangi
pengangguran atau menciptakan lapangan usaha, menunjukkan adanya
JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 1 TAHUN I – 2006

kesadaran dari wanita atas kondisi pengangguran yang semakin meningkat,
adanya kesadaran dari wanita untuk menciptakan pekerjaan bukan mencari
pekerjaan.

4.7 Pemanfaatan Teknologi Dan Pemikiran Diversifikasi Usaha
Teknologi sangat bermanfaat dalam rangka pengembangan usaha, baik dalam
rangka peningkatan kualitas maupun kuantitas karena dengan teknologi
pekerjaan berjalan secara otomatis akan mempersingkat waktu, mungkin bisa
menekan biaya, dan meningkatkan kualitas produk. Atas pertanyaan
pemanfaatan teknologi, dari 32 responden ternyata 24 orang ( 75 %)
menggunakan teknologi dan selebihnya 8 orang ( 25 % ) tidak memanfaatkan
teknologi
Teknologi yang telah dimanfaatkan responden antara lain computer untuk usaha
simpan pinjam, wartel, mesin jahit, microwave, sarana angkutan, alat penangkap
ikan dengan tenaga surya, mesin photo copy, dan sebagainya. Sedang yang
belum memanfaatkan teknologi karena memang kegiatan usahanya belum
memerlukan teknologi modern, namun ada juga yang sebetulnya membutuhkan
belum bisa memanfaatkan karena kendala keuangan sehingga teknologi
tersebut belum terjangkau.
Sejalan dengan optimisme pelaku usaha dan kepercayaan atas
kemampuannya, ternyata dari 32 responden 23 orang (71,85%)menyatakan
selalu memikirkan tentang diversifikasi usaha, 7 orang (21,88%) menyatakan
kadang-kadang, dan hanya 2 orang (6,25%) tidak pernah memikirkan tentang
diversifikasi usaha. Diversifikasi usaha yang akan dilakukan pelaku usaha
antara lain K1 Sulsel ingin membantu pemasaran produk kerajinan kelompokkelompok
prouktif yang dibinanya, dan UK ingin memanfaatkan bahan baku
yang ada di wilayahnya, membuka unit-unit usaha baru tentu saja disesuaikan
dengan ketrampilan dan kemampuan yang dimilikinya. Pemikiran terhadap
diversifikasi usaha mungkin juga disebabkan karena usaha yang digeluti sudah
jenuh.

4.8 Hubungan Kerja Antara Pimpinan/ Pelaku Usaha Dengan Bawahan/
Sejawat dan Mitra Usaha
Hubungan kerja pimpinan/ pelaku usaha dengan anak buah/ staf/ manajer
atau dengan sejawat seperti dalam koperasi dengan Badan Pengawas hampir
seluruhnya: 28 orang (87,5%) menyatakan tidak ada kesulitan, yang
menyatakan pernah ada kesulitan 2 orang (6,25 %) dan kadang-kadang 2
orang (6,25%). Tidak adanya kesulitan dalam hubungan kerja dengan bawahan
adalah wajar karena sampel dalam penelitian ini koperasinya juga tidak terlalu
besar, paling banyak menggunakan tenaga kerja 66 dan 94 orang yaitu K1
dan K2 di Jawa Timur sedang usaha kecil yang dijadikan sampel juga usaha
rumah tangga yang menyerap tenaga kerja 4-10 orang dan paling banyak 15
orang Dalam hal hubungan dengan mitra usaha, dalam penelitian ini ternyata dari
32 responden yang menyatakan tidak ada kendala 19 orang (59,38 %), sedang
yang ada kendala 13 orang (40,62%). Kendala hubungan dengan mitra usaha
kebanyakan yang banyak diperlukan adalah kemitraan dengan BUMN atau
BUMS belum jalan, pembayaran tidak tepat waktu, kesulitan dalam penagihan
cicilan pada anggota, dan lain sebagainya.

4.9 Kebutuhan Peningkatan Pengetahuan dan Ketrampilan
Dalam hal peningkatan pengetahuan, materi yang paling banyak diminati pelaku
usaha wanita adalah pemasaran dan bisnis 20 orang ( 62,5 %), perilaku
konsumen atau pelanggan 17 orang ( 53,12 %), lingkungan strategis 15
responden, kemudian trend baru, hukum, dan perundang-undangan masingmasing
11 orang (46,88%), dan hanya satu orang (3,12%) yang tertarik tentang
laporan keuangan dan akuntansi.
Dalam hal peningkatan ketrampilan, yang banyak dibutuhkan oleh pelaku
usaha wanita adalah mengenai peningkatan ketrampilan manajerial: 20 orang
(62,5%), memasarkan produk :17 orang ( 53,12 %), penggunaan teknologi
dan sumber daya masing-masing: 16 orang (50 %), kemudian melakukan
inovasi sesuai dengan kegiatan usahanya 15 orang (46,88%), dan
memproduksi barang dan jasa : 12 orang (37,5 %).

4.10 Persepsi Terhadap Citra Diri Dan Kompetensi Pelaku Usaha
Dari 32 responden pimpinan atau pelaku usaha kecil dan pengurus koperasi
wanita yang dijadikan sampel dalam penelitian ini, ternyata 23 orang (71,88%)
kepemimpinannya bersifat partisipatif yaitu dalam mengambil keputusan
meminta pendapat, masukan, dan saran dari staf atau anak buah dan 9 orang
(28,12%) kepemimpinannya bersifat semi partisipatif yaitu dalam pengambilan
keputusan mendengarkan pendapat, masukan, dan saran dari staf atau anak
buah meskipun keputusan tetap ditangani pimpinan sendiri.
Penelitian terhadap citra diri pimpinan pelaku UKM dan pengurus koperasi
yang terdiri dari kejujuran, tanggung jawab, keterbukaan, kepedulian, respek,
dan disiplin, dari 32 responden yang dinilai, ternyata dalam hal kejujuran 22
orang (68,75%) dinilai baik, 2 orang (6,25%) dinilai sedang, selebihnya: 8
orang (25 %) dinilai kurang. Dalam hal tanggung jawab 28 orang (87,5%)
dinilai baik, 4 orang (22,5%) dinilai sedang, dari segi keterbukaan 24 orang
(75 %) dinilai baik, 7 orang (21,88%) dinilai sedang, dan 1 orang (3,12%)
dinilai kurang. Dalam hal kepedulian 23 orang (71,88%) dinilai baik, 9 orang
(39,13%) dinilai sedang, dalam hal respek 18 orang (25%) dinilai baik dan 14
orang (43,75%) dinilai sedang, dan dalam hal disiplin 22 orang (68,75%) dinilai
baik, 10 orang (31,25%) dinilai sedang. Dengan demikian hampir semua
unsur citra diri pelaku usaha dinilai baik dan sedang.
Dari kompetensinya, seluruhnya responen memiliki sifat ulet, yang memiliki
sifat berani mengambil resiko 26 orang (81,25%), yang kreatif 23 orang
(71,88%), yang proaktif menghadapi perubahan 21 orang (65,62%), yang
memiliki jiwa besar 25 orang (78,12%), yang memiliki percaya diri tinggi 27
orang (84,38%), yang tegar atau tidak mudah putus asa 26 orang (81,25%),
dan seluruhnya (100%) bersifat ekstrovet (terbuka). Dengan demikian dari 32
pelaku usaha wanita yang dinilai belum seluruhnya memiliki kompetensi yang
seharusnya dimiliki seorang pelaku usaha atau wirausaha yaitu masih ada
yang tidak berani mengambil resiko, tidak kreatif, tidak proaktif menghadapi
perubahan, tidak berjiwa besar, kurang percaya diri, dan tidak tegar atau mudah
putus asa.

V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
1. Dalam kegiatan UKM, wanita berperan sebagai pelaku usaha atau
sebagai pemilik, sebagai manager ataupun tenaga kerja. Dalam kegiatan
koperasi, wanita dapat berperan sebagai anggota, pengurus, pengawas,
manager, pembina ataupun pendamping usaha. Peran serta wanita dalam
berbagai sektor, namun sesuai dengan kelebihan-kelebihan yang dimiliki
wanita seperti tekun, teliti, ulet, sabar, jujur, tangguh, rasa tanggung jawab
tinggi, kemauan keras, semangat tinggi, disiplin, maka kebanyakan
wanita berhasil dalam bidang keuangan, kerajinan, industri pengolahan,
hal ini juga ditunjukkan dari hasil penelitian ini yang mana hampir seluruh
koperasi dengan kegiatan usaha pokoknya simpan pinjam cukup berhasil.
Sedang sebagai pengusaha kecil wanita banyak bergerak dalam usaha
pertokoan, industri makanan dan minuman, konveksi/garmen, salon/rias
pengantin sekaligus memproduksi assesorisnya, kerajinan dari lontar,
kaca, keramik dan sebagainya.
2. Koperasi contoh yang dikelola wanita, dapat diketegorikan koperasi kecil,
sedang, besar dan sangat besar dilihat dari kelembagaan khususnya
jumlah anggota dan tenaga kerjanya, maupun kinerja usahanya dan hampir
semuanya berjalan cukup baik. Dari penelitian ini terdapat Koperasi Wanita
yang cukup menonjol dan dikategorikan sangat besar yaitu K1 Sulsel
dengan anggota lebih 1000 orang, K1 Jatim dengan anggota lebih 6000
orang dan K2 Jatim dengan anggota lebih 9000 orang. Ketiga koperasi
ini juga memiliki kinerja usaha seperti modal sendiri, modal luar, volume
usaha, sisa hasil usaha cukup besar dengan perkembangan cukup baik
pula. Ketiga Koperasi tersebut memiliki omset atau volume usaha per
tahun cukup tinggi yaitu K2 Jatim (Rp 35,41 M), K1 Jatim (Rp 6,5 M),
dan K1 Sulsel (Rp 2,6 M), yang mana VU ini akan memberikan multifier
effect pada usaha mikro dan kecil di wilayahnya karena kebanyakan
VUnya berupa pinjaman modal kerja pada UKM. Adapun koperasi dengan
kategori kecil, sedang dan besar, meskipun nilai nominal usahanya tidak
terlalu besar namun memiliki perkembangan baik selama dua tahun
terakhir, seperti K1 Jawa Barat, K2 Kalimantan Barat, dan K1 Sumatera
Barat. Kinerja usaha kecil sampel cukup baik pula, dilihat dari modal
swadaya, omset, dan margin yang dicapai yaitu rata-rata lebih dari 25
%, meskipun dalam hal penyerapan tenaga kerjanya masih relatif kecil.
Dengan demikian dapat dikatakan wanita memiliki kompetensi cukup
baik dalam pengembangan UKMK. Dengan syarat benar-benar
mencurahkan cukup waktu dan pikirannya dalam kegiatan tersebut.
3, Dilihat dari kelebihannya, wanita pelaku usaha memiliki berbagai kelebihan
seperti ulet (54,4%), tanggung jawab( 34,38 %), teliti dan rasa tanggung
jawab masing-masing 34,38 %, tekun, sabar dan jujur masing-masing
21,88 %, kreatif dan ingin maju masing-masing 18,75% dari jumlah
sampel, merupakan faktor dominan penyebab wanita berhasil sebagai
pelaku usaha, dan sebaliknya memilki kelemahan antara lain karena
kurang dukungan keluarga ( 37,5 % dari jumlah sampel), kurang dukungan
lingkungan dan pemerintah setempat (28,12% dari jumlah sampel), peran
ganda (21,88 %), kurang berani mengambil resiko dan bersifat konsumtif
masing-masing 15,62 %, kurang profesional (12,5% dari jumlah sampel )
merupakan faktor penyebab wanita gagal sebagai pelaku usaha.
4. Koperasi/UKM sampel masih menghadapi permasalahan-permasalahan
dalam mengembangkan usahanya, seperti kurang modal, lemahnya SDM,
kurang menguasai teknologi/pasar memperngaruhi kinerja usaha,
sehingga permasalahan-permasalahan tersebut perlu dicarikan pemecahan
secara terpadu.
5, Hampir seluruh responden wanita pelaku usaha menyatakan ingin
menciptakan lapangan usaha/mengurangi penggangguran sebagai
motivasi mengapa berkiprah dalam dunia usaha (96,88 % dari jumlah
sampel), hal ini menunjukkan adanya kesadaran wanita untuk ikut serta
mengatasi kondisi kritis yang dihadapi bangsa Indonesia khususnya
dengan semakin meningkatnya penggangguran.
5. Sebanyak 87,8 % responden wanita pelaku usaha yang menyatakan
tidak ada kesulitan dalam menjalin hubungan kerja dengan anak buah,
sejawat, ini menunjukkan responden memiliki kemampuan peran sosial
yang baik
6. Dari penilaian anak buah/pembina tentang kepemimpinan, hubungan kerja,
citra diri dan kompetensinya, ternyata 72,7% sampel wanita pelaku usaha
kepemimpinannya bersifat partisipatif, 27,3 % semi partisipatif, dan tidak
ada yang bersifat otoriter. Dalam hal hubungan kerja dengan bawahan/
sejawat, ternyata 15 orang (46,87% dari jumlah sampel dinilai bersifat
terbuka, 23 orang (21,87 % dari sampel) mau mendelegasikan tugas
pada anak buah, dan tidak yang bersifat suka bekerja sendiri. Adapun
citra diri seluruh sampel dilihat dari aspek kejujuran, keterbukaan,
tanggung jawab, kepedulian, respek dan disiplin, seluruhnya dinilaii baik
dan sedang, tidak ada yang dinilai kurang. Dalam hal kompetensi sampel,
ternyata belum seluruh wanita pelaku usaha yang dijadikan sampel
memiliki seluruh kompetensi yang seharusnya dimiliki, yaitu masih ada
yang tidak berani mengambil resiko, tidak kreatif, tidak proaktif, tidak
berjiwa besar, tidak percaya diri, dan tidak tegas.
7. Terdapat kesadaran dan kemauan yang tinggi dari wanita pelaku usaha
untuk meningkatkan kemampuan ketrampilannya agar dapat meningkatkan
usahanya, baik dalam bentuk pendidikan/pelatihan, studi banding,
maupun magang. Materi peningkatan pengetahuan yang paling banyak
diminati yaitu tentang bisnis 21 responden (65,62%), kemudian
pemasaran, konsumen/pelanggan, dan lingkungan strategis, masingmasing
diminati oleh 20, 17, dan 16 responden atau masing-masing 62,5
%, 53,12%, dan 50% dari sampel. Materi peningkatan ketrampilan yang
paling banyak diminati adalah peningkatan ketrampilan manajerial 21
responden (65,5%), kemudian cara memanfaatkan teknologi,
memanfaatkan sumberdaya, memasarkan produk masing-masing diminati
oleh 17 responden atau 53,12%.

5.2 Saran
1. Untuk mengatasi permasalahan dalam sulitnya akses pada sumbersumber
permodalan, pemerintah diharapkan dapat memberikan
kemudahan pada koperasi/UKM memperoleh fasilitas kredit, konsep Modal
Awal Padanan (MAP) yang dirintis BPSKPKM yang mudah diakses
koperasi/UKM mungkin implementasinya dapat diperluas.
2. Guna meningkatkan kompetensi pelaku usaha dalam rangka
meningkatkan usahanya perlu dilakukan peningkatan pengetahuan,
ketrampilan dari pelaku usaha koperasi/UKM baik berupa diklat, kursus,
magang, studi banding, ataupun perbandingan usaha, yang mana
materinya sesuai dengan kebutuhan dan kegiatan usahanya.
3. Adanya kebutuhan pembinaan manajerial, pelayanan bisnis lainnya untuk
memudahkan akses pada sumber permodalan, kerjasama dengan sumber
bahan baku, informasi pasar, untuk itu implementasi LPB ( Lembaga
Pelayanan Bisnis) ataupun pendampingan bisnis implementasinya
hendaknya diperluas untuk pelaku usaha wanita.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim, Laporan Akhir Penelitian Peranan Wanita Dalam Pengembangan
Koperasi, Badan Penelitian dan Pengembangan Koperasi,
Departemen Koperasi, 1991-1992;
Hesti, R.Wd. Penelitian Perspektif Gender dalam Analisis Gender Dalam
Memahami Persoalan Perempuan, Jurnal Analisis Sosial Edisi IV
Nopember 1996;
Hetifah, S. dkk, Strategi dan Agenda Pengembangan Usaha Kecil, Seri
Penelitian AKATIGA, Yayasan AKATIGA 1995;
Masykur Wiratmo, Pengantar Kewiraswastaan Kerangka Dasar
Memasuki Dunia Bisnis, BPFE . UGM Yogyakarta, edisi Pertama;
Porter Michael E, .Competitive Advantage., The Free Press, 1985;
Siagian Salim dan Asfahani, Kewirausahaan Indonesia dengan Semangat
17-8-1945, Puslatkop. PK Depkop dan Pembinaan Pengusaha Kecil,
Jakarta;
Sumampaw, S.A. dkk, Ada Bersama Tradisi Seri Usaha Mikro Kecil,
Swisscontact dan Limpad, 2000.


REVIEW II.
JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 1 TAHUN I – 2006

JUDUL :Studi peran serta wanita dalam pengembangan usaha kecil menengah dan
Koperasi.

PENGARANG : Anonim

TAHUN PEMBUATAN : Departemen Koperasi, 1991-1992;

LATAR BELAKANG MASALAH :
Indonesia dan pemerintah baru tersadar bahwa usaha besar
yang dibangga-banggakan hanya membawa dampak negative bagi negara dan bangsa akibat kerugian,gulung tikar akibat perubahan suku bunga dan nilai tukar didunia, sebaliknya usaha kecil dan koperasi yang selama ini dipandang sebelah mata mampu bertahan bahkan berkembang.
Memang tak adil tampak,namun mereka mampu menunjukan
kekenyalannya, usaha kecil tetap mendayung sampannya di antara berbagai tantangan bisnis yang semakin bergejolah diera globalisasi. Namun demikian, walau usaha kecil mempunyai daya juang luar biasa, untuk bertahan hidup dan berkembang perlu diberikan lingkungan berusaha dan dukungan-dukungan lain untuk meningkatkan daya saing dan daya tumbuhnya. Untuk itu isu pembinaan dan pengembangan usaha kecil
(termasuk mikro), menengah semakin digalakkan. Identifikasi kebutuhan dan
masalah usaha kecil dan koperasi perlu terus dilakukan dalam upayameningkatkan daya tumbuh dan daya saingnya agar mampu menjadi usaha yang mampu menjadi prospek ekonomi terbaik dimasa yang akan datang.

TUJUAN UTAMA :
• Mengnalisis kemampuan dan peranserta wanita dalam mengembangkan
UKMK dalam program yang dijalankan.
• Mengidentifikasi factor pendorong dan penghambat peranserta pihak yang bersangkutan dalam pengembangan UKMK.
• Memperoleh alternative peningkatan kemampuan dan peranserta wanita
dalam pengembangan UKMK yang diharapkan banyak memberikan dampak
positif bagi kehidupan bermasyarakat

METODELOGI :
• Metode Penelitian dan Analisis Data
• Metode Studi
• Penetapan Sampel dan Responden
• Pengolahan dan Analisa Data
• Ruang Lingkup

RINGKASAN DAN KESIMPULAN :
Dalam kegiatan UKM, wanita berperan sebagai pelaku usaha atau
sebagai pemilik, sebagai manager ataupun tenaga kerja. Dalam kegiatan
koperasi, wanita dapat berperan sebagai anggota, pengurus, pengawas,
manager, pembina ataupun pendamping usaha. Peran serta wanita dalam
berbagai sektor, namun sesuai dengan kelebihan-kelebihan yang dimiliki diharapkan dapat memberi manfaat bagi semua pihak yang bersangkutan.

JURNAL 1.MENGENAI MASIH RELEVANKAH KOPERASI DI DALAM ERA MODERNISASI EKONOMI,DAN REVIEW MENGENAI JURNAL INI SECARA KESELURUHAN

JURNAL MENGENAI MASIH RELEVANKAH KOPERASI DI DALAM ERA MODERNISASI EKONOMI.
DAN REVIEW MENGENAI JURNAL INI SECARA KESELURUHAN.

BAB I PENDAHULUAN
• Latar belakang masalah
• Rumusan maslah
• Tujuan penelitian
• Manfaat penelitian



BAB II. LANDASAN TEORI
• Pembahasan isi secara keseluruhan mengenai perbandingan Negara maju dan
berkembang
• Pengunaan hipotesis
• Penjabaran definisi – definisi utama

BAB III METODE PENELITIAN
• Jenis dan sumber data
• Metode pengumpulan data
• Teknis analisa

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
 Deskriptif data koperasi Indonesia
 Quantitas perkembangan koperasi Indonesia
 Perbandingan kemajuan koperasi di negara maju dan di negara berkembang

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
BAGIAN AKHIR :
• Kesimpulan dan saran
• Daftar pustaka

PROSPEK PERKEMBANGAN KOPERASI DI INDONESIA KE DEPAN:
MASIH RELEVANKAH KOPERASI DI DALAM ERA MODERNISASI EKONOMI?
Tulus Tambunan
Pusat Studi Industri dan UKM
University of Trisakti
2008


I. Latar Belakang Permasalahan
Ropke (1987) mendefinisikan koperasi sebagai organisasi bisnis yang para pemilik atau anggotanya adalah juga pelangggan utama perusahaan tersebut (kriteria identitas). Kriteria identitas suatu koperasi akan merupakan dalil atau prinsip identitas yang membedakan unit usaha koperasi dari unit usaha yang lainnya. Berdasarkan definisi tersebut, menurut Hendar dan Kusnadi (2005), kegiatan koperasi secara ekonomis harus mengacu pada prinsip identitas (hakikat ganda) yaitu anggota sebagai pemilik yang sekaligus sebagai pelanggan. Organisasi koperasi dibentuk oleh sekelompok orang yang mengelola perusahaan bersama yang diberi tugas untuk menunjang kegiatan ekonomi individu para anggotanya. Koperasi adalah organisasi otonom, yang berada didalam lingkungan sosial ekonomi, yang menguntungkan setiap anggota, pengurus dan pemimpin dan setiap anggota, pengurus dan pemimpin merumuskan tujuan-tujuannya secara otonom dan mewujudkan tujuan-tujuan itu melalui kegiatan-kegiatan ekonomi yang dilaksanakan secara bersama-sama (Hanel, 1989).
Dalam sejarahnya, koperasi sebenarnya bukanlah organisasi usaha yang khas berasal dari Indonesia. Kegiatan berkoperasi dan organisasi koperasi pada mulanya diperkenalkan di Inggris di sekitar abad pertengahan. Pada waktu itu misi utama berkoperasi adalah untuk menolong kaum buruh dan petani yang menghadapi problem-problem ekonomi dengan menggalang kekuatan mereka sendiri. Ide koperasi ini kemudian menjalar ke AS dan negara-negara lainnya di dunia. Di Indonesia, baru koperasi diperkenalkan pada awal abad 20. Sejak munculnya ide tersebut hingga saat ini, banyak koperasi di negara-negara maju (NM) seperti di Uni Eropa (UE) dan AS sudah menjadi perusahaan-perusahaan besar termasuk di sektor pertanian, industri manufaktur, dan perbankan yang mampu bersaing dengan korporat-korporat kapitalis.
Sejarah kelahiran dan berkembangnya koperasi di negara maju (NM) dan negara sedang berkembang (NSB) memang sangat diametral. Di NM koperasi lahir sebagai gerakan untuk melawan ketidakadilan pasar, oleh karena itu tumbuh dan berkembang dalam suasana persaingan pasar. Bahkan dengan kekuatannya itu koperasi meraih posisi tawar dan kedudukan penting dalam konstelasi kebijakan ekonomi termasuk dalam perundingan internasional. Peraturan perundangan yang mengatur koperasi tumbuh kemudian sebagai tuntutan masyarakat koperasi dalam rangka melindungi dirinya. Sedangkan, di NSB koperasi dihadirkan dalam kerangka membangun institusi yang dapat menjadi mitra negara dalam menggerakkan pembangunan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.
Di Indonesia pengenalan koperasi memang dilakukan oleh dorongan pemerintah, bahkan sejak pemerintahan penjajahan Belanda telah mulai diperkenalkan. Gerakan koperasi sendiri mendeklarasikan sebagai suatu gerakan sudah dimulai sejak tanggal 12 Juli 1947 melalui Kongres Koperasi di Tasikmalaya. Pengalaman di tanah air kita lebih unik karena koperasi yang pernah lahir dan telah tumbuh secara alami di jaman penjajahan, kemudian setelah kemerdekaan diperbaharui dan diberikan kedudukan yang sangat


tinggi dalam penjelasan undang-undang dasar. Dan atas dasar itulah kemudian melahirkan berbagai penafsiran bagaimana harus mengembangkan koperasi (Soetrisno, 2003).
Lembaga koperasi sejak awal diperkenalkan di Indonesia memang sudah diarahkan untuk berpihak kepada kepentingan ekonomi rakyat yang dikenal sebagai golongan ekonomi lemah. Strata ini biasanya berasal dari kelompok masyarakat kelas menengah kebawah. Eksistensi koperasi memang merupakan suatu fenomena tersendiri, sebab tidak satu lembaga sejenis lainnya yang mampu menyamainya, tetapi sekaligus diharapkan menjadi penyeimbang terhadap pilar ekonomi lainnya. Lembaga koperasi oleh banyak kalangan, diyakini sangat sesuai dengan budaya dan tata kehidupan bangsa Indonesia. Di dalamnya terkandung muatan menolong diri sendiri, kerjasama untuk kepentingan bersama (gotong royong), dan beberapa esensi moral lainnya. Sangat banyak orang mengetahui tentang koperasi meski belum tentu sama pemahamannya, apalagi juga hanya sebagian kecil dari populasi bangsa ini yang mampu berkoperasi secara benar dan konsisten. Sejak kemerdekaan diraih, organisasi koperasi selalu memperoleh tempat sendiri dalam struktur perekonomian dan mendapatkan perhatian dari pemerintah.
Keberadaan koperasi sebagai lembaga ekonomi rakyat ditilik dari sisi usianyapun yang sudah lebih dari 50 tahun berarti sudah relatif matang. Sampai dengan bulan November 2001, misalnya, berdasarkan data Departemen Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM), jumlah koperasi di seluruh Indonesia tercatat sebanyak 103.000 unit lebih, dengan jumlah keanggotaan ada sebanyak 26.000.000 orang. Jumlah itu jika dibanding dengan jumlah koperasi per-Desember 1998 mengalami peningkatan sebanyak dua kali lipat. Jumlah koperasi aktif, juga mengalami perkembangan yang cukup menggembirakan. Jumlah koperasi aktif per-November 2001, sebanyak 96.180 unit (88,14 persen). Hingga tahun 2004 tercatat 130.730, tetapi yang aktif mencapai 28,55%, sedangkan yang menjalan rapat tahunan anggota (RAT) hanya 35,42% koperasi saja. Data terakhir tahun 2006 ada 138.411 unit dengan anggota 27.042.342 orang akan tetapi yang aktif 94.708 unit dan yang tidak aktif sebesar 43.703 unit.
Namun uniknya, kualitas perkembangannya selalu menjadi bahan perdebatan karena tidak jarang koperasi dimanfaatkan di luar kepentingan generiknya. Juga, secara makro pertanyaan yang paling mendasar berkaitan dengan kontribusi koperasi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), pengentasan kemiskinan, dan penciptaan lapangan kerja. Sedangkan secara mikro pertanyaan yang mendasar berkaitan dengan kontribusi koperasi terhadap peningkatan pendapatan dan kesejahteraan anggotanya. Menurut Merza (2006), dari segi kualitas, keberadaan koperasi masih perlu upaya yang sungguh-sungguh untuk ditingkatkan mengikuti tuntutan lingkungan dunia usaha dan lingkungan kehidupan dan kesejahteraan para anggotanya. Pangsa koperasi dalam berbagai kegiatan ekonomi masih relatif kecil, dan ketergantungan koperasi terhadap bantuan dan perkuatan dari pihak luar, terutama Pemerintah, masih sangat besar.


Jadi, dalam kata lain, di Indonesia, setelah lebih dari 50 tahun keberadaannya, lembaga yang namanya koperasi yang diharapkan menjadi pilar atau soko guru perekonomian nasional dan juga lembaga gerakan ekonomi rakyat ternyata tidak berkembang baik seperti di negara-negara maju (NM). Oleh karena itu tidak heran kenapa peran koperasi di dalam perekonomian Indonesia masih sering dipertanyakan dan selalu menjadi bahan perdebatan karena tidak jarang koperasi dimanfaatkan di luar kepentingan generiknya.
II. Perumusan Masalah dan Pertanyaan-pertanyaan Penelitian
Berdasarkan fenomena tersebut di atas (lihat latar belakang), maka perumusan masalah di dalam penelitian ini dijabarkan dalam pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1) bagaimana perkembangan koperasi di Indonesia hingga saat ini dan bagaimana prospek ke depannya di dalam perubahan ekonomi dari ekonomi tradisional ke ekonomi modern?
2) Kemungkinan dampak apa yang akan terjadi terhadap perkembangan koperasi di Indonesia dari globalisasi dan perdagangan bebas dunia?
3) Pelajaran apa yang bisa diambil terutama dalam strategi dari koperasi-koperasi yang berhasil, khususnya di NM?
4) Bagaimana rumusan rekomendasi tentang pendekatan pemberdayaan koperasi dalam lingkungan ekonomi yang berubah?

Jadi, pertanyaan besarnya adalah: masih relevankah lembaga ekonomi yang namanya koperasi di dalam era globalisasi saat ini (dan ke depan)?
III. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian tersebut di atas, yakni:
1. mengetahui prospek perkembangan koperasi di Indonesia dalam era modernisasi ekonomi nasional dibawah pengaruh kuat dari globalisasi dan liberalisasi perdagangan dunia;
2. mengetahui strategi yang dilakukan oleh koperasi-koperasi yang berhasil di NM dan di Indonesia;
3. menyusun rekomendasi tentang pendekatan pemberdayaan koperasi dalam lingkungan yang berubah terkait dengan modernisasi ekonomi.

IV. Tinjauan Literatur Mengenai Koperasi: Definisi dan Sejarahnya
IV.1 Koperasi
Ropke (1987) mendefinisikan koperasi sebagai organisasi bisnis yang para pemilik atau anggotanya adalah juga pelangggan utama perusahaan tersebut (kriteria identitas). Kriteria identitas suatu koperasi akan


merupakan dalil atau prinsip identitas yang membedakan unit usaha koperasi dari unit usaha yang lainnya. Berdasarkan definisi tersebut, menurut Hendar dan Kusnadi (2005), kegiatan koperasi secara ekonomis harus mengacu pada prinsip identitas (hakikat ganda) yaitu anggota sebagai pemilik yang sekaligus sebagai pelanggan. Organisasi koperasi dibentuk oleh sekelompok orang yang mengelola perusahaan bersama yang diberi tugas untuk menunjang kegiatan ekonomi individu para anggotanya. Koperasi adalah organisasi otonom, yang berada didalam lingkungan sosial ekonomi, yang menguntungkan setiap anggota, pengurus dan pemimpin dan setiap anggota, pengurus dan pemimpin merumuskan tujuan-tujuannya secara otonom dan mewujudkan tujuan-tujuan itu melalui kegiatan-kegiatan ekonomi yang dilaksanakan secara bersama-sama (Hanel, 1989).
Di Indonesia pengenalan koperasi memang dilakukan oleh dorongan pemerintah, bahkan sejak pemerintahan penjajahan Belanda telah mulai diperkenalkan. Gerakan koperasi sendiri mendeklarasikan sebagai suatu gerakan sudah dimulai sejak tanggal 12 Juli 1947 melalui Kongres Koperasi di Tasikmalaya. Pengalaman di tanah air kita lebih unik karena koperasi yang pernah lahir dan telah tumbuh secara alami di jaman penjajahan, kemudian setelah kemerdekaan diperbaharui dan diberikan kedudukan yang sangat tinggi dalam penjelasan undang-undang dasar. Dan atas dasar itulah kemudian melahirkan berbagai penafsiran bagaimana harus mengembangkan koperasi (Soetrisno, 2003).
Lembaga koperasi sejak awal diperkenalkan di Indonesia memang sudah diarahkan untuk berpihak kepada kepentingan ekonomi rakyat yang dikenal sebagai golongan ekonomi lemah. Strata ini biasanya berasal dari kelompok masyarakat kelas menengah kebawah. Eksistensi koperasi memang merupakan suatu fenomena tersendiri, sebab tidak satu lembaga sejenis lainnya yang mampu menyamainya, tetapi sekaligus diharapkan menjadi penyeimbang terhadap pilar ekonomi lainnya. Lembaga koperasi oleh banyak kalangan, diyakini sangat sesuai dengan budaya dan tata kehidupan bangsa Indonesia. Di dalamnya terkandung muatan menolong diri sendiri, kerjasama untuk kepentingan bersama (gotong royong), dan beberapa esensi moral lainnya. Sangat banyak orang mengetahui tentang koperasi meski belum tentu sama pemahamannya, apalagi juga hanya sebagian kecil dari populasi bangsa ini yang mampu berkoperasi secara benar dan konsisten. Sejak kemerdekaan diraih, organisasi koperasi selalu memperoleh tempat sendiri dalam struktur perekonomian dan mendapatkan perhatian dari pemerintah.
Keberadaan koperasi sebagai lembaga ekonomi rakyat ditilik dari sisi usianyapun yang sudah lebih dari 50 tahun berarti sudah relatif matang. Sampai dengan bulan November 2001, berdasarkan data Departemen Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM), jumlah koperasi di seluruh Indonesia tercatat sebanyak 103.000 unit lebih, dengan jumlah keanggotaan ada sebanyak 26.000.000 orang. Jumlah itu jika dibanding dengan jumlah koperasi per-Desember 1998 mengalami peningkatan sebanyak dua kali lipat. Jumlah koperasi aktif, juga mengalami perkembangan yang cukup menggembirakan. Jumlah koperasi aktif per-


November 2001, sebanyak 96.180 unit (88,14 persen). Hingga tahun 2004 tercatat 130.730, tetapi yang aktif mencapai 28,55%, sedangkan yang menjalan rapat tahunan anggota (RAT) hanya 35,42% koperasi saja. Data terakhir tahun 2006 ada 138.411 unit dengan anggota 27.042.342 orang akan tetapi yang aktif 94.708 unit dan yang tidak aktif sebesar 43.703 unit.
Namun uniknya, kualitas perkembangannya selalu menjadi bahan perdebatan karena tidak jarang koperasi dimanfaatkan di luar kepentingan generiknya. Juga, secara makro pertanyaan yang paling mendasar berkaitan dengan kontribusi koperasi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), pengentasan kemiskinan, dan penciptaan lapangan kerja. Sedangkan secara mikro pertanyaan yang mendasar berkaitan dengan kontribusi koperasi terhadap peningkatan pendapatan dan kesejahteraan anggotanya. Menurut Merza (2006), dari segi kualitas, keberadaan koperasi masih perlu upaya yang sungguh-sungguh untuk ditingkatkan mengikuti tuntutan lingkungan dunia usaha dan lingkungan kehidupan dan kesejahteraan para anggotanya. Pangsa koperasi dalam berbagai kegiatan ekonomi masih relatif kecil, dan ketergantungan koperasi terhadap bantuan dan perkuatan dari pihak luar, terutama Pemerintah, masih sangat besar.
IV.2 Koperasi di dalam Ilmu Ekonomi
Ilmu ekonomi adalah suatu studi mengenai bagaimana orang membuat pilihan yang tepat atau optimal untuk memanfaatkan sumber-sumber daya/produksi seperti tanah, tenaga kerja, barang-barang modal seperti mesin, enerji, pengetahuan teknis maupun non-teknis, dll. yang langkah atau jumlahnya terbatas untuk menghasilkan berbagai macam output (barang dan jasa) dan mendistribusikan ke semua anggota masyarakat untuk digunakan/dikomsumsikan. Samuelson (1973) atau Samuelson dan Nordhaus (1992) mengatakan bahwa ilmu ekonomi adalah studi mengenai cara-cara yang dilakukan oleh masyarakat dalam menggunakan sumber daya yang ada yang jumlahnya terbatas untuk memproduksi barang-barang dan jasa-jasa yang bermanfaat serta mendistribusikannya ke semua anggota masyarakat.
Dalam formulasi yang lebih sederhana, ilmu ekonomi adalah studi mengenai perilaku manusia baik sebagai konsumen maupun produsen, secara individu maupun kelompok, untuk mendapatkan kepuasan atau kesejahteraan semaksimum mungkin dengan menggunakan sumber daya yang ada dan terbatas. Dilihat dalam ukuran moneter, kepuasan atau kesejahteraan bisa dalam bentuk pendapatan yang tinggi, keuntungan yang besar, atau pengeluaran yang sedikit.
Dari definisi di atas, ada tiga hal yang menjadi pokok pemikiran di dalam ilmu ekonomi (Rosyidi, 1996). Pertama, pemilihan cara penggunaan sumber-sumber produksi yang langkah dan dapat mempunyai penggunaan-penggunaan alternatif. Artinya, setiap barang atau sumber daya mempunyai lebih dari satu penggunaannya. Dalam hal ini, ilmu ekonomi adalah studi mengenai pemilihan cara penggunaan yang paling menguntungkan. Misalnya, dalam suatu proses produksi dibutuhkan dua faktor produksi yakni


modal dan tenaga kerja. Pertanyaannya sekarang adalah: kombinasi yang mana dalam pemakaian kedua faktor produksi tersebut yang menghasilkan output paling maksimum dengan biaya produksi paling rendah (atau tingkat efisiensi dari pemakaian kedua faktor tersebut paling tinggi). Kedua, sumber-sumber produksi yang ada merupakan barang-barang yang langkah, dan oleh karena itu ada harganya atau ada konsukwensi biaya dalam pemakaiannya. Hal ini pun kembali ke masalah pemilihan, yakni sumber daya atau kombinasi dari sejumlah sumber daya yang mana yang paling murah biaya pemakainnya dengan tingkat output yang diinginkan. Ketiga, produksi serta pembagian hasilnya kepada anggota-anggota masyarakat untuk konsumsi. Jadi, dalam hal ini harus ada keseimbangan antara pembuatan dan pemakaian atau produksi dan konsumsi.
Dari uraian di atas, maka dapat dipahami bahwa ilmu ekonomi adalah studi yang terkait dengan upaya mencari solusi terbaik terhadap tiga permasalahan yang mendasar, yakni:
1) Komoditas apa yang harus dibuat?
2) Bagaimana membuatnya?
3) Untuk siapa komoditas itu dibuat?

Dilihat dari sejarah lahirnya ilmu ekonomi, terdapat berbagai pemahaman (mazhab) yang muncul yang tidak lepas dari kondisi kehidupan sosial, ekonomi dan politik pada saat itu. Dari sekian banyak mazhab yang (pernah) ada, saat ini ada tiga pemahaman yang masih sangat relevan, yakni sebagai berikut:
1) Liberal yang berasal dari Adam Smith dengan bukunya yang sangat terkenal, The Wealth of Nations. Mazhab ekonomi liberal ini menentang segala macam bentuk campur tangan pemerintah dalam kegiatan-kegiatan ekonomi. Paham ini disebut juga paham ekonomi klasik dan sejalan dengan paham ekonomi kapitalisme yang dicirikan dengan antara lain: (i) harga ditentukan oleh pasar; (ii) persaingan bebas; (iii) setiap manusia bebas berusaha; dan (iv) peran pemeritah minimum (jika tidak bisa dikatakan tidak ada atau tidak perlu sama sekali) (Tambunan 2006).
Saat ini, seiring dengan perkembangan teknologi yang pesat, terutama dalam komunikasi dan transportasi, adanya organisasi perdagangan dunia atau WTO dan muncunya banyak wilayah-wilayah perdagangan bebas (FTA), termasuk di ASEAN (AFTA) dan oleh ASEAN dengan China, Jepanng dan Korea Selatan (ASEAN+3), perekonomian dan perdagangan global cenderung semakin liberal. Kecenderungan ini disebut juga sebagai pemahaman ekonomi neoklasik.
2) Sosialis-komunis yang berasal dari beberapa ahli ekonomi dari Jerman yang dimotori oleh Karl Marx. Paham ini muncul sebagai respons terhadap dampak negatif dari proses ekonomi berlandaskan pemikiran liberal, yakni ketidakadilan dalam pembagian “kuwe” ekonomi: pemilik modal semakin kaya sedangkan pekerja/buruh semakin tertindas. Mazhab komunis tidak percaya terhadap mekanisme pasar. Oleh karena itu, peran pemerintah dalam pemahaman ini sangat besar.


Saat ini negara-negara yang menerapkan sistem ekonomi komunis kemungkinan besar hanya Korea Utara, di mana alokasi sumber daya, harga, upah, konsumsi, dan kesempatan kerja sepenuhnya ditentukan oleh pemerintah pusat. Sedangkan negara-negara yang menerapkan sistem sosial atau sering disebut sistem campuran sosial dan kapitalis adalah negara-negara di Eropa Barat; umum disebut the welfare states. Dalam sistem ini mekanisme pasar dalam menentukan harga, upah dan volume produksi tetap berperan, masyarakat bebas berusaha, dan persaingan pasar tetap ada. Namun demikian, peran pemerintah tetap besar, terutama dalam menentukan hal-hal yang sangat mempengaruhi distribusi pendapatan seperti harga dan upah minimum.
3) Paham Keynesian. Paham ini juga muncul sebagai reaksi terhadap kegagalan mekansime pasar sebagai motor pertumbuhan output dan kesempatan kerja. Inti dari paham Keynesian adalah peran pemerintah yang sangat besar sebagai salah satu pendorong pertumbuhan, dan peran ini dilakukan lewat pengeluaran pemerintah (atau dalam kasus Indonesia, lewat anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).
Saat ini, walaupun semakin banyak negara di dunia yang sistem ekonominya cenderung semakin liberal, khususnya dalam perdagangan, namun demikian masih banyak negara yang tetap menganut sistem ekonomi Keynesian. Sistem ini dianggap sangat penting dalam kondisi ekonomi yang sedang lesuh (pertumbuhan rendah atau mengalami resesi) karena motor pertumbuhan dari sektor swasta tidak bekerja (konsumsi atau investasi swasta lesuh).
Ilmu ekonomi seperti yang telah dibahas di atas berkaitan dengan alokasi sumber daya yang terbatas jumlahnya untuk menghasilkan barang dan jasa sebanyak mungkin demi memenuhi kebutuhan individual atau meningkatkan kesejahteraan. Ekonomi pembangunan selain alokasi sumber daya juga bersangkut paut dengan formulasi kebijaksanaan pemerintah untuk mendukung upaya-upaya pembangunan ekonomi yang diarahkan pada perbaikan tingkat hidup masyarakat, yang sejalan dengan dimensi pembangunan ekonomi yakni berorientasi pada pengurangan kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan (Suryana, 2000).
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa ekonomi pembangunan adalah cabang ilmu ekonomi yang bertujuan untuk menganalisis masalah-masalah dalam proses pembangunan ekonomi seperti kemiskinan, pengangguran, hutang luar negeri, dan ketimpangan pendapatan yang dihadapi oleh negara-negara sedang berkembang (NSB), dan cara-cara untuk mengatasinya agar NSB tersebut dapat membangun ekonomi mereka lebih baik dan cepat (Sadono, 1985).
Secara garis besar, pembahasan ilmu ekonomi pembangunan dapat dimasukkan dalam dua golongan. Pertama, pembahasan mengenai pembangunan ekonomi baik bersifat deskriptif maupun analitis yang bertujuan untuk memberikan gambaran tentang berbagai sifat perekonomian masyarakat di NSB dan implikasinya terhadap kemungkinan untuk membangun ekonomi NSB tersebut. Kedua, pembahasan


selebihnya bersifat memberikan berbagai pilihan kebijaksanaan pembangunan ekonomi yang dapat dilakukan dalam upaya-upaya untuk mempercepat proses pembangunan ekonomi di NSB tersebut (Suryana, 2000).
Menurut definsi lama, pembangunan ekonomi adalah suatu proses yang membuat pendapatan per kapita suatu masyarakat meningkat dalam jangka panjang. Pendapatan per kapita paling sering digunakan sebagai indikator utama untuk mengukur peningkatan kesejahteraan masyarakat di dalam sebuah ekonomi/negara. Dalam definisi baru, pembangunan ekonomi adalah suatu proses multidimensional yang melibatkan perubahan besar secara sosial dalam ekonomi (Hakim, 2004).
IV.3. Perkembangan Koperasi dalam Ekonomi Kapitalis dan Semi Kapitalis
Dalam sejarahnya, koperasi sebenarnya bukanlah organisasi usaha yang khas berasal dari Indonesia. Kegiatan berkoperasi dan organisasi koperasi pada mulanya diperkenalkan di Inggris di sekitar abad pertengahan. Pada waktu itu misi utama berkoperasi adalah untuk menolong kaum buruh dan petani yang menghadapi problem-problem ekonomi dengan menggalang kekuatan mereka sendiri. Kemudian di Perancis yang didorong oleh gerakan kaum buruh yang tertindas oleh kekuatan kapitalis sepanjang abad ke 19 dengan tujuan utamanya membangun suatu ekonomi alternatif dari asosiasi-asosiasi koperasi menggantikan perusahaan-perusahaan milik kapitalis (Moene dan Wallerstein, 1993). Ide koperasi ini kemudian menjalar ke AS dan negara-negara lainnya di dunia. Di Indonesia, baru koperasi diperkenalkan pada awal abad 20.
Sejak munculnya ide tersebut hingga saat ini, banyak koperasi di negara-negara maju (NM) seperti di Uni Eropa (UE) dan AS sudah menjadi perusahaan-perusahaan besar termasuk di sektor pertanian, industri manufaktur, dan perbankan yang mampu bersaing dengan korporat-korporat kapitalis.
Sejarah kelahiran dan berkembangnya koperasi di NM dan NSB memang sangat diametral. Di NM koperasi lahir sebagai gerakan untuk melawan ketidakadilan pasar, oleh karena itu tumbuh dan berkembang dalam suasana persaingan pasar. Bahkan dengan kekuatannya itu koperasi meraih posisi tawar dan kedudukan penting dalam konstelasi kebijakan ekonomi termasuk dalam perundingan internasional. Peraturan perundangan yang mengatur koperasi tumbuh kemudian sebagai tuntutan masyarakat koperasi dalam rangka melindungi dirinya. Sedangkan, di NSB koperasi dihadirkan dalam kerangka membangun institusi yang dapat menjadi mitra negara dalam menggerakkan pembangunan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu kesadaran antara kesamaan dan kemuliaan tujuan negara dan gerakan koperasi dalam memperjuangkan peningkatan kesejahteraan masyarakat ditonjolkan di NSB, baik oleh pemerintah kolonial maupun pemerintahan bangsa sendiri setelah kemerdekaan (Soetrisno, 2001). Dalam kasus Indonesia, hal ini ditegaskan di dalam Undang-undang (UU) Dasar 1945 Pasal 33 mengenai


sistem perekonomian nasional. Berbagai peraturan perundangan yang mengatur koperasi dilahirkan dan juga dibentuk departemen atau kementerian khusus yakni Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah dengan maksud mendukung perkembangan koperasi di dalam negeri.
Menurut data dari ICA, di dunia saat ini sekitar 800 juta orang adalah anggota koperasi dan diestimasi bahwa koperasi-koperasi secara total mengerjakan lebih dari 100 juta orang, 20% lebih dari jumlah yang diciptakan oleh perusahaan-perusahaan multinasional. Pada tahun 1994, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperkirakan bahwa kehidupan dari hampir 3 miliar orang, atau setengah dari jumlah populasi di dunia terjamin oleh perusahaan-perusahaan koperasi.
Tidak hanya di NSB yang pendapatan per kapitanya rendah, tetapi juga di NM yang pada uumnya adalah ekonomi kapitalis seperti di Amerika Utara dan Jepang atau yang semi kapitalis seperti di negara-negara Eropa Barat, khususnya Skandinavia peran koperasi sangat penting.1Suatu studi dari Eurostat (2001) di tujuh negara Eropa menunjukkan bahwa pangsa dari koperasi-koperasi dalam menciptaan kesempatan kerja mencapai sekitar 1 persen di Perancis dan Portugal hingga 3,5 persen di Swiss. Menurut ICA, di Kanada 1 dari 3 orang (atau sekitar 33% dari jumlah populasinya) adalah anggota koperasi. Koperasi (termasuk koperasi kredit atau credit union) mengerjakan lebih dari 160 ribu orang. Gerakan koperasi the Desjardins (koperasi tabungan dan kredit) dengan lebih dari 5 juta anggota adalah pencipta kesempatan kerja terbesar di Propinsi Québec. Banyak koperasi pertanian mendirikan industri pupuk dan banyak koperasi yang terlibat dalam kegiatan-kegiatan pengeboran minyak bumi. Banyak koperasinya yang memiliki pangsa yang cukup besar di pasar global. Misalnya koperasi-koperasi gula menguasai sekitar 35% dari produksi gula dunia.
Perkembangan koperasi yang sangat pesat di NM tersebut membuktikan bahwa tidak ada suatu korelasi negatif antara masyarakat dan ekonomi modern dan perkembangan koperasi. Dalam kata lain, koperasi tidak akan mati di tengah-tengah masyarakat dan perekonomian yang modern, atau pengalaman tersebut memberi kesan bahwa koperasi tidak bertentangan dengan ekonomi kapitalis. Sebaliknya, koperasi-koperasi di NM selama ini tidak hanya mampu bersaing dengan perusahaan-perusahaan besar non-koperasi, tetapi mereka juga menyumbang terhadap kemajuan ekonomi dari negara-negara kapitalis tersebut. Seperti telah dijelaskan di atas bahwa koperasi lahir pertama kali di Eropa yang juga merupakan tempat lahirnya sistem ekonomi kapitalis.
Memang di ekonomi modern seperti sekarang ini di NM dengan arus globalisasi yang semakin dasyat dan perdagangan internasional yang cenderung akan sepenuhnya liberal, persaingan antar usaha untuk segala bentuk dan skala akan semakin dasyat. Banyak literatur mengenai koperasi di Eropa dan AS mengatakan bahwa dalam 20 tahun terakhir ini koperasi-koperasi di dua wilayah tersebut menghadapi
1 Lihat misalnya Birchall (1997), Hansmann (1996), Hill (2000), Eurostat (2001), Furlough dan Strikwerda (1999), dan Klinedinst dan Sato (1994).


persaingan yang semakin ketat yang memaksa mereka untuk melakukan penggabungan, akuisisi, atau kerja sama dalam bentuk-bentuk lain sebagai salah satu strategi untuk survive. Misalnya Nello (2000) memaparkan bahwa memang sejak akhir 90an banyak koperasi di Eropa yang melakukan strategi tersebut.
Peterson (2005), mengatakan bahwa koperasi harus memiliki keunggulan-keunggulan kompetitif dibandingkan organisasi-organisasi bisnis lainnya untuk bisa menang dalam persaingan di dalam era globalisasi dan perdagangan bebas saat ini. Keunggulan kompetitif disini didefinisikan sebagai suatu kekuatan organisasional yang secara jelas menempatkan suatu perusahaan di posisi terdepan dibandingkan pesaing-pesaingnya. Faktor-faktor keunggulan kompetitif dari koperasi harus datang dari: (1) sumber-sumber tangible seperti kualitas atau keunikan dari produk yang dipasarkan (misalnya formula Coca-Cola Coke) dan kekuatan modal; (ii) sumber-sumber bukan tangible seperti brand name, reputasi, dan pola manajemen yang diterapkan (misalnya tim manajemen dari IBM); dan (iii) kapabilitas atau kompetensi-kompetensi inti yakni kemampuan yang kompleks untuk melakukan suatu rangkaian pekerjaan tertentu atau kegiatan-kegiatan kompetitif (misalnya proses inovasi dari 3M). Menurutnya, salah satu yang harus dilakukan koperasi untuk bisa memang dalam persaingan adalah menciptakan efisiensi biaya. Tetapi ini juga bisa ditiru/dilakukan oleh perusahaan-perusahaan lain (non-koperasi). Jadi, ini bukan suatu keunggulan kompetitif yang sebenarnya dari koperasi. Menurutnya satu-satunya keunggulan kompetitif sebenarnya dari koperasi adalah hubungannya dengan anggota. Misalnya, di koperasi produksi komoditas-komoditas pertanian, lewat anggotanya koperasi tersebut bisa melacak bahan baku yang lebih murah, sedangkan perusahaan non-koperasi harus mengeluarkan uang untuk mencari bahan baku murah.
Loyd (2001) menegaskan bahwa koperasi-koperasi perlu memahami apa yang bisa membuat mereka menjadi unggul di pasar yang mengalami perubahan yang semakin cepat akibat banyak faktor multi termasuk kemajuan teknologi, peningkatan pendapatan masyarakat yang membuat perubahan selera pembeli, penemuan-penemuan material baru yang bisa menghasilkan output lebih murah, ringan, baik kualitasnya, tahan lama, dsb.nya, dan makin banyaknya pesaing-pesaing baru dalam skala yang lebih besar. Dalam menghadapi perubahan-perubahan tersebut, menurutnya, faktor-faktor kunci yang menentukan keberhasilan koperasi adalah: (1) posisi pasar yang kuat (antara lain dengan mengeksploitasikan kesempatan-kesempatan vertikal dan mendorong integrasi konsumen); (2) pengetahuan yang unik mengenai produk atau proses produksi; (3) sangat memahami rantai produksi dari produk bersangkutan; (4) terapkan suatu strategi yang cemerlang yang bisa merespons secara tepat dan cepat setiap perubahan pasar; dan (5) terlibat aktif dalam produk-produk yang mempunyai tren-tren yang meningkat atau prospek-prospek masa depan yang bagus (jadi mengembangkan kesempatan yang sangat tepat).
Berdasarkan penelitian mereka tehadap perkembangan dari koperasi-koperasi pekerja di AS Lawless dan Reynolds (2004) memberikan beberapa kriteria kunci dan praktek-praktek terbaik. Menurut mereka,


kriteria-kriteria kunci untuk memulai suatu koperasi yang berhasil adalah sebagai berikut: (1) memiliki kepemimpinan yang visioner yang bisa “membaca” kecenderungan perkembangan pasar, kemajuan teknologi, perubahan pola persaingan, dll.; (2) menerapkan struktur organisasi yang tepat yang merefleksikan dan mempromosikan suatu kultur terbaik yang cocok terhadap bisnis bersangkutan (antara lain kondisi pasar/persiangan dan sifat produk atau proses produksi dari produk bersangkutan); (3) kreatif dalam pendanaan (jadi tidak hanya tergantung pada kontribusi anggota, tetapi juga lewat penjualan saham ke non-anggota atau pinjam dari bank); dan (4) mempunyai orientasi bisnis yang kuat. Sedangkan best practices menurut mereka adalah termasuk: (1) anggota sepenuhnya memahami industri-industri atau sektor-sektor yang mereka guleti dan kekuatan-kekuatan serta kelemahan-kelemahan dari koperasi mereka; (2) struktur organisasi atau pola manajemen yang diterapkan sepenuhnya didukung oleh anggota (sistem manajemen bisa secara kolektif atau dengan suatu struktur hirarki manajemen/dewan pengurus; (3) punya suatu misi yang didefinisikan secara jelas dan fokus; dan (4) punya pendanaan yang cukup.
Sedangkan menurut Pitman (2005) dari hasil penelitiannya terhadap kinerja berbagai macam koperasi di Wisconsin (AS), selain faktor-faktor di atas, koperasi yang berhasil adalah koperasi yang melakukan hal-hal berikut ini: (1) memakai komite-komite, penasehat-penasehat dan ahli-ahli dari luas secara efektif; (2) selalu memberikan informasi yang lengkap dan up to date kepada anggota-anggotanya sehingga mereka tetap terlibat dan suportif; (3) melakukan rapat-rapat atau pertemuan-pertemuan bisnis dengan memakai agenda yang teratur, prosedur-prosedur parlemen, dan pengambil keputusan yang demokrasi; (4) mempertahankan relasi-relasi yang baik antara manajemen dan dewan direktur/pengurus dengan tugas-tugas dan tanggung jawab- tanggung jawab yang didefinisikan secara jelas; (5) mengikuti praktek-praktek akutansi yang baik, dan mempersentasikan laporan-laporan keuangan secara regular; (6) mengembangkan aliansi-aliansi dengan koperasi-koperasi lainnya; dan (7) mengembangkan kebijakan-kebijakan yang jelas terhadap konfidensial dan konflik kepentingan.
Keeling (2005) meneliti mengapa dalam beberapa tahun belakangan ini banyak koperasi-koperasi besar di California termasuk dua yang terkenal Tri-Valley Growers (TVG) dan the Rice Growers Association (RGA) telah tutup, sedangkan banyak lainnya sedang mengalami kesulitan-kesulitan keuangan. Perkembangan-perkembangan tersebut memberi kesan bahwa koperasi-koperasi di California mungkin semakin mengalami kesulitan untuk bersaing dalam iklim bisnis pertanian saat ini dengan persaingan yang semakin ketat dari produk-produk luar negeri termasuk dari China. Akhirnya, hasil studi tersebut mendukung hipotesis awal bahwa, RGA dan TVG tutup terutama akibat kombinasi dari sejumlah faktor berikut: (1) kurangnya pendidikan dan pengawasan dari dewan direktur/pengurus; (2) manajemen yang tidak efektif; dan (3) keanggotaan yang pasif.


Sedangkan bagi Anderson dan Henehan (2003), manajemen dan direktur yang efektif dalam arti cepat mengambil suatu keputusan yang tepat dalam merespons terhadap perkembangan-perkembangan bisnis terkait (misalnya perubahan pasar atau masuknya pesaing-pesaing baru) sangat menentukan keberhasilan suatu koperasi. Mereka harus memastikan bahwa dengan langkah-langkah yang cepat koperasi mereka bisa mendapatkan keberhasilan-keberhasilan yang maksimum. Menurut mereka, koperasi yang bisa berhasil atau paling tidak yang bisa survive dalam era persaingan yang semakin ketat ini, diantara faktor-faktor kunci lainnya, adalah yang dipimpin oleh dewan direktur berkualitas. Dan untuk mendapatkan direktur-direktur berkualitas adalah tugas para anggota untuk memilih mereka. Kemudian, dewan direktur bertanggung jawab dalam menyeleksi manajer yang berkualitas, mengembangkan suatu strategi yang kuat, dan mengimplementasikan suatu struktur keuangan yang baik. Selain itu, para anggota juga harus aktif memonitor kinerja dari koperasi, dewan dan manajemennya.
Dari penelitian mereka, Vandeburg, dkk. (2000) menemukan banyak manajer-manajer koperasi lokal melakukan perubahan struktural dengan cara bergabung, akuisisi, bekerja sama, dan melakukan aliansi strategis dengan koperasi-koperasi lainnya atau dengan perusahaan-perusahaan berorientasi investor. Dari penemuan tersebut, mereka menyimpulkan bahwa langkah-langkah seperti itu adalah sangat tetap agar koperasi-koperasi pertanian bisa survive atau tetap kompetitif dalam kondisi seperti yang digambarkan di atas.
Tetapi di atas segalanya, kualitas dari manajer atau dewan direktur sangatlah krusial. Mereka harus bisa membaca perkembangan tren-tren di pasar domestik dan global, baik yang sedang berlangsung saat ini maupun kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di masa depan. Mereka harus bisa merespons secara cepat dan tepat setiap perubahan yang terjadi.(Barr, 2005).
Dari pengamatannya terhadap perkembangan koperasi di AS, McKenna (2001) menjabarkan sejumlah karakteristik dari koperasi yang berhasil. Diantaranya yang paling menonjol adalah: (1) menerapkan strategi yang rasional yang cocok dengan lingkungan bisnisnya yang berlaku untuk bisa tetap beroperasi; (2) mempunyai suatu visi yang lebih luas dari hanya memproduksi bahan baku (produsen perlu memahami apa artinya menanam dalam nilai tambah); (3) keputusan-keputusan didasarkan pada informasi yang kredibel; (4) keuangan baik; (5) pemilik atau dewan direktur bisa memimpin dengan baik (dewan direktur yang lebih banyak diambil dari luar bisa menaikkan kemampuannya untuk membuat keputusan-keputusan strategis) ; (6) memakai/mengerjakan manajer professional (ini juga meningkatkan kinerja koperasi); dan (6) punya keinginan menjadi “yang paling hebat di kelompoknya” vs. “menambah rantai nilai”.
Dari penelitiannya terhadap perkembangan koperasi pertanian dan permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh koperasi di Uni Eropa (UE), Nello (2000) memberikan sejumlah langkah yang harus diambil agar koperasi pertanian bisa berkembang dengan baik, yang antara lain adalah (1) menghilangkan


ketidakunggulan dari petani-petani skala kecil yang terfregmentasi dengan cara membantu mereka untuk mengkonsentrasi suplai, menstabilkan harga produsen, dan meningkatkan kekuatan tawar dari petani-petani (anggotanya); (2) menciptakan kesempatan atau kemampuan petani untuk mengeksploit skala ekonomis dan meningkatkan kapasitas mereka untuk bersaing pada suatu pasar yang lebih besar (misalnya pasar ekspor); (3) memperbaiki kualitas dan menaikkan orientasi pasar, dan dengan cara itu menolong petani untuk memenuhi permintaan-permintaan yang meningkat dari konsumen untuk produk-produk makanan yang bervariasi, aman, dan spesifik regional (spesialisasi); (4) membantu petani untuk bisa memperbaiki kualitas dalam proses produksi, pembungkusan, penyimpanan dan lain sebagainya sesuai standar-standar internasional yang berlaku; (5) memperbaiki kinerja manajemen, dewan direktur dan organisasi koperasi untuk meningkatkan kepuasan anggota; dan (6) menjamin sumber pendanaan yang cukup.
Dengan membandingkan koperasi perdesaan di Belanda dengan di Afrika Sub-Sahara, Braverman, dkk. (1991) menyimpulkan bahwa buruknya kinerja koperasi di Afrika Sub-Sahara (atau di banyak negara berkembang (NB) pada umumnya) disebabkan oleh sejumlah faktor yang bisa dibedakan antara faktor-faktor eksternal diluar kontrol koperasi dan faktor-faktor internal. Faktor-faktor internal terutama adalah keterbatasan partisipasi anggota, masalah-masalah struktural dan kontrol, dan kesalahan manajemen. Sedangkan faktor-faktor eksternal terutama adalah intervensi pemerintah yang terlalu besar yang sering didorong oleh donor, kesulitan lingkungan-lingkungan ekonomi dan politik, dan harapan-harapan yang tidak realistic dari peran dari koperasi. Menurut mereka, problem yang paling signifikan adalah cara bagaimana koperasi itu dipromosikan oleh pemerintah. Promosi yang sifatnya dari atas ke bawah telah menghalangi anggota untuk aktif berpartisipasi dalam pembangunan koperasi. Bentuk-bentuk organisasi dan kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan diatur oleh pihak luar. Jadi koperasi telah gagal untuk berkembang menjadi unit-unit yang mandiri dan sepenuhnya berdasarkan anggota. Masih dalam kaitan ini, Linstad (1990) mengatakan bahwa di banyak NB sering kali pemerintah melihat dan menggunakan koperasi sebagai suatu alat untuk menjalankan agenda-agenda pembangunannya sendiri. Koperasi sering diharapkan bahkan di paksa berfungsi sebagai kesejahteraan sosial dan sekaligus sebagai organisasi ekonomi, yang dengan sendirinya memberi beban sangat berat kepada struktur manajemen koperasi yang pada umumnya lemah. Menurut Braverman, dkk. (1991), sedikit sekali perhatian diberikan kepada kondisi-kondisi ekonomi dimana koperasi-koperasi diharapkan melakukan berbagai aktivitas. Promosi koperasi yang tidak diskriminatif, yakni tanpa memberi perhatian pada hal-hal seperti dinamik-dinamik internal, insentif, struktur kontrol, dan pendidikan dari anggota, sering kali telah membuat koperasi-koperasi menjadi organisasi-organisasi birokrasi yang sangat tergantung pada dukungan pemerintah dan politik. Oleh karena itu, Gentil (1990) menegaskan bahwa agar koperasi maju maka hubungan antara pemerintah dan koperasi yang didefinisikan ulang.


2 Hasil lengkapnya (termasuk makalah-makalah dan/atau power point- power point dari para pembicara) dari konferensi ini dan konferensi pada tahun-tahun sebelumnya atau sesudahnya dapat dilihat di alamat berikut ini: www.wisc.edu/uwcc (University of Wisconsin Center for Cooperatives).
3 Dukungan belanja rumah tangga baik sebagai produsen maupun sebagai konsumen sangat penting untuk menunjang kelayakan bisnis perusahaan koperasi. Pada akhirnya penjumlahan keseluruhan transaksi para anggota harus menghasilkan suatu volume penjualan yang mampu mendapatkan penerimaan koperasi yang layak dimana hal ini ditentukan oleh rata-rata tingkat pendapatan atau skala kegiatan ekonomi anggota.
4 Didaratan Eropa koperasi tumbuh melalui koperasi kredit dan koperasi konsumen yang kuat hingga disegani oleh berbagai kekuatan. Bahkan 2 (dua) bank terbesar di Eropa milik koperasi yakni "Credit Agricole" di Perancis, RABO-Bank di Netherlands Nurinchukin bank di Jepang dan lain-lain. Disamping itu hampir di setiap negara menunjukkan adanya koperasi kredit yang kuat seperti Credit Union di Amerika Utara dan lain-lain. Kredit sebagai kebutuhan universal bagi umat manusia terlepas dari kedudukannya sebagai produsen maupun konsumen dan penerima penghasilan tetap atau bukan adalah "potensial customer-member" dari koperasi kredit (Soetrisno, 2001).
5 Soetrisno (2001) mengamati bahwa baik di NSB maupun di NM ada contoh-contoh koperasi yang berhasil yang mempunyai kesamaan yaitu koperasi peternak sapi perah dan koperasi produsen susu. Misalnya, keberhasilan universal koperasi produsen susu, baik besar maupun kecil, di NM dan NSB nampaknya terletak pada keserasian struktur pasar dengan kehadiran koperasi. Dengan demikian koperasi terbukti merupakan kerjasama pasar yang tangguh untuk menghadapi ketidakadilan pasar. Corak ketergantungan yang tinggi kegiatan produksi yang teratur dan kontinyu menjadikan hubungan antara anggota dan koperasi sangat kukuh.
Rangkuman dari hasil Konferensi Tahunan Koperasi-Koperasi Petani, Oktober 29-20, 2001 di LasVegas, Nevada (AS)2menghasilkan beberapa butir penting yang disampaikan oleh pembicara-pembicara mengenai tantangan yang dihadapi oleh koperasi pada era sekarang ini. Diantaranya dari Larson, yakni sebagai berikut: (1) membangun suatu sistem koperasi yang menyatukan peran lokal dan peran regional; dalam kata lain bagaimana koperasi lokal dan koperasi regional bisa bekerja sama untuk jangka panjang); (2) menciptakan penghasilan yang cukup (atau menaikkan profit); (3) mengembangkan atau menyempurnakan strategi dan keahlian pemasaran (mensegmentasikan pasar hanya permulaan); (4) program-program SDM; dan (5) mengembangkan dan melaksanakan suatu strategi e-commerce. Pesan paling utama dari Larson untuk koperasi-koperasi lokal adalah bahwa kinerja keuangan yang solid sangat penting; koperasi-koperasi harus mempunyai tujuan-tujuan penggerak/peningkatan kinerja.
Selain studi-studi kasus di atas, beberapa pengamat koperasi di Indonesia juga mencoba mengevaluasi keberhasilan koperasi di NM. Misalnya menurut Soetrisno (2001, 2003a,b,c), model-model keberhasilan koperasi di dunia umumnya berangkat dari tiga kutub besar, yaitu konsumen seperti di Inggris, kredit seperti di Perancis dan Belanda dan produsen yang berkembang pesat di daratan Amerika, khususnya AS dan di beberapa negara di Eropa. Dari evaluasinya, Soetrisno melihat ada beberapa syarat agar koperasi bisa maju, yakni: (i) skala usaha koperasi harus layak secara ekonomi;3(ii) koperasi harus memiliki cakupan kegiatan yang menjangkau kebutuhan masyarakat luas, kredit (simpan-pinjam) dapat menjadi platform dasar menumbuhkan koperasi;4(iii) posisi koperasi produsen yang menghadapi dilema bilateral monopoli menjadi akar memperkuat posisi tawar koperasi;5dan pendidikan dan peningkatan teknologi menjadi kunci untuk meningkatkan kekuatan koperasi (pengembangan SDM).

15
V. Metode Penelitian dan Sumber Data
Penelitian ini menggunakan tiga pendekatan, yakni:
1) studi literatur
2) analisis data sekunder
3) observasi dan wawancara

Data yang digunakan adalah data sekunder dari BPS, Menegkop & UKM, dan literatur, dan data primer dari hasil observasi dan wawancara.
VI. Studi Literatur Mengenai Globalisasi dan Perkembangan Koperasi di NM
VI.1 Globalisasi
Pengertian dan Fenomena Globalisasi Ekonomi
Tidak ada definisi yang baku atau standar mengenai globalisasi, tetapi secara sederhana globalisasi ekonomi dapat diartikan sebagai suatu proses di mana semakin banyak negara yang terlibat langsung dalam kegiatan ekonomi global yang membuat negara-negara tersebut saling tergantung satu dengan yang lainnya. Jika dalam periode sejak perang dunia kedua berakhir hingga tahun 1970-an ekonomi dunia didominasi oleh Amerika Serikat (AS), sekarang ini walaupun PDB AS masih paling besar, peran dari Uni Eropa (UE), Jepang dan negara-negara industri baru (NICs) di Asia Tenggara dan Timur seperti Korea Selatan, Taiwan, dan Singapura, serta Cina dan India sebagai motor penggerak perekonomian dunia jauh lebih besar, terutama lewat dua jalur yakni perdagangan dan investasi internasional. Selain itu, peran dari ekonomi-ekonomi ini sebagai sumber pendanaan pembangunan ekonomi di NSB juga jauh lebih besar dibandingkan 20 tahun yang lalu.
Di Wolf (2004), disebut ada tiga aspek yang saling terkait yang menandakan sedang berlangsungnya proses globalisasi, yakni semakin terintegrasinya pasar lintas negara, semakin berkurang-/menghilangnya hambatan-hambatan yang dikenakan pemerintah terhadap arus internasional dari barang, jasa dan modal, dan penyebaran global dari kebijakan-kebijakan yang yang semakin berorientasi pasar di dalam negeri maupun internasional. Tepatnya, seperti yang dapat dikutip sebagai berikut: in three distinct bu interrelated senses: first, to describe the economic phenomenon of increasing integration of markets across political boundaries (whether due to political or technological causes); second, to describe the strictly political phenomenon of falling government-imposed barriers to international flows of goods, services, and capital; and, finally, to describe the much broader political phenomenon of the global spread of market-oriented

16
6 Lihat juga antara lain Llosa (2000), Cable (1999), Hirst dan Thompson (1999), Friedman (2000), Crook (2001), Berger (1997), Berger dan Huntingdon (2002), dan Stiglitz (2006).
7 Misalnya dalam pembuatan pesawat Boeing, lebih dari 50 negara terlibat, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang masing-masing negara membuat bagian-bagian tertentu dari pesawat tersebut. Juga untuk produksi pesawat Airbus, sejumlah negara di Eropa terlibat dalam proses pembuatannya. Contoh lainnya adalah dalam pembuatan pesawat-pesawat tempur AS seperti F-16, sejumlah negara di Asia juga terlibat seperti Taiwan dan Jepang, terutama untuk bagian elektroniknya.
policies in both the domestic and international spheres….. (halaman 14).6
Jadi, proses globalisasi ekonomi adalah perubahan perekonomian dunia yang bersifat mendasar atau struktural dan proses ini akan berlangsung terus dengan laju yang akan semakin cepat mengikuti perubahan teknologi yang juga akan semakin cepat dan peningkatan serta perubahan pola kebutuhan masyarakat dunia. Perkembangan ini telah meningkatkan kadar hubungan saling ketergantungan ekonomi dan juga mempertajam persaingan antarnegara, tidak hanya dalam perdagangan internasional tetapi juga dalam investasi, keuangan, dan produksi. Globalisasi ekonomi ditandai dengan semakin menipisnya batas-batas geografi dari kegiatan ekonomi atau pasar secara nasional atau regional, tetapi semakin mengglobal menjadi “satu” proses yang melibatkan banyak negara. Globalisasi ekonomi biasanya dikaitkan dengan proses internasionalisasi produksi,7perdagangan dan pasar uang. Globalisasi ekonomi merupakan suatu proses yang berada diluar pengaruh atau jangkauan kontrol pemerintah, karena proses tersebut terutama digerakkan oleh kekuatan pasar global, bukan oleh kebijakan atau peraturan yang dikeluarkan oleh sebuah pemerintah secara individu.
Dalam tingkat globalisasi yang optimal arus produk dan faktor-faktor produksi (seperti tenaga kerja dan modal) lintas negara atau regional akan selancar lintas kota di dalam suatu negara atau desa di dalam suatu kecamatan. Pada tingkat ini, seorang pengusaha yang punya pabrik di Kalimantan Barat setiap saat bisa memindahkan usahanya ke Serawak atau Filipina tanpa halangan, baik dalam logistik maupun birokrasi yang berkaitan dengan urusan administrasi seperti izin usaha dan sebagainya.
Sekarang ini dengan semakin mengglobalnya perusahaan-perusahaan multinasional atau transnasional bersamaan dengan semakin dominannya sistem produksi global atau internasionalisasi produksi (dibandingkan sistem produksi lokal pada era 50-an hingga awal 80-an), tidak relevan lagi dipertanyakan negara mana yang menemukan atau membuat pertama kali suatu barang. Orang tidak tau lagi apakah lampu neon merek Philips berasal dari Belanda, yang orang tau hanyalah bahwa lampu itu dibuat oleh suatu perusahaan multinasional yang namanya Philips, dan pembuatannya bukan di Belanda melainkan di Tangerang. Banyak barang yang tidak lagi mencantumkan bendera dari negara asal melainkan logo dari perusahaan yang membuatnya. Banyak produk dari Disney bukan lagi dibuat di AS melainkan di Cina, dan dicap made in China. Sekarang ini semakin banyak produk yang komponen-komponennya di buat di lebih dari satu negara (seperti komputer, mobil, pesawat terbang, dll.). Banyak perusahaan-perusahaan multinasional mempunyai kantor pusat bukan di negara asal melainkan di pusat-pusat keuangan di negara-

17
negara lain seperti London dan New York, atau di negara-negara tujuan pasar utamanya. Sama seperti yang dibahas oleh Wolf (2004) sebagai berikut: Is a Toyota factory in the US less or more American than a General Motors factory in China? Is Goldman Sachs in Frankfurt less or more American than HSBC in New York? (halaman 311).
Semakin menipisnya batas-batas geografi dari kegiatan ekonomi secara nasional maupun regional yang berbarengan dengan semakin hilangnya kedaulatan suatu pemerintahan negara muncul disebabkan oleh banyak hal, diantaranya menurut Halwani (2002) adalah komunikasi dan transportasi yang semakin canggih dan murah, lalu lintas devisa yang semakin bebas, ekonomi negara yang semakin terbuka, penggunaan secara penuh keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif tiap-tiap negara, metode produksi dan perakitan dengan organisasi manajemen yang semakin efisien, dan semakin pesatnya perkembangan perusahaan multinasional di hampir seantero dunia. Selain itu, penyebab-penyebab lainnya adalah semakin banyaknya industri yang bersifat footloose akibat kemajuan teknologi (yang mengurangi pemakaian sumber daya alam), semakin tingginya pendapatan dunia rata-rata per kapita, semakin majunya tingkat pendidikan mayarakat dunia, ilmu pengetahuan dan teknologi di semua bidang, dan semakin banyaknya jumlah penduduk dunia.
Menurut Friedman (2002), globalisasi mempunyai tiga dimensi. Pertama, dimensi ide atau ideologi yaitu “kapitalisme”. Dalam pengertian ini termasuk seperangkat nilai yang menyertainya, yakni falsafah individualisme, demokrasi dan hak asasi manusia (HAM). Oleh karena itu tidak mengherankan jika demokrasi dan HAM menjadi dua isu yang semakin penting, bahkan sekarang ini sering dijadikan sebagai salah satu pertimbangan utama dalam membuat kesepakatan atau menjalin kerjasama ekonomi antarnegara atau dalam konteks regional seperti ASEAN, UE dan APEC atau global seperti WTO. Kedua, dimensi ekonomi, yaitu pasar bebas yang artinya arus barang dan jasa antarnegara tidak dihalangi sedikitpun juga. Ketiga, dimensi teknologi, khususnya teknologi informasi yang akan membuka batas-batas negara sehingga negara makin tanpa batas.
Dua Indikator Utama
Derajat globalisasi dari suatu negara di dalam perekonomian dunia dapat dilihat dari dua indikator utama. Pertama, rasio dari perdagangan internasional (ekspor dan impor) dari negara tersebut sebagai suatu persentase dari jumlah nilai atau volume perdagangan dunia, atau besarnya nilai perdagangan luar negeri dari negara itu sebagai suatu persentase dari PDB-nya. Semakin tinggi rasio tersebut menandakan semakin mengglobal perekonomian dari negara tersebut. Sebaliknya, semakin terisolasi suatu negara dari dunia, seperti Korea Utara, semakin kecil rasio tersebut. Kedua, kontribusi dari negara tersebut dalam

18
8 Lihat juga misalnya Krugman (1995) dan Baldwin dan Martin (1999).
pertumbuhan investasi dunia, baik investasi langsung atau jangka panjang atau umum disebut penanaman modal asing (PMA) maupun investasi tidak langsung atau jangka pendek (investasi portofolio).
Sebagai suatu negara pengekspor (pengimpor) modal neto, semakin besar investasi dari negara itu (negara lain) di luar negeri (dalam negeri), semakin tinggi derajat globalisasinya. Derajat keterlibatan dari suatu negara (negara lain) dalam investasi di negara lain (dalam negeri) bisa diukur oleh sejumlah indikator. Misalnya, untuk investasi langsung oleh rasio dari PMA dari negara tersebut (negara asing) di dalam pembentukan modal tetap bruto di negara lain (dalam negeri). Sedangkan dalam investasi portofolio diukur oleh antara lain nilai investasi portofolio dari negara tersebut (negara asing) sebagai suatu persentase dari nilai kapitalisasi dari pasar modal di negara tujuan investasi (dalam negeri), atau sebagai persentase dari jumlah arus masuk modal jangka pendek di dalam neraca modal dari negara tujuan investasi (dalam negeri).
-Arus Perdagangan Internasional
Data sejarah menunjukkan bahwa sejak berakhirnya perang dunia kedua hingga saat ini, pangsa dari pengeluaran konsumsi domestik terhadap barang dan jasa yang diimpor dari negara lain, dan bagian dari produksi barang dan jasa di dalam negeri yang diekspor ke luar negeri terus mengalami peningkatan, yang dengan sendirinya memperbesar nilai atau volume perdagangan di dunia. Kenaikan ini dapat diobservasi baik secara absolut maupun relatif, yakni rasio dari perdagangan internasional (ekspor + impor) terhadap PDB dari masing-masing negara.
Integrasi perdagangan antarnegara meningkat pesat terutama pada tahun 1970-an, pada saat banyak negara mulai menerapkan sistem ekonomi terbuka (yang disebut era keterbukaan global) dan setelah itu mengalami sedikit penurunan pada pertengahan dekade 80-an dan suatu akselerasi di tahun 90-an (Tambunan, 2004).8Tetapi tidak semua negara mengalami laju pertumbuhan perdagangan internasional yang sama jangka waktu tersebut; ada negara-negara yang mengalami laju pertumbuhan perdagangan luar negeri yang pesat, tetapi lebih banyak negara yang tidak terlalu banyak memanfaatkan kesempatan-kesempatan yang muncul dari pertumbuhan perdagangan dunia. Data dari UNCTAD menunjukkan bahwa rasio dari nilai perdagangan total terhadap PDB (sebagai suatu indikator dari keterbukaan perdagangan) terus meningka hingga akhir tahun tahun 1970-an, Namun sejak itu indikator keterbukaan perdagangan dari negara-negara di Asia Timur mengalami suatu akselerasi yang sangat pesat, sedangkan indikator yang sama dari Afrika Sub-Sahara dan Amerika Latin mengalami suatu penurunan.
Untuk perbandingan antara kelompok negara-negara maju dengan kelompok NSB, data dari Bank Dunia menunjukkan bahwa di dalam kelompok pertama, pangsa dari perdagangan internasional di dalam

19
PDB mengalami suatu kenaikan dari 27% ke 39% selama periode 1980an-1990-an. Sedangkan di dalam kelompok kedua, rasio perdagangan internasional terhadap PDB naik dari 10% ke 17% dalam periode yang sama (Bank Dunia, 2000a). Perbedaan ini memberi kesan bahwa tingkat integrasi atau keterbukaan perdagangan di dalam kelompok NSB relatif masih rendah dibandingkan kelompok negara maju, walaupun di dalam kelompok NSB itu sendiri ada perbedaan antarnegara antara negara-negara Amerika Latin dan Afrika Sub-Sahara dengan negara-negara di Asia Tenggara yang derajat pembangunan ekonominya relatif lebih maju seperti Malaysia, Thailand, Singapura, Korea Selatan, Taiwan, Filipina dan Indonesia.
Sebagai suatu ilustrasi empiris, Tabel 1 menunjukkan tingkat globalisasi ekonomi dari sejumlah negara di Asia dan kelompok negara berpendapatan rendah dan tinggi. Berdasarkan rasio dari ekspor-impor barang (tanpa jasa) terhadap PDB, hampir semua negara di dalam tabel tersebut mengalami peningkatan, terkecuali Singapura, selama periode yang diteliti. Peningkatan paling besar dialami oleh Hong Kong dengan laju lebih dari 1000% dari PDB (barang)-nya. Besarnya rasio ini dimungkinkan karena fungsi dari Hong Kong sebagai pusat distribusi (entreport) terbesar di Asia, khususnya Asia Timur, setelah Singapura di Asia Tenggara, di mana banyak barang yang diperdagangkan di pasar internasional dikumpulkan si pelabuhan di Hong Kong yang selanjutnya di ekspor ke negara-negara lain sebagai tujuan akhir.
Tabel 1: Tingkat Globalisasi Ekonomi dari Sejumlah Negara di Asia
Negara Perdagangan luar negeri dalam barang Perubahan dalam perdagangan luar negeri, % dari PDB
1990-2000
% dari PDB % dari PDB barang
1990 2001 1990 2001
Cina
Hong Kong Cina
Indonesia
Jepang
Korea Selatan
Malaysia
Filipina
Singapura
Thailand
Vietnam
Negara berpendapatan rendah
Negara berpendapatan tinggi 32,5
223,5
41,5
17,1
53,4
133,4
47,7
309,5
65,7
79,7
27,4
32,3 44,0
242,8
60,1
18,2
69,1
184,0
88,9
277,6
110,9
93,6
39,8
37,9 47,4
784,6
64,4
44,4
102,7
232,3
84,7
891,3
132,2
129,7
..
82,3 66,3
1.268,8
95,5
61,7
152,6
..
..
..
213,9
..
..
..
112,3 ..
209,7
-16,6
39,4
121,6
125,4
142,3
..
99,6
..
..
..
..

Sumber: Bank Dunia (2003)
Indonesia termasuk negara baik dalam kelompok NSB maupun kelompok negara-negara di Asia Tenggara yang perdagangan luar negerinya mengalami suatu pertumbuhan yang pesat terutama sejak tahun 1980-an, yakni sejak pemerintah mengeluarkan kebijakan liberalisasi perdagangan luar negerinya, walaupun secara bertahap, dan melakukan sejumlah paket deregulasi di bidang-bidang lain termasuk sektor keuangan, yang pada waktu diharapkan dapat menghilangkan semua distorsi pasar yang ada dan dengan itu dapat menstimulasi perkembangan dan pertumbuhan ekspor non-migas. Rasio dari perdagangan internasional terhadap PDB Indonesia mulai bergerak naik menjelang akhir tahun 1970-an dan mengalami

20
9 Investasi ini didorong sepenuhnya oleh motivasi bisnis, yakni mencari keuntungan paling besar dengan resiko kerugian paling kecil. Oleh karena itu, negara yang dipilih menjadi tujuan investasi adalah negara yang mempunyai faktor-faktor yang menguntungkan bisnis perusahaan tersebut seperti pasar yang luas, ketersediaan sumber daya produksi, dan letak geografi yang strategis.
suatu akselerasi yang signifikan menjelang tahun 1998, periode di mana krisis ekonomi mencapai titik terburuknya.
-Arus Modal Internasional
Arus modal internasional terdiri dari modal swasta dan modal pemerintah. Arus modal swasta antarnegara dapat dibedakan antara investasi dan pinjaman komersial; sedangkan arus modal asing pemerintah adalah pinjaman resmi bukan komersial (disebut juga modal asing resmi). Misalnya pinjaman yang diterimah oleh pemerintah Indonesia setiap tahun dari negara-negara yang tergabung dalam CGI (Consultancy Group on Indonesia) atau secara bilateral dengan negara-negara donor. Modal asing resmi juga termasuk pinjaman atau dana bantuan dari badan-badan dunia seperti Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (ADB) kepada pemerintah dari negara penerima.
Arus modal asing dalam bentuk investasi dapat dibedakan lagi, yakni investasi langsung (PMA) dan investasi tidak langsung (investasi portofolio). Dalam dua dekade belakangan ini semakin banyak perusahaan-perusahaan yang berbasis di suatu negara melakukan investasi langsung di luar negeri dengan cara mendirikan atau merealokasikan pabriknya atau membeli atau mengambil alih perusahaan di negara tujuan.9Perkembangan ini dengan sendirinya meningkatkan arus PMA antarnegara, yang terefleksi dalam peningkatan pangsa dari PMA sebagai suatu persentase dari investasi total dunia. Menurut data Bank Dunia pada tahun 1975 jumlah investasi langsung tercatat hanya 23 miliar dollar AS, dan pada tahun 1997 meningkat menjadi 644 miliar dollar AS (Friedman, 2002). Masih menurut Bank Dunia, pada tahun 1998 jumlah PMA dari perusahaan-perusahaan AS telah mencapai 133 miliar dollar AS, sedangkan PMA dari negara-negara lain di AS pada tahun yang sama bernilai 193 miliar dollar AS. Secara keseluruhan, arus PMA di dunia meningkat sangat signifikan selama periode 1988-1998 dari 192 miliar dollar AS ke 610 miliar dollar AS. Arus PMA dari kelompok negara-negara maju ke kelompok NSB juga meningkat tajam selama periode yang sama, termasuk Indonesia, terkecuali sejak krisis ekonomi 1997/98, arus PMA neto ke Indonesia mengalami suatu penurunan (Bank Dunia 2000b).
Menyangkut investasi jangka pendek, juga dalam dua dekade belakangan ini semakin banyak penabung-penabung, terutama di negara-negara maju yang mendiversifikasikan portofolio mereka ke berbagai macam aset-aset keuangan luar negeri seperti obligasi, saham, pinjaman atau deposito. Juga semakin banyak perusahaan-perusahaan terutama di NSB yang membiayai kegiatan produksi di dalam negeri dengan memakai dana investasi dari sumber-sumber luar, selain dari kredit perbankan dan pasar

21
10 Bahkan dapat dikatakan bahwa penyebab utama rupiah mengalami depresiasi lebih dari 100% pada tahun 1998 adalah akibat larinya modal asing jangka pendek dari Indonesia (capital flight). Dalam kata lain, apabila selama periode orde baru ekonomi Indonesia tidak terlalu tergantung pada modal asing jangka pendek, kemungkinan besar rupiah tidak akan mengalami depresiasi, atau paling tidak persentase penurunan nilainya tidak sampai di atas 100%.
modal domestik. Indonesia juga mengalami peningkatan arus modal asing jangka pendek yang pesat sejak deregulasi di sektor perbankan pada tahun 1980-an hingga tahun 1997, pada saat krisis rupiah mencuat. 10
Sebagai suatu ilustrasi empiris, jumlah arus modal asing neto (swasta dan pemerintah) ke NSB mengalami peningkatan yang signifikan dari 120,8 miliar dollar AS pada tahun 1990 ke 289,3 miliar dollar AS pada tahun 2000. Diantara negara-negara ASEAN, arus modal asing neto ke Indonesia paling besar; tetapi sejak 1998 arus yang keluar lebih besar daripada yang masuk. Sedangkan, di Malaysia, Singapura dan bahkan Filipina yang juga terkena krisis ekonomi, netonya tetap positif. Tahun 1990, arus modal asing neto ke Indonesia tercatat sebesar 6,3 miliar dollar AS, atau sekitar 5% dari jumlah arus modal asing neto ke NSB, tetapi turun terus dan tahun 1997 sahamnya menjadi sekitar 3,2%. Negara Asia yang arus modal asingnya paling besar adalah Cina yang pada tahun 1998 nilainya mencapai 45,8 miliar dollar AS dan pada tahun 2000 tercatat hampir 61,1 miliar dollar AS. Dengan masuknya Cina sebagai anggota WTO, diperkirakan arus modal asing, khususnya investasi swasta ke Cina akan tumbuh lebih pesat lagi, karena memang selama ini Cina termasuk salah satu negara eksportir besar di dunia, dan juga negara itu sangat menarik bagi investasi karena upah buruh murah, infrastruktur cukup baik (terutama di wilayah pantai), dan pasar domestik sangat besar dengan jumlah penduduk lebih dari 1 miliar orang.
Pada prinsipnya, arus modal asing resmi antarnegara tidak tergantung pada perkembangan atau liberalisasi keuangan dunia, karena transaksinya tidak lewat sistem perbankan. Namun demikian, liberalisasi keuangan dunia berbarengan dengan perkembangan pasar modal di dalam negeri mempengaruhi arus modal asing resmi karena menciptakan peluang bagi pemerintah dari suatu negara untuk mendiversifikasikan sumber-sumber pendanaan eksternalnya.
Bagian terbesar dari arus modal swasta ke NSB adalah dalam bentuk PMA. Struktur dari arus modal swasta ke NSB ini berbeda dengan struktur dari arus modal swasta secara total di dunia. Seperti yang dapat dilihat di Gambar 3, database dari IMF menunjukkan bahwa rata-rata per tahun selama dekade 90an, arus modal swasta dalam bentuk investasi portofolio lebih besar daripada arus modal swasta dalam bentuk PMA. Terkecuali setelah 1999 di mana arus investasi jangka pendek menurun dengan laju yang pesat, sedangkan arus PMA masih terus meningkat hingga tahun 2000 dan setelah itu juga menurun.
Faktor-Faktor Pendorong
Sebenarnya proses globalisasi ekonomi telah terjadi sejak dahulu kala dan akan berlangsung terus, walaupun prosesnya berbeda: dulu sangat lambat sedangkan sekarang ini sangat pesat dan di masa depan akan jauh lebih cepat lagi. Perbedaan ini disebabkan terutama oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan

22
teknologi yang menghasilkan alat-alat komunikasi dan transportasi yang semakin canggih, aman dan murah. Jadi dapat dikatakan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan faktor pendorong atau kekuatan utama dibalik proses globalisasi ekonomi. Karena adanya satelit, hand phone, fax, Internet dan email maka komunikasi atau arus informasi antarnegara menjadi sangat lancar dan murah. Juga, adanya pesawat terbang yang semakin cepat terbangnya dengan kapasitas penumpang yang semakin besar membuat mobilisasi dari pelaku-pelaku ekonomi (konsumen, produsen, investor, dan bankir) antarnegara menjadi semakin cepat dan murah. Ini semua meningkatkan arus transaksi ekonomi antarnegara dalam laju yang semakin pesat.
Peran dari kemajuan teknologi terhadap proses globalisasi juga diakui oleh Friedman yang mendapat penghargaan atas bukunya mengenai globalisasi (2002) yang menyatakan berikut ini: era globalisasi dibangun seputar jatuhnya biaya telekomunikasi – berkat adanya mikrochip, satelit, serat optik dan internet/ Teknologi informasi yang baru ini mampu merajut dunia bersama-sama bahkan menjadi lebih erat. ……. Teknologi ini juga dapat memungkinkan perusahaan untuk menempatkan lokasi bagian produksi di negara yang berbeda, bagian riset dan pemasaran di negara yang berbeda, tetapi dapat mengikat mereka bersama melalui komputer dan komperensi jarak jauh seakan mereka berada disatu tempat. Demikian juga berkat kombinasi antara komputer dan telekomunikasi yang murah, masyarakat sekarang dapat menawarkan pelayanan perdagangan secara global - dari konsultasi medis sampai penulisan data perangkat lunak ke proses data – pelayanan yang sesungguhnya tidak pernah dapat diperdagangkan sebelumnya. Dan mengapa tidak? Sambungan telepon untuk 3 menit pertama (dalam dolar, thn 1986) antara New York dan London biayanya adalah 300 dolar di tahun 1930. Sekarang hal itu hampir bebas biaya melalui Internet (halaman 20a). Friedman mengatakan bahwa globalisasi memiliki definisi teknologi sendiri: komputerisasi, miniaturisasi, digitalisasi, komunikasi satelit, serat optik dan internet.
Friedman juga melihat bahwa sistem globalisasi yang terjadi di dunia saat ini mempunyai ciri istimewa yakni integrasi. Berkat kemajuan teknologi seperti yang disebut di atas, semua manusia dimanapun berada bisa saling berhubungan satu dengan lainnya lewat jaringan: Dunia menjadi tempat untuk menjalin hubungan, dan hari ini, apakah Anda suatu negara atau perusahaan, ancaman dan peluang anda semakin tergantung dari kepada siapa anda dihubungkan. Globalisasi ini juga digambarkan dalam satu kata: Jaringan (Web). Jadi dalam penalaran yang lebih luas, kita telah berangkat dari sistem yang dibangun seputar divisi dan tembok ke sistem yang dibangun secara bertahap seputar integrasi dan jaringan. (halaman 8).
Besarnya pengaruh dari kemajuan teknologi terhadap perubahan kehidupan manusia di dunia yang mendorong proses globalisasi ekonomi semakin pesat sebenarnya sudah diduga sebelumnya oleh sejumlah orang, diantaranya adalah Alvin Toffler (1980). Menurutnya, akibat progres teknologi, akan terjadi kejutan-

23
kejutan masa depan yang melahirkan revolusi baru. Kehidupan manusai atau kegiatan ekonomi dunia tidak lagi dipimpin oleh industri, namun informasi akan muncul sebagai penggerak pendulum. Revolusi informasi yang sarat dengan teknologi akan membawa perubahan-perubahan di dalam kehidupan manusia sehari-hari yang jauh lebih radikal daripada revolusi industri yang memerlukan waktu, biaya, lahan, dan pasar yang besar. Toffler mengatakan bahwa revolusi informasi yang dipicuh oleh kemajuan teknologi, khususnya teknologi informasi, akan membawa wajah baru, yakni masyarakat global lantaran kaburnya batas-batas wilayah dan negara.
Pada tahun 1990-an, muncul seorang futurolog baru bernama John Naisbitt yang lebih rinci dalam memetakan wajah dunia ke depan dalam publikasinya yang sangat terkenal: Megatrend Asia 2000. Naisbitt meramalkan bahwa akibat perubahan-perubahan super cepat di Asia, yang didorong oleh kemajuan teknologi dan sumber daya manusia (SDM) di kawasan tersebut, pada abad ke 21 akan terjadi pergeseran dalam pusat kegiatan ekonomi dunia dari AS dan Eropa ke Asia, khususnya Asia Tenggara dan Timur. Walaupun dalam kenyataannya, pergeseran tersebut tidak terjadi, atau paling tidak tertunda untuk sementara waktu akibat terjadinya krisis ekonomi di Asia pada tahun 1997/98.
Secara garis besar, Toffler dan Naisbitt mempunyai beberapa kesamaan dalam meramal dunia di masa depan, diantaranya adalah bahwa kemajuan teknologi dan ilmu pengetahun merupakan motor penggerak utama proses globalisasi ekonomi. Perubahan radikal pada teknologi juga telah menciptakan perubahan pada politik, sosial dan budaya. Mereka juga sependapat bahwa masyarakat dunia dewasa ini sedang memasuki era masyarakat informasi yang beralih dari masyarakat industri. Artinya adalah bahwa masyarakat tidak bisa lagi menutup diri dari luar karena teknologi informasi mampu menembus batas-batas wilayah kekuatan negara Pengaruh radikal dari kemajuan teknologi terhadap kehidupan masyarakat saat ini terutama sangat ketara sekali pada kegiatan bisnis sehari-hari atau produk-produk yang dihasilkan. Misalnya, fitur hand phone (HP) hampir setiap saat berganti sehingga HP menjelma menjadi alat bertukar informasi melalui teknologi Internet ataupun SMS, berfungsi sebagai games, kamera digital dan fungsi-fungsi lainnya. Kemampuan komputer beserta program-programnya semakin canggih. Perubahan teknologi yang sangat pesat sekarang ini juga telah mempengaruhi agro industri yang semakin tumbuh kencang dengan varian-varian hasil produk, baik melalui rekayasa genetika maupun akibat penemuan-penemuan varietas unggul. Demikian juga dalam sektor kesehatan, produk-produknya juga mengalami revolusi dengan banyak ditemukan jenis-jenis obat (supplement) baru yang memungkinkan manusia lebih sehat atau lebih panjang usianya (Halwani, 2002).
Pada gilirannya, perubahan di sisi suplai (produksi) tersebut telah membuat perubahan di sisi permintaan sesuai fenomena supply creates its own demand: perilaku konsumen semakin bervariatif mengikuti pilihan produk yang semakin kompetitif. Perubahan pola konsumen telah terjadi tidak hanya di

24
negara-negara maju tetapi juga di NSB; tidak hanya di daerah perkotaan tetapi juga di daerah perdesaan atau pedalaman. Walaupun tidak ada data empiris yang bisa mendukung, tetapi dapat diduga bahwa jumlah penduduk di perdesaan di Indonesia yang sudah pernah minum coca cola sekarang ini jauh lebih banyak dibandingkan pada awal tahun 1970an; demikian juga jumlah penduduk di perdesaan yang memiliki HP saat ini jauh lebih banyak dibandingkan pada awal tahun 1990-an. Bahkan banyak orang yang membeli HP atau rutin menggantinya dengan seri baru bukan karena perlu tetapi karena mengikuti trend yang sangat dipengaruhi oleh reklame dan pergaulan. Jadi benar apa yang dikatakan oleh Anthony Giddens (2001) bahwa globalisasi saat ini telah menjadi wacana baru yang menelusup ke seluruh wilayah kehidupan baik di perkotaan maupun perdesaan. Globalisasi telah memberi perubahan yang radikal dalam semua aspek kehidupan, mulai dari sosial, budaya, politik, ekonomi, hingga gaya hidup sehari-hari.
Dalam komunikasi juga sangat nyata sekali pengaruh dari kemajuan teknologi yang jangkauannya sudah menyebar dan melewati batas-batas negara yang semakin mempersempit dunia. Seiring dengan kemajuan teknologi komunikasi, semakin mudah pula masyarakat untuk mengaksesnya. Misalnya, dapat diduga bahwa saat ini jumlah orang di Indonesia yang bisa akses ke siaran CNN atau FOX jauh lebih banyak dibandingkan pada akhir dekade 80-an. Jumlah orang yang bisa melihat siaran langsung perang Irak II pada pertengahan tahun 2003 diperkirakan jauh lebih banyak dibandingkan pada saat perang Irak I (Perang Teluk) pada awal tahun 1990-an. Contoh lainnya, menurut Giddens (2001), sebelum ada teknologi Internet, diperlukan waktu 40 tahun bagi radio di AS untuk mendapatkan 50 juta pendengar. Sedangkan dalam jumlah yang sama diraih oleh komputer pribadi (PC) dalam 15 tahun. Setelah ada teknologi Internet, hanya diperlukan waktu 4 tahun untuk menggaet 50 juta warga AS.
Faktor pendorong kedua yang membuat semakin kencangnya arus globalisasi ekonomi adalah semakin terbukanya sistem perekonomian dari negara-negara di dunia baik dalam perdagangan, produksi maupun investasi/keuangan. Fukuyama (1999) menegaskan bahwa dewasa ini baik negara-negara maju maupun NSB cenderung mengadopsi prinsip-prinsip liberal dalam menata ekonomi dan politik domestik mereka. Seperti yang dapat dikutip dari Friedman (2002), Ide dibelakang globalisasi yang mengendalikannya adalah kapitalisme bebas – semakin Anda membiarkan kekuatan pasar berkuasa dan semakin Anda membuka perekonomian Anda bagi perdagangan bebas dan kompetisi, perekonomian Anda akan semakin efisien dan berkembang pesat. Globalisasi berarti penyebaran kapitalisme pasar bebas ke setiap negara di dunia. Karenanya globalisasi juga memiliki aturan perekonomian tersendiri – peraturan yang bergulir seputar pembukaan, deregulasi, privatisasi perekonomian Anda, guna membuatnya lebih kompetitif dan atraktif bagi investasi luar negeri. (halaman 9). Menurut catatan dari Friedman (2002), pada tahun 1975, di puncak Perang Dingin, hanya 8% dari negara di seluruh dunia yang mempunyai rezim kapitalis pasar bebas. Sampai tahun 1997, jumlah negara dengan rezim perekonomian liberal menjadi 28%.

25
Seperti telah dibahas sebelumnya, keterbukaan ekonomi dari negara-negara dapat dilihat dari sejumlah indikator, diantaranya peningkatan rasio perdagangan luar negeri terhadap PDB, rasio produksi di dalam negeri yang dilakukan oleh perusahaan multinasional terhadap jumlah output domestik, dan rasio investasi asing atau arus modal dari luar terhadap pembentukan investasi atau modal total di dalam negeri. Atau, dilihat pada skala dunia adalah peningkatan rasio perdagangan dunia terhadap PDB dunia, rasio produksi dari perusahaan-perusahaan multinasional terhadap produksi dunia total, dan rasio arus modal antarnegara terhadap pembentukan modal dunia.
Jadi, dapat dikatakan bahwa faktor pendorong kedua ini dipicu, kalau tidak bisa dikatakan dipaksa oleh penerapan liberalisasi perdagangan dunia dalam konteks WTO atau pada tingkat regional seperti AFTA, UE dan NAFTA. Dalam kata lain, liberalisasi perdagangan dunia mempercepat laju dari proses globalisasi ekonomi. Dapat diprediksi bahwa pada tahun 2020 nanti, tahun di mana semua negara di dunia sudah harus menerapkan kebijakan tarif impor dan subsidi ekspor nol, derajat dari globalisasi ekonomi akan jauh lebih tinggi daripada saat ini.
Faktor pendorong ketiga adalah mengglobalnya pasar uang yang prosesnya berlangsung berbarengan dengan keterbukaan ekonomi dari negara-negara di dunia (penerapan sistem perdagangan bebas dunia). Sebenarnya faktor ketiga ini dengan faktor kedua di atas saling terkait, atau tepatnya saling mendorong satu sama lainnya: semakin mengglobal pasar finansial membuat semakin mudah dan semakin besar volume kegiatan ekonomi antarnegara; sebaliknya semakin liberal sistem perekonomian dunia semakin mempercepat proses globalisasi finansial karena semakin besar kebutuhan pendanaan bagi kegiatan-kegiatan produksi dan investasi.
Semakin tinggi derajat dari globalisasi pasar finansial tercerminkan oleh semakin besarnya sumber-sumber eksternal dalam pembiayaan kegiatan-kegiatan ekonomi domestik di banyak negara, tidak hanya di kelompok negara-negara maju tetapi juga di NSB. Juga perkembangan pasar saham (modal) mencerminkan perubahan tersebut: semakin banyak saham-saham dari perusahaan-perusahaan asing yang tercatat di dalam pasar bursa di suatu negara. Selain itu, semakin mengglobalnya pasar finansial juga ditunjukkan oleh semakin meningkatnya volume perdagangan mata uang asing lintas negara; kalau dulu mata uang asing hanya dipakai sebagai alat pembayaran, sekarang ini menjadi suatu komoditi yang diperdagangkan. Menurut catatan dari Lairson dan Skidmore (2000) yang dikutip dari Halwani (2002), tingkat pertumbuhan dari perdagangan mata uang asing setiap hari jauh lebih tinggi daripada total ekspor dunia. Pada tahun 1986 rasionya adalah 25:1, maka pada tahun 1995 rasionya mencapai 81:1, sedangkan pada tahun 2000 rasionya telah mencapai 107:1.
Semakin mengglobalnya pasar finansial dengan sendirinya menimbulkan persaingan yang ketat antarnegara dalam finansial atau investasi. Jadi dalam era globalisasi ekonomi sekarang ini, setiap negara

26
menghadapi persaingan ketat di dua medan, yakni perdagangan barang dan jasa dan investasi. Seperti yang dapat dikutip dari Tjager dan Pramadi (1997) dalam studi mereka mengenai perkembangan dan kesiapan pasar modal di Indonesia dalam menghadapi era globalisasi: Dalam gelombang era pasar bebas ditandai dengan kesepakatan GATT, dan deklarasi APEC serta kemajuan teknologi informasi, menjadikan dunia dengan ciri semakin terkikisnya hambatan-hambatan perdagangan, lalu lintas keuangan internasional, dan keluar masuknya arus modal dan investasi. Era globalisasi ini akan menimbulkan persaingan yang semakin ketat, sehingga hanya negara yang memiliki daya saing kuat saja yang akan mampu bertahan. Investasi dalam bentuk financial asset seperti saham, obligasi dan surat berharga lainnya tidak dapat diproteksi lagi, sehingga Indonesia harus dapat menciptakan iklim investasi yang efisien dan memberikan hasil yang lebih baik dan menarik dibandingkan dengan negara lainnya (hal.56).
Seperti halnya faktor kedua di atas, faktor ketiga ini juga tidak lepas dari pengaruh teknologi. Adanya teknologi komputer, internet, email dan satelit yang terus berkembang dalam suatu kecepatan yang semakin tinggi membuat arus finansial antarnegara semakin lancar dan sistem finansial dunia semakin mengglobal. Seperti yang ditegaskan oleh Giddins (2001), dalam ekonomi elektronik global, para manajer keuangan dan ribuan investor individual dapat memindahkan modalnya miliaran juta dollar dari belahan dunia yang satu ke belahan dunia yang lain hanya dengan meng’klik’ sebuah mouse pada komputer. Mereka dapat menggoyang ekonomi suatu negara atau regional seperti yang terjadi di Asia (krisis 1997/98) atau bahkan pada tingkat global.
Semakin mengglobalnya keuangan dunia berbarengan dengan semakin mengglobalnya perdagangan dunia membuat saling ketergantungan dalam sistem perekonomian dan keuangan antarnegara semakin kuat. Hal ini menyebabkan sistem ekonomi dan keuangan nasional semakin menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sistem ekonomi dan keuangan global. Berbagai hambatan, seperti proteksionisme perdagangan, pembatasan investasi asing, dan kebijakan moneter yang mengekang arus modal/devisa jadi tidak relevan lagi. Namun, di sisi lain, semakin kuat ketergantungan ini juga memperbesar resiko terjadinya goncangan atau krisis ekonomi/keuangan bagi setiap negara, seperti dalam kasus krisis keuangan di Asia Tenggara pada tahun 1997/98. Banyak yang berpendapat bahwa ulah para manajer keuangan dan investor individual yang mengakibatkan krisis Asia tersebut. Karena sistem keuangan internasional sudah sedemikian terintegrasinya membuat pemilik-pemilik modal besar setiap saat bisa memindahkan modalnya dari satu negara ke negara lain, seperti yang dialami oleh Thailand pada tahun 1997, awal dari krisis Asia tersebut. Melihat perekonomian negara tersebut sudah mulai memanas, para menanam modal asing (investasi portofolio) segera menarik uang mereka keluar, dan hal ini juga memicuh pemodal-pemodal asing di Indonesia untuk melakukan hal yang sama. Akibatnya, bath dan rupiah mengalami depresiasi yang sangat besar lebih dari 100% pada tahun 1998. Won, uang Korea Selatan juga mendapat serangan yang

27
sama dari para spekulan global yang akhirnya membuat tiga negara tersebut mengalami suatu krisis ekonomi yang besar, dan disusul kemudian oleh Filipina. Ekonomi Singapura juga sempat terpukul walaupun tidak separah yang dialami oleh ke empat negara di atas, akibat merosotnya secara drastis kunjungan warga Indonesia ke Singapura baik untuk berlibur, berobat maupun maksud lain.
Karena kegiatan ekonomi dan keuangan di dunia sudah sangat terintegrasi maka krisis di Asia Tenggara dan Timur itu dalam waktu singkat juga mempengaruhi ekonomi dari banyak negara di luar wilayah Asia tersebut. Pengalaman menunjukkan bahwa dalam beberapa bulan setelah krisis tersebut meletus, dampaknya mulai muncul terhadap berbagai harga komoditas di seluruh dunia. Asia, khususnya negara-negara di bagian Tenggara dan Timur yang ekonominya sebelum krisis tumbuh sangat pesat, merupakan motor yang penting dalam pertumbuhan ekonomi dunia. Negara-negara ini mengkonsumsi bahan mentah dalam jumlah yang sangat besar setiap tahunnya. Ketika motor tersebut mulai tersendat-sendat, harga emas, tembaga, aluminium dan yang paling penting minyak mentah mulai jatuh. Kejatuhan harga komoditas-komoditas ini di pasar dunia ternyata menjadi mekanisme untuk transmisi penyebaran krisis Asia tersebut ke Rusia, karena negara besar ini sangat tergantung pada ekspor minyak mentah, emas dan beberapa komoditas primer lainnya, yang sebagian besar masuk ke pasar di Asia.
Akhirnya ekonomi Rusia runtuh dan memberi dampak negatif terhadap negara-negara lain seperti Brazil, yang mekanisme transmisi penyebarannya lewat sistem finansial dunia. Teori domino ini dijelaskan oleh Friedman (2002) sebagai berikut: …runtuhnya perekonomian Rusia seharusnya tidak memiliki banyak dampak pada sistem global. Perekonomian Rusia lebih kecil daripada Belanda. Akan tetapi sistem tersebut sekarang lebih global dari sebelumnya, dan seperti halnya minyak mentah yang merupakan mekanisme transmisi dari Asia Tenggara ke Rusiah, dana pencagar – cadangan investasi yang sangat besar dari modal swasta yang menjelajahi dunia untuk mencari tempat investasi terbaik – merupakan mekanisme penghubung dari Rusia kesemua pasar lainnya yang baru tumbuh di dunia. Khususnya di Brazil. Dana pencagar dan perusahaan perdagangan lainnya menumpuk kerugian besar di Rusia, beberapa dari mereka digandakan lima puluh kali lipat dengan menggunakan uang pinjaman, kini secara mendadak harus mengumpulkan uang tunai untuk membayar kembali para bankir mereka. Jadi mereka mulai menjual aset-aset yang bagus secara finansial untuk mengkompensasikan kerugian mereka di tempat yang buruk. Brazil misalnya, secara mendadak melihat semua saham dan obligasi dijual investor yang panik………..Mereka mencairkan saham dan obligasi mereka di Brazil, Korea, Mesir, Israel, dan Meksiko.(hal. 16a).
Faktor keempat adalah semakin besarnya keinginan orang untuk melakukan perjalanan antarnegara atau pindah dari satu negara ke negara lain, baik untuk tujuan bisnis maupun lainnya. Keinginan ini didorong oleh peningkatan pendapatan rata-rata masyarakat dunia ditambah dengan peningkatan kepadatan

28
penduduk di suatu wilayah/negara, dan kemajuan teknologi yang memungkinkan terjadinya mobilisasi orang antarnegara secara lebih cepat, aman dan lebih murah.
Dampak dari Globalisasi Ekonomi
- Jenis Dampak
Dampak dari globalisasi ekonomi terhadap perekonomian suatu negara bisa positif atau negatif, tergantung pada kesiapan negara tersebut dalam menghadapi peluang-peluang maupun tantangan-tantangan yang muncul dari proses tersebut. Secara umum, ada empat (4) wilayah yang pasti akan terpengaruh, yakni :
1. Ekspor. Dampak positifnya adalah ekspor atau pangsa pasar dunia dari suatu negara meningkat; sedangkan efek negatifnya adalah kebalikannya: suatu negara kehilangan pangsa pasar dunianya yang selanjutnya berdampak negatif terhadap volume produksi dalam negeri dan pertumbuhan PDB serta meningkatkan jumlah pengangguran dan tingkat kemiskinan. Dalam beberapa tahun belakangan ini ada kecenderungan bahwa peringkat Indonesia di pasar dunia untuk sejumlah produk tertentu yang selama ini diunggulkan Indonesia, baik barang-barang manufaktur seperti tekstil, pakaian jadi dan sepatu, maupun pertanian (termasuk perkebunan) seperti kopi, cokelat dan biji-bijian, terus menurun relatif dibandingkan misalnya Cina dan Vietnam. Ini tentu suatu pertanda buruk yang perlu segera ditanggapi serius oleh dunia usaha dan pemerintah Indonesia. Jika tidak, bukan suatu yang mustahil bahwa pada suatu saat di masa depan Indonesia akan tersepak dari pasar dunia untuk produk-produk tersebut.
2. Impor. Dampak negatifnya adalah peningkatan impor yang apabila tidak dapat dibendung karena daya saing yang rendah dari produk-produk serupa buatan dalam negeri, maka tidak mustahil pada suatu saat pasar domestik sepenuhnya akan dikuasai oleh produk-produk dari luar negeri. Dalam beberapa tahun belakangan ini ekspansi dari produk-produk Cina ke pasar domestik Indonesia, mulai dari kunci inggris, jam tangan tiruan hingga sepeda motor, semakin besar. Ekspansi dari barang-barang Cina tersebut tidak hanya ke pertokoan-pertokoan moderen tetapi juga sudah masuk ke pasar-pasar rakyat dipingir jalan.
3. Investasi. Liberalisasi pasar uang dunia yang membuat bebasnya arus modal antarnegara juga sangat berpengaruh terhadap arus investasi neto ke Indonesia. Jika daya saing investasi Indonesia rendah, dalam arti iklim berinvestasi di dalam negeri tidak kondusif dibandingkan di negara-negara lain, maka bukan saja arus modal ke dalam negeri akan berkurang tetapi juga modal investasi domestik akan lari dari Indonesia yang pada aknirnya membuat saldo neraca modal di dalam neraca pembayaran Indonesia negatif. Pada gilirannya, kurangnya investasi juga berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan produksi dalam negeri dan ekspor. Seperti telah di bahas sebelumnya, sejak krisis ekonomi 1997/98, arus PMA ke Indonesia relatif berkurang dibandingkan ke negara-negara tetangga; bahkan di dalam kelompok ASEAN, Indonesia menjadi negara yang paling tidak menarik untuk PMA karena berbagai hal, mulai


29
dari kondisi perburuan yang tidak lagi menarik investor asing, masalah keamanan dan kepastian hukum, hingga kurangnya insentif, terutama insentif fiskal bagi investasi-investasi baru. Sebaliknya, Vietnam, sebagai suatu contoh, menjadi sangat menarik bagi investor asing karena tidak hanya tenaga kerjanya sangat disiplin dan murah, juga pemerintah Vietnam memberikan tax holiday bagi investasi-investasi baru.
4. Tenaga kerja. Dampak negatifnya adalah membanjirnya tenaga ahli dari luar di Indonesia, dan kalau kualitas SDM Indonesia tidak segera ditingkatkan untuk dapat menyaingi kualitas SDM dari negara-negara lain, tidak mustahil pada suatu ketika pasar tenaga kerja atau peluang kesempatan kerja di dalam negeri sepenuhnya dikuasai oleh orang asing. Sementara itu, tenaga kerja Indonesia (TKI) semakin kalah bersaing dengan tenaga kerja dari negara-negara lain di luar negeri. Juga tidak mustahil pada suatu ketika TKI tidak lagi diterima di Malaysia, Singapura atau Taiwan dan digantikan oleh tenaga kerja dari negara-negara lain seperti Filipina, India dan Vietnam yang memiliki keahlian lebih tinggi dan tingkat kedisiplinan serta etos kerja yang lebih baik dibandingkan TKI.

Keempat jenis dampak tersebut secara bersamaan akan menciptakan suatu efek yang sangat besar dari globalisasi ekonomi dunia terhadap perekonomian dan kehidupan sosial di setiap negara yang ikut berpartisipasi di dalam prosesnya, termasuk Indonesia. Lebih banyak pihak yang berpendapat bahwa globalisasi ekonomi akan lebih merugikan daripada menguntungkan NSB. Seperti misalnya pendapat yang pesimis mengenai globalisasi dari Khor (2002) sebagai berikut: Globalisasi adalah suatu proses yang sangat tidak adil dengan distribusi keuntungan maupun kerugian yang juga tidak adil. Ketidakseimbangan ini tentu saja akan menyebabkan pengkutuban antara segelintir negara dan kelompok yang memperoleh keuntungan, dan negara-negara maupun kelompok yang kalah atau termajinalisasi. Dengan demikian, globalisasi, pengkutuban, pemusatan kesejahteraan dan marjinalisasi merupakan rentetan peristiwa menjadi saling terkait melalui proses yang sama. Dalam proses ini, sumber-sumber investasi, pertumbuhan dan teknologi moderen terpusat pada sebagian kecil (terutama negara-negara Amerika Utara, Eropa, Jepang dan negara-negara industri baru (NICs) di Asia Timur). Majoritas NSB tidak tercakup dalam proses globalisasi atau ikut berpartisipasi namun dalam porsi yang sangat kecil dan acapkali berlawanan dengan kepentingannya, misalnya liberalisasi impor dapat menjadi ancaman bagi produsen-produsen domestik mereka dan liberalisasi moneter dapat menyebabkan instabilitas moneter dalam negeri (hal.18). Masih menurut Khor, Manfaat dan biaya liberalisasi perdagangan bagi NSB menimbulkan persoalan yang kian kontroversial. Pandangan kontroversial bahwa liberalisasi perdagangan merupakan sesuatu yang penting dan secara otomatif atau pada umumnya memiliki dampak-dampak positif bagi pembangunan

30
11 Perkiraan bahwa sebagian besar dari NSB, terutama di tiga wilayah tersebut di atas termarjinalisasikan dalam proses globalisasi ekonomi bukan sesuatu tanpa alasan kuat. Data deret waktu dari UNCTAD menunjukkan bahwa dalam empat (4) dekade terakhir, pangsa NSB di dalam ekspor dunia menurun secara konstan dari 3,06% pada tahun 1954 ke 0,42% pada tahun 1998. Laju penurunannya lebih dalam periode 1960-an dan 1970-an. Data UNCTAD tidak hanya membedakan antara negara-negara maju (developed countries) dengan NSB, tetapi di dalam kelompok NSB itu sendiri dibedakan antara yang sudah maju (developing countries) seperti NICs, Thailand, Malaysia, Indonesia, India, Cina, Pakistan, Israel di Asia dan Brasil, Argentina, Chile dan Meksiko di Amerika Latin, dan negara-negara yang terbelakang dalam tingkat pembangunan/industrialisasinya (least developed countries) yang didominasi terutama oleh negara-negara miskin di Afrika dan Asia Selatan. NSB dari katetori least developed countries paling kecil pangsa pasar dunianya, dan dalam 4 dekade terakhir ini menunjukkan suatu tren yang menurun yang mengindikasikan bahwa kelompok ini semakin termarjinalisasikan.
dipertanyakan kembali secara empiris maupun analitis. Kini saatnya meneliti sejarahnya dan merumuskan berbagai pendekatan yang tepat bagi kebijakan perdagangan di NSB. (hal.32).
Dengan demikian, Khor (2002) berpendapat bahwa globalisasi ekonomi mempengaruhi berbagai kelompok negara secara berbeda. Secara umum, menurutnya, dampak dari proses ini dapat dikelompokkan ke dalam tiga grup negara. Grup pertama adalah sejumlah kecil negara yang mempelopori atau yang terlibat secara penuh dalam proses ini mengalami pertumbuhan dan perluasan kegiatan ekonomi yang pesat, yang pada umumnya adalah negara-negara maju. Grup kedua adalah negara-negara yang mengalami pertumbuhan ekonomi yang sedang dan fluktuatif, yakni negara-negara yang berusaha menyesuaikan diri dengan kerangka globalisasi ekonomi atau liberalisasi perdagangan dan investasi. Misalnya negara-negara dari kelompok NSB yang tingkat pembangunan/kemajuan industrinnya sudah mendekati tingkat dari negara-negara industri maju, seperti NICs. Grup ketiga adalah negara-negara yang termarjinalisasikan atau yang sangat dirugikan karena ketidakmampuan mengatasi tantangan-tantangan yang muncul dari proses tersebut dan persoalan-persoalan pelik yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan globalisasi ekonomi seperti harga-harga komoditas primer yang rendah dan fluktuatif serta hutang luar negeri. Grup ini didominasi oleh NSB terutama di Afrika, Asia Selatan (terkecuali India) dan beberapa negara di Amerika Latin (tidak termasuk negara-negara yang cukup berhasil seperti Brazil, Argentina, Chile dan Meksiko).11
- Perkiraan dampak terhadap Indonesia: Beberapa hasil simulasi
Sudah banyak laporan mengenai ketidakmerataan pendapatan antarnegara yang dikaitkan dengan proses globalisasi ekonomi. Diantaranya adalah laporan pembangunan dan perdagangan dari UNCTAD tahun 1997. Di dalam laporan tersebut ditunjukkan bahwa kesenjangan pendapatan antara NSB, khususnya dari kategori least developed countries, yang sering disebut negara-negara Selatan dengan negara-negara maju, atau negara-negara Utara (terutama negara-negara industri yang tergabung dalam kelompok G-7, yakni AS, Kanada, Australia, Perancis, Jerman, Inggris, dan Jepang) meningkat secara signifikan sejak awal tahun 1980-an. Pada tahun 1965 rata-rata pendapatan per kapita dari negara-negara G-7 tersebut mencapai 20 kali lebih tinggi dari tujuh (7) negara termiskin di dunia; dan pada pertengahan dekade 90-an perbandingannya

31
12 Komentar-komentar mengenai kesenjangan yang semakin membesar antara kelompok Selatan dan kelompok Utara yang didorong oleh proses liberalisasi perdagangan dunia yang semakin kencang dapat dibaca di laporan-laporan tahunan lainnya dari UNCTAD.
meningkat menjadi 39 kalinya. Menurut laporan tersebut, ketimpangan itu berakar pada seperangkat kekuatan yang ditimbulkan oleh pesatnya liberalisasi perdagangan dunia yang akhirnya mengarah pada semakin besarnya ketimpangan pendapatan karena hanya negara-negara yang lebih kuat atau lebih siap yang menikmati keuntungan dari era tersebut, sedangkan NSB yang pada umumnya masih sangat lemah dalam segala bidang terutama pendidikan dan teknologi adalah pihak yang dirugikan.
Di dalam laporan UNCTAD tahun 1999 dikatakan bahwa liberalisasi perdagangan dunia menyebabkan peningkatan yang tajam dalam impor NSB yang tidak diimbangi oleh peningkatan ekspor mereka dalam laju yang sama. Struktur dari pertumbuhan perdagangan luar negeri ini tidak saja membuat banyak NSB mengalami defisit yang besar dari saldo transaksi berjalan mereka, tetapi juga membuat tingkat ketergantungan NSB terhadap impor dari negara-negara Utara semakin tinggi. Terkecuali beberapa negara seperti Cina, Korea Selatan, Taiwan, dan Singapura yang pertumbuhan ekspornya rata-rata per tahun tinggi.12
Gambaran yang sama juga dijumpai oleh Nayyar (1997) dari penelitiannya mengenai fenomena pembangunan yang tidak adil antara NSB dan negara-negara maju yang disebabkan oleh globalisasi ekonomi dunia. Menurut hasil studinya, keuntungan-keuntungan dari liberalisasi perdagangan menumpuk hanya di sebagian kecil NSB, yakni dari kategori developing countries.. Hanya terdapat sebelas (11) NSB yang menjadi bagian integral dari globalisasi ekonomi di akhir abad ke-20. Negara-negara tersebut mencakup sekitar 60% dari total ekspor NSB di awal 1990-an, yang meningkat sekitar 100% dari 30% selama 1970-an; dan sekitar 66% dari PMA yang mengalir ke NSB pada tahun 1981-1991.
Menurutnya, kelemahan dari NSB berakar dari sejumlah faktor. Posisi NSB secara ekonomi lemah untuk memulai integrasi dengan pasar dunia karena rendahnya kapasitas ekonomi dalam negeri dan infrastruktur sosial yang belum berkembang baik sebagai warisan masa penjajahan. Negara-negara tersebut yang sangat tergantung pada ekspor komoditi-komoditi primer semakin diperlemah oleh harga dunia dari komoditi-komoditi tersebut yang rendah dan berfluktuatif serta dasar tukar perdagangan (ToT) dari ekspor mereka yang terus menurun yang membuat negara-negara tersebut kekurangan devisa yang berbuntut pada krisis utang luar negeri (Bora dkk, 2002).
Selain itu, Nayyar (1997) berpendapat bahwa kelemahan NSB juga dikarenakan lemahnya daya tawar dan kemampuan negosiasi mereka dalam hubungan internasional. Dengan jumlah utang luar negeri yang besar, dan tingginya ketergantungan mereka pada bantuan donor bilateral dan organisasi-organisasi dunia pemberi pinjaman multilateral seperti Bank Dunia dan IMF, ditambah lagi dengan ketergantungan impor yang juga tinggi, NSB kehilangan kemampuan untuk bernegosiasi. Akhirnya, NSB hanya bisa menerima

32
13 Lihat juga seperti Raghavan (1990), Rodrik (1999) dan Shavaeddin (1994) yang juga memberi komentar-komentar mengenai distribusi yang tidak adil dari keuntungan dari liberalisasi perdagangan dunia terhadap NSB. Selain itu, lihat juga literatur yang memperdebatkan manfaat dari globalisasi misalnya terhadap kaum miskin di dunia, diantaranya Mander dkk. (2003), dan terhadap pembangunan berkelanjutan, misalnya Khor (2002).
14 Studi-studi lain yang juga menarik untuk dilihat diantaranya adalah dari APEC (1997, 1999), Anderson dkk. (1997), Young dan Huff (1997), dan Bora dkk. (2002)..
apa saja yang dituntut oleh negara-negara maju yang berkaitan dengan tata cara perdagangan internasional seperti penghapusan tarif impor dan subsidi ekspor terhadap komoditi-komoditi pertanian, yang bagi sebagian NSB masih merupakan komoditi-komoditi ‘sensitif’.13
Sudah cukup banyak penelitian empiris dengan pendekatan simulasi mengenai dampak dari liberalisasi perdagangan terhadap negara-negara yang terlibat, misalnya terhadap perubahan output (PDB) dan ekspor. Diantaranya yang menarik untuk dibahas di sini secara garis besar adalah dari Satriawan (1997), Ingco (1997), UNCTAD (1999), Scollay dan Gilbert (1999a,b, 2000, 2001), Gilbert dkk (1999), Feridhanusetyawan (1997), Feridhanusetyawan dkk. (2002), dan Feridhanusetyawan dan Pangestu (2003). 14Secara umum, kesimpulan dari hasil-hasil simulasi tersebut menunjukkan bahwa Indonesia adalah bagian dari kelompok negara yang tidak terlalu diuntungkan dengan perdagangan bebas atau globalisasi ekonomi.Tentu semua hasil simulasi tersebut hanya merupakan perkiraan-perkiraan yang didasarkan pada kondisi sebenarnya pada tahun tertentu sebagai tahun dasar dan di run melalui suatu model ekonomi global (CGE). Hasil-hasil tersebut bisa berbeda tetapi juga bisa sama seperti yang akan terjadi dalam kenyataan, tergantung pada apakah asumsi-asumsi yang digunakan di dalam analisa-analisa tersebut memang sesuai dengan realitas, misalnya mengenai nilai-nilai dari elastisitas tarif dari impor dan koefisien output agregat-impor, khususnya untuk periode jangka panjang, di mana banyak faktor-faktor yang sangat berpengaruh yang berubah terus sepanjang waktu seperti teknologi, cuaca, dan selera masyarakat
Meskipun demikian, hasil dari suatu simulasi bisa memberikan suatu perkiraan yang mungkin sekali bisa menjadi suatu kenyataan mengenai pengaruh dari liberalisasi perdagangan dunia terhadap ekspor dan produksi dalam negeri suatu negara. Misalnya, hasil-hasil simulasi dari studi-studi di atas tersebut yang menunjukkan bahwa Indonesia tidak termasuk kelompok negara yang sangat diuntungkan oleh liberalisasi perdagangan memberi suatu kesan bahwa daya saing global Indonesia tergolong rendah.
VI.2 Koperasi di NM
Sejarahnya
Seperti telah dikatakan sebelumnya, salam sejarahnya, koperasi sebenarnya bukanlah organisasi usaha yang khas berasal dari Indonesia. Kegiatan berkoperasi dan organisasi koperasi pada mulanya diperkenalkan di Inggris di sekitar abad pertengahan. Pada waktu itu misi utama berkoperasi adalah untuk menolong kaum buruh dan petani yang menghadapi problem-problem ekonomi dengan menggalang kekuatan mereka

33
15 Namun dalam perdebatan Tokyo, dicapai suatu kesepakatan untuk mendalami kembali semangat koperasi dan mencari kekuatan gerakan koperasi serta kembali kepada sebab di dirikannya koperasi (Soetrisno, 2001).
sendiri. Kemudian di Perancis yang didorong oleh gerakan kaum buruh yang tertindas oleh kekuatan kapitalis sepanjang abad ke 19 dengan tujuan utamanya membangun suatu ekonomi alternatif dari asosiasi-asosiasi koperasi menggantikan perusahaan-perusahaan milik kapitalis (Moene dan Wallerstein, 1993). Ide koperasi ini kemudian menjalar ke AS dan negara-negara lainnya di dunia. Di Indonesia, baru koperasi diperkenalkan pada awal abad 20.
Sejak munculnya ide tersebut hingga saat ini, banyak koperasi di negara-negara maju (NM) seperti di Uni Eropa (UE) dan AS sudah menjadi perusahaan-perusahaan besar termasuk di sektor pertanian, industri manufaktur, dan perbankan yang mampu bersaing dengan korporat-korporat kapitalis.
Sejarah kelahiran dan berkembangnya koperasi di NM dan NSB memang sangat diametral. Di NM koperasi lahir sebagai gerakan untuk melawan ketidakadilan pasar, oleh karena itu tumbuh dan berkembang dalam suasana persaingan pasar. Bahkan dengan kekuatannya itu koperasi meraih posisi tawar dan kedudukan penting dalam konstelasi kebijakan ekonomi termasuk dalam perundingan internasional. Peraturan perundangan yang mengatur koperasi tumbuh kemudian sebagai tuntutan masyarakat koperasi dalam rangka melindungi dirinya. Sedangkan, di NSB koperasi dihadirkan dalam kerangka membangun institusi yang dapat menjadi mitra negara dalam menggerakkan pembangunan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu kesadaran antara kesamaan dan kemuliaan tujuan negara dan gerakan koperasi dalam memperjuangkan peningkatan kesejahteraan masyarakat ditonjolkan di NSB, baik oleh pemerintah kolonial maupun pemerintahan bangsa sendiri setelah kemerdekaan (Soetrisno, 2001). Dalam kasus Indonesia, hal ini ditegaskan di dalam Undang-undang (UU) Dasar 1945 Pasal 33 mengenai sistem perekonomian nasional. Berbagai peraturan perundangan yang mengatur koperasi dilahirkan dan juga dibentuk departemen atau kementerian khusus yakni Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah dengan maksud mendukung perkembangan koperasi di dalam negeri.
Soetrisno (2001) mencatat bahwa pada akhir dekade 80-an koperasi dunia mulai gelisah dengan proses globalisasi dan liberalisasi ekonomi dan perdagangan yang semakin pesat, sehingga berbagai langkah pengkajian ulang kekuatan koperasi dilakukan. Hingga tahun 1992 Kongres International Cooperative Alliance (ICA) di Tokyo melalui pidato Presiden ICA (Lars Marcus) masih melihat perlunya koperasi melihat pengalaman swasta khususnya di NM yang mampu membangun koperasi menjadi unit-unit usaha yang besar yang mampu bersaing dengan perusahaan-perusahaan non-koperasi, termasuk perusahaan-perusahaan multinasional, dan pentingnya koperasi di NSB terutama sebagai salah satu cara untuk mengurangi kemiskinan.15
Pada tahun 1995 gerakan koperasi menyelenggarakan Kongres koperasi di Manchester, Inggris dan melahirkan suatu landasan baru yang dinamakan International Cooperative Identity Statement (ICIS) yang

34
16 Sumber mengenai jumlah koperasi, omset, jumlah anggota dll. di negara-negara yang dibahas di bagian ini berasal dari ICA, dan stud-studi kasus seperti dari Kalmi (2006), van Bekkum dan van Dijk dkk.(1997) yang dikutip dari Nello (2000), Mutis (2001), dan Zeuli dan Cropp, 2005).
17 Di UE, European Cooperative Statute memberikan sebuah bentuk perusahaan kepada koperasi-koperasi dengan anggota-anggota individu atau perusahaan-perusahaan di paling sedikit dua dari negara-negara anngota dari UE. Baik di UE maupun di wilayah-wilayah besar di Amerika, koperasi-koperasi, dengan asosiasi-asosiasi, yayasan-yayasan, dan mutual funds, dianggap sebagai bagian-bagian dari ‘ekonomi sosial’ atau ‘sektor ketiga’.
18 Lihat misalnya Birchall (1997), Hansmann (1996), Hill (2000), Eurostat (2001), dan Klinedinst dan Sato (1994).
menjadi dasar tentang pengertian prinsip dan nilai dasar koperasi untuk menjawab tantangan globalisasi dan liberalisasi ekonomi dan perdagangan. Di dalam pertemuan tersebut, disepakati bahwa untuk bisa menghadapi globalisasi dan liberalisasi ekonomi dan perdagangan koperasi harus bersikap seperti layaknya “perusahaan swasta.”Dengan demikian mengakhiri perdebatan apakah koperasi sebagai lembaga bisnis atau lembaga “quasi-sosial”. Dan sejak itu semangat untuk mengembangkan koperasi terus menggelora di berbagai sistim ekonomi yang semula tertutup kini terbuka. Dalam kata lain, seperti yang diungkapkan oleh Soetrisno (2001), koperasi harus berkembang dengan keterbukaan, sehingga liberalisasi ekonomi dan perdagangan bukan musuh koperasi..
Perkembangannya Selama ini16
Menurut data dari ICA, di dunia saat ini sekitar 800 juta orang adalah anggota koperasi dan diestimasi bahwa koperasi-koperasi secara total mengerjakan lebih dari 100 juta orang, 20% lebih dari jumlah yang diciptakan oleh perusahaan-perusahaan multinasional. Pada tahun 1994, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperkirakan bahwa kehidupan dari hampir 3 miliar orang, atau setengah dari jumlah populasi di dunia terjamin oleh perusahaan-perusahaan koperasi.
Tidak hanya di NSB yang pendapatan per kapitanya rendah, tetapi juga di NM, terutama di Amerika Utara, Eropa17dan Jepang peran koperasi sangat penting.18(Tabel 2). Suatu studi dari Eurostat (2001) di tujuh negara Eropa menunjukkan bahwa pangsa dari koperasi-koperasi dalam menciptaan kesempatan kerja mencapai sekitar 1 persen di Perancis dan Portugal hingga 3,5 persen di Swiss. Menurut ICA, di Kanada 1 dari 3 orang (atau sekitar 33% dari jumlah populasinya) adalah anggota koperasi. Koperasi (termasuk koperasi kredit atau credit union) mengerjakan lebih dari 160 ribu orang. Gerakan koperasi the Desjardins (koperasi tabungan dan kredit) dengan lebih dari 5 juta anggota adalah pencipta kesempatan kerja terbesar di Propinsi Québec. Banyak koperasi pertanian mendirikan industri pupuk dan banyak koperasi yang terlibat dalam kegiatan-kegiatan pengeboran minyak bumi. Banyak koperasinya yang memiliki pangsa yang cukup besar di pasar global. Misalnya koperasi-koperasi gula menguasai sekitar 35% dari produksi gula dunia.
Di Eropa koperasi tumbuh terutama melalui koperasi kredit dan koperasi konsumen yang kuat hingga disegani oleh berbagai kekuatan. Di perdagangan eceran, koperasi-koperasi konsumsi merupakan pionir

35
dari penciptaan rantai perdagangan eceran modern (Furlough dan Strikwerda, 1999). Di sektor perbankan di negara-negara seperti Perancis, Austria, Finlandia dan Siprus, menurut data ICA (1998a), pangsa pasar dari bank-bank koperasi mencapai sekitar 1/3 dari total bank yang ada. Bahkan 2 (dua) bank terbesar di Eropa milik koperasi yakni "Credit Agricole" di Perancis dan RABO-Bank di Netherlands. Kredit sebagai kebutuhan universal bagi umat manusia terlepas dari kedudukannya sebagai produsen maupun konsumen dan penerima penghasilan tetap atau bukan adalah anggota potensial dari koperasi kredit (Soetrisno, 2001).
Tabel 2: Perkembangan Koperasi di NM, 1922-1998
Negara 1922 1998
Juml anggota % dari pop. Juml anggota % dari pop.
Inggris
Jerman
Perancis
Swiss
Finlandia
Denmark
AS
Kanada
Jepang 4.559.000
2.382.000
2.300.000
369.000
375.000
376.000
..
..
.. 10,8
4,6
5,9
9,5
11,9
12,3
..
..
.. 9.038.018
21.640.000
17.845.573
1.513.327
1.066.774
1.392.244
156.192.982
14.518.682
42.842.643 15,3
26,4
30,3
21,3
20,7
26,3
57,8
47,9
33,9

Sumber: Kalmi (2006).
Di negara-negara Skandinavia, koperasi menjadi soko guru perekonomian dan mempunyai suatu sejarah yang sangat panjang. Di Norwegia, 1 dari 3 orang (atau 1,5 juta dari jumlah populasi 4,5 juta orang) adalah anggota koperasi. Koperasi-koperasi susu bertanggung jawab untuk 99% dari produksi susu; koperasi-koperasi konsumen memegang 25% dari pasar; koperasi-koperasi perikanan bertanggung jawab untuk 8,7% dari jumlah ekspor ikan; dan koperasi-koperasi kehutanan bertanggung jawab untuk 76% dari produksi kayu. Di Finlandia, koperasi S-Group punya 1.468.572 anggota yang mewakili 62% dari jumlah rumah tangga di negara tersebut. Grup-grup koperasi dari Pellervo bertanggung jawab untuk 74% dari produk-produk daging, 96% dari produk-produk susu, 50% dari produksi telor, 34% dari produk-produk kehutanan, dan menangani sekitar 34,2% dari jumlah deposito di bank-bank di negara tersebut. Pada tahun 1995, dua koperasinya yang masuk di dalam 20 koperasi pertanian terbesar di Uni Eropa (UE) adalah Metsaliitto (kayu) dengan penghasilan 3.133 juta ecu dengan 117.783 anggota, dan Valio (produk-produk susu) dengan penghasilan 1.397 juta ecu, 47 anggota dan 5.101 pekerja. Di Denmark, pada tahun 2004 koperasi-koperasi konsumen meguasai pasar 37% dan dua koperasi pertaniannya, yakni MD Foods (produk-produk susu) dan Danish Crown (daging) masuk 20 koperasi pertanian terbesar di UE berdasarkan nilai omset pada tahun 1995. Pada tahun itu, penghasilan MD Foods mencapai 1,681 miliar ecu dengan 8919 petani sebagai anggota dan mengerjakan 3678 orang, sedangkan Danish Crown hampir mencapai 1,577 miliar ecu dengan 12560 orang anggota dan 6965 pekerja. Di Sweden, koperasi-koperasi konsumen memegang 17,5% dari pasar pada tahun 2004, dan pada tahun 1995 satu koperasi pertaniannya dari

36
19 Di Inggris, bentuk koperasi-koperasi tradisional adalah yang disebut 'bona fide co-operative' dibawah undang-undang Industrial and Provident Societies. Namun demikian, sejak tahun 1980an banyak koperasi yang masuk di dalam Undang-undang perusahaan, yang dibatasi oleh saham-saham atau oleh garansi. Dalam suatu upaya untuk tetap bisa bertahan, banyak koperasi yang mengadopsi prinsip dari ‘kepemilikan bersama’, dan suatu saham modal nol atau nominal, bersama dengan suatu ketentuan yang menetapkan pembubaran altruistik. Ini artinya bahwa koperasi tidak dapat diakhiri dan aset-asetnya didistribusikan untuk keuntungan pribadi. Fasilitas untuk ‘mengunci’ secara legal aset-aset dari sebuah koperasi dengan cara ini mulai diberlakukan pada tahun 2004.
subsektor susu masuk 20 besar di EU, yakni Arla dengan omset 1,369 miliar ecu, anggota 10365 orang, dan mengerjakan 6020 orang.
Di Jerman, sekitar 20 juta orang (atau 1 dari 4 orang) adalah anggota koperasi, dan koperasi yang jumlahnya mencapai 8106 unit telah memberikan kontribusi nyata bagi perekonomian negara tersebut, diantaranya menciptakan kesempatan kerja untuk 440 ribu orang. Salah satu sektor dimana koperasi sangat besar perannya adalah perbankan. Misalnya, bank koperasi Raifaissen sangat maju dan penting peranannya, dengan kantor-kantor cabangnya di kota maupun desa. Pada tahun 1995, ada dua koperasi dari Jerman yang masuk 20 koperasi pertanian terbesar di UE, yakni Baywa (fungsi multi) dengan penghasilan 3.542 juta ecu dan mengerjakan 10794 orang, dan RHG (fungsi multi) dengan penghasilan 1.790 juta ecu, 260 anggota, dan 2.946 pekerja.
Di Inggris, diperkirakan sekitar 9,8 juta orang adalah anggota koperasi, dan pertanian merupakan sektor di mana peran koperasi sangat besar. Sektor lainnya adalah pariwisata. Biro perjalanan swasta terbesar di negara itu adalah sebuah koperasi. Pada tahun 1995, Milk Marque, koperasi produk-produk susu, masuk 20 koperasi pertanian terbesar di UE, dengan omset mencapai 2.393.000.000 ecu, dengan jumlah anggota tercatat sebanyak 18 ribu orang dan memberi kesempatan kerja ke 300 orang. Sedangkan di Irlandia, koperasi-koperasi pertaniannya yang juga masuk di dalam kelompok besar tersebut adalah The Irish Dairy Board (jumlah anggota: 71), Avonmore (13245), dan Kerry Group (6000) yang semuanya di bidang produksi susu dengan omset antara 1.463,3 juta ecu hingga 1.523,3 juta ecu. Jumlah kesempatan kerja yang diciptakan oleh ketiga koperasi susu tersebut mencapai antara 2010 hingga 6426 orang.19
Di Perancis jumlah koperasi tercatat sebanyak 21 ribu unit yang memberi pekerjaan kepada 700 ribu orang, sedangkan di Italia terdapat 70400 koperasi yang mengerjakan hampir 1 juta orang pada tahun 2005. Pada tahun 1995 berdasarkan omset tahunannya, tiga koperasi di Perancis masuk 20 koperasi pertanian terbesar di EU, yakni Sodiaal untuk produk-produk susu dengan omset hampir mencapai 2,6 miliar ecu, Socopa untuk daging dengan 1,99 miliar ecu, dan UNCAA untuk input-input dan produk-produk daging dengan omset 1.527.900 ribu ecu.
Di negara-negara Eropa Timur, koperasi juga sangat maju. Misalnya, di Hongaria, koperasi-koperasi konsumen bertanggung jawab terhadap 14,4% dari makanan nasional dan penjualan-penjualan eceran umum pada tahun 2004. Di Polandia, koperasi-koperasi susu bertanggung jawab untuk 75% dari produksi susu di dalam negeri. Di Slovenia, koperasi-koperasi pertanian bertanggung jawab untuk 72% dari produksi

37
susu, 79% dari sapi, 45% dari gandum, dan 77% dari produksi kentang. Di Slovakia, terdapat lebih dari 700 koperasi yang mengerjakan hampir 75 ribu orang.
Di Selandia Baru, 40% dari populasi remaja adalah anggota koperasi, dan 22% dari PDB negara tersebut berasal dari perusahaan-perusahaan koperasi. Koperasi-koperasi bertanggung jawab untuk 95% dari pasar susu di dalam negeri dan 95% dari ekspor susu. Pasar domestik untuk banyak komoditas lainnya juga didominasi oleh koperasi: 70% dari pasar daging, 50% dari pasar suplai pertanian, 70% dari pasar pupuk, 75% dari penjualan farmasi, dan 62% dari pasar groseri.
Belanda, walaupun negaranya sangat kecil, tetapi koperasinya sangat maju. Salah satu adalah Rabo Bank milik koperasi yang adalah bank ketiga terbesar dan konon bank ke 13 terbesar di dunia. Contoh lain adalah perdagangan bunga. Mayoritas perdagangan bunga di negara ini digerakkan oleh koperasi bunga yang dimiliki oleh para petani setempat. Belanda juga punya banyak koperasi yang berkecimpung di sektor pertanian yang masuk 20 koperasi pertanian terbesar di UE, yakni Campina Melkunie (produk-produk susu), Cebeco Handelsrand (input dan produksi pertanian), Friesland Dairy Foods (produk-produk susu), Coberco (produk-produk susu), Demeco (daging), dan Greenery/VTN (buah-buahan dan sayur-sayuran), dengan penghasilan paling kecil 1,346 miliar ecu (VTN) hingga terbesar 3.1 miliar ecu (Campina), jumlah anggota paling sedikit 50 orang (Cebeco) dan terbanyak 17850 orang (VTN) dan jumlah pekerja paling sedikit 3000 orang (Dumeco) dan terbanyak 7490 orang (Friesland). Di negara tetangganya Belgia, pada tahun 2001 tercatat jumlah koperasi mencapai 29.933 unit, dan koperasi farmasinya memiliki pangsa pasar sekitar 19,5%.
Sementara itu, di AS 1 dari 4 orang (atau sekitar 25% dari jumlah pendudu) adalah anggota koperasi. Lebih dari 30 koperasi punya penghasilan tahunan lebih dari 1 miliar dollar AS. Salah satu koperasi yang sangat besar adalah koperasi kredit (credit union) yang jumlah anggotanya mencapai sekitar 80 juta orang dengan rata-rata jumlah simpanannya 3000 dollar (Mutis, 2001). Di Negara Paman Sam ini koperasi kredit berperan penting terutama di lingkungan industri, misalnya dalam pemantauan kepemilikan saham karyawan dan menyalurkan gaji karyawan. Begitu pentingnya peran koperasi kredit ini sehingga para buruh di Amerika Serikat (seperti juga di Kanada) sering memberikan julukan koperasi kredit sebagai “bank rakyat”, yang dimiliki oleh anggota dan memberikan layanan kepada anggotanya pula (Mulyo, 2004). Selain di sektor kredit, koperasi di AS juga kuat di sektor-sektor lainnya termasuk, industri, pertanian dan enerji. Sekitar 90% lebih distribusi listrik desa di AS dikuasai oleh koperasi. Koperasi Sunkis di California mensuplai bahan dasar untuk pabrik Coca Cola, sehingga pabrik tersebut tidak perlu membuat kebun sendiri. Dengan demikian pabrik Coca Cola cukup membeli sunkis dari koperasi Sunkis yang dimiliki oleh para petani sunkis (Mutis, 2001).

38
20 Di AS, kebanyakan koperasi adalah dalam bentuk perusahaan-perusahaan P.T., tetapi bentuk-bentuk legal lainnya juga digunakan. Ada banyak koperasi yang juga membayarkan dividen kepada anggota sesuai saham mereka di koperasi. Untuk koperasi-koperasi yang tidak mengeluarkan dividen, surplus dikembalikan ke anggota-anggotanya dalam bentuk bonus atau lainnya sesuai keterlibatan mereka di dalam koperasi.
Koperasi di AS terutama sangat penting di pertanian. Data 2002 menunjukkan bahwa pada tahun itu, ada sekitar 27 ribu lebih koperasi pertanian dengan sekitar 156,19 juta petani sebagai anggotanya (banyak dari mereka menjadi anggota dari lebih dari 1 koperasi. Jumlah ini paling besar di antara kelompok NM (Tabel 3). Koperasi di pertanian terfokus pada kegiatan-kegiatan berikut ini: pemasaran produk-produk pertanian, pemasokan bahan baku/input, dan yang terkait dengan pelayanan-pelayanan petani lainnya. Mereka menguasai kurang lebih 28% hingga 30% pangsa pasar (Zeuli dan Cropp, 2005).20Beberapa koperasi pertanian yang sangat maju di AS adalah Agrilink, Cenex Harvest States, Dairy Farmers of America, Farmland, dan Land O’ Lakes.
Tabel 3: Jumlah koperasi pertanian di NM, 2002
Negara Jumlah koperasi Jumlah anggota (juta) Penghasilan*
Kanada
Denmark
Finlandia
Perancis
Jerman
Jepang
Norwegia
Korea Selatan
Sweden
Swiss
Inggris
AS
Yunani*
Spanyol*
Irlandia*
Italia**
Luxemburg**
Belanda**
Austria
Portugal 7880
214*
1446
403*
46
3618*
23573
3950*
9112
3860
4259
7669
50*
15106
16
506*
42
27076
6919
4350
128
8850
25
251
1757
909 14,52
0,113*
1,39
1,229*
1,07
0,720*
17,49
3,280*
21,64
42,84
1,59
17,07
0,300*
4,78
1,51
0,271
9,04
156,19
0,738
0,950
0,186
1,124
..
0,273
2,182
0,800 ..
12100ecu
..
7590ecu
..
52600
..
39300 ecu
..
..
..
..
8240ecu
..
..
7660ecu
..
..
850ecu
6300ecu
9590ecu
16450ecu
120ecu
22400ecu
..
1270ecu

Keterangan: * data 1996; ** data 1995.
Sumber: International Co-operative Alliance, www.coop.org/statistics.html. (April, 2002); untuk tahun 1996 dan 1995
dari van Bekkum dan van Dijk (1997) yang dikutip dari Nello (2000).
Hal penting lainnya yang dapat dilihat dari tabel tersebut adalah bahwa di Finlandia dan Inggris, perbandingan data yang ada untuk dua periode yakni 1996 dan 2002 menunjukkan adanya penurunan jumlah koperasi yang cukup signifikan. Banyak literatur mengenai koperasi di Eropa dan AS mengatakan bahwa dalam 20 tahun terakhir ini memang koperasi-koperasi di dua wilayah tersebut menghadapi

39
persaingan yang semakin ketat yang memaksa mereka untuk melakukan penggabungan, akuisisi, atau kerja sama dalam bentuk-bentuk lain sebagai salah satu strategi untuk survive. Misalnya Nello (2000) memaparkan bahwa memang sejak akhir 90an banyak koperasi di Eropa yang melakukan strategi tersebut.
Pada tahun 2002 jumlah koperasi di negara adi daya ini tercatat mencapai 48 ribu unit di hampir semua jalur bisnis, memberikan pelayanan kepada 120 juta anggota, atau sekitar 4 dari setiap 10 penduduk di negara tersebut. 100 koperasi terbesar di AS, diperingkat menurut omset, secara individu menciptakan paling sedikit 346 juta dollar AS dan dalam total mencapai 119 miliar dollar AS pada tahun tersebut (Zeuli dan Cropp, 2002) (Tabel 4).
Tabel 4: 100 Koperasi terbesar menurut Omset dan Sektor Bisnis di AS, 2002
Sektor Jumlah koperasi Omset (juta dollar AS)
Pertanian
Perdagangan besar/Groseri
Keuangan
Komunikasi enerji
Peringkat keras dan lumber
Lainnya 41
18
12
16
6
7 58
26,1
10,2
9,7
8,8
6,5

Sumber: Zeuli dan Cropp, 2002).
Di Jepang, 1 dari setiap 3 keluarga adalah anggota koperasi. Koperasi menjadi wadah perekonomian pedesaan yang berbasis pertanian. Koperasi-koperasi pertanian menghasilkan output sekitar 90 miliar dollar AS dengan 91% dari jumlah petani di negara tersebut sebagai anggota. Peran koperasi di pedesaan Jepang telah menggantikan fungsi bank sehingga koperasi sering disebut pula sebagai “bank rakyat” karena koperasi tersebut beroperasi dengan menerapkan sistem perbankan. Bahkan salah satu bank besar di Jepang adalah koperasi, yakni bank Nurinchukin bank (Rahardjo, 2002).
Di negara-negara Asia lainnya dengan tingkat pembangunan ekonominya yang sudah relatif tinggi seperti Singapura dan Korea Selatan, peran koperasi juga sangat besar. Di Singapura 50% dari jumlah populasinya adalah anggota koperasi. Koperasi-koperasi konsumennya memegang 55% dari pasar dalam pembelian-pembelian supermarket dan mempunyai suatu penghasilan sebesar 700 juta dollar AS. Di Korea Selatan, koperasi-koperasi pertanian punya anggota lebih dari 2 juta petani (90% dari jumlah petani), dan menghasilkan output sebanyak 11 miliar dollar AS. Koperasi-koperasi di subsektor perikanan memiliki pangsa 71%.
Koperasi konsumen di Singapura, seperti juga di misalnya Jepang, Kanada dan Finlandia mampu menjadi pesaing terkuat perusahaan raksasa ritel asing yang mencoba masuk ke negara tersebut (Mutis, 2003). Bahkan di beberapa negara tersebut, mereka berusaha untuk mengarahkan perusahaannya agar berbentuk koperasi. Dengan membangun perusahaan yang berbentuk koperasi diharapkan masyarakat

40
setempat mempunyai peluang besar untuk memanfaatkan potensi dan asset ekonomi yang ada di daerahnya (Mulyo, 2004).
Hebatnya perkembangan dari koperasi-koperasi di negara-negara maju tersebut memberi kesan bahwa koperasi tidak bertentangan dengan ekonomi kapitalis. Sebaliknya, koperasi-koperasi tersebut tidak hanya mampu selama ini bersaing dengan perusahaan-perusahaan besar non-koperasi, tetapi mereka juga menyumbang terhadap kemajuan ekonomi dari negara-negara kapitalis tersebut. Seperti telah dijelaskan di atas bahwa koperasi lahir pertama kali di Eropa yang juga merupakan tempat lahirnya sistem ekonomi kapitalis.
Banyak studi-studi kasus atau laporan-laporan mengenai keberhasilan dari koperasi-koperasi di NM. Misalnya dari Trechter (2005) mengenai the Fonterra Cooperative Group (FCG) di Selandia Baru (SB) dan the Australian Wheat Board (AWB). Dalam suatu jangka waktu yang relatif pendek, pemasaran susu di SB telah berubah dari suatu sektor yang terfrakmentasi ke dalam sejumlah koperasi yang saling bersaing ke satu sektor yang didominasi oleh satu koperasi. Tahun 1996 ada 14 koperasi susu di SB. Sekarang hanya ada satu koperasi susu yang besar, yakni FCG, dan dua yang kecil berbasis regional yang beroperasi di SB. Tahun 2000, Kiwi Cooperative Dairies (Kiwi) dan New Zealand Dairy Group (NZDG) mendominasi industri susu di SB dan mereka adalah pesaing-pesaing berat. Negosiasi-negosiasi antara Kiwi dan NZDG yang akhirnya membuat terbentuknya FCG sangat lama dan alot. Menurut website-nya, FCG adalah korporasi terbesar di SB, dengan 7% dari PDB negara itu, menyumbang sekitar 20% dari cadangan devisa SB, dan perusahaan susu terbesar ke empat di dunia (http://fonterra.com). FCG melalui Kiwi Dairies dan NZDG memiliki sejumlah merek konsumen yang sangat kuat, diantaranya Anchor, Peters and Brownes, dan Tip Top. FCG punya sekitar 12.300 anggota dan fasilitas-fasilitas produksi di Brazil dan Australia, selain di SB. FCG secara cepat memperluas pengaruhnya di pasar susu di Australia dengan membeli Australian Food Holdings, bagian dari National Food dan upaya-upaya yang sedang dilakukan untuk memperluas kepemilikannya dari Koperasi Bonlac dari 25% ke 50%. Tujuan utama dari didirikannya FCG adalah untuk mencapai penghematan biaya-biaya dan untuk menyediakan suatu landasan yang lebih efektif untuk bisa bersaing di pasar-pasar susu global. Kedua tujuan ini mempromosikan penggabungan dua tipe yang teridentifikasi dari penghematan-penghematan biaya-biaya. Pertama, rasionalisasi dari rantai suplai diharapkan dapat menciptakan penghematan-penghematan yang substansial. Fasilitas-fasilitas dan posisi-posisi yang duplikat dieliminasi lewat penggabungan itu. Kedua, penggabungan itu diharapkan bisa membuat FCG mampu merealisasikan skala ekonomis, yang berarti biaya rata-rata, yang berarti juga harga jual rata-rata per satu unit output menjadi murah.
Pendirian FCG waktu itu diharapkan bisa meningkatkan kemampuan dari industri susu SB untuk bersaing di pasar-pasar internasional. FCG cocok dengan definisi dari suatu generasi baru dari koperasi

41
dalam banyak hal: (1) koperasi tersebut dimiliki dan diawasi oleh pemakai (dengan pemberian suara berdasarkan jumlah susu yang diserahkan bukan berdasarkan satu orang-satu suara); (2) keuntungan-keuntungan dibagikan berdasarkan pemakaian; (3) FCG bukan sepenuhnya suatu koperasi berdasarkan keanggotaan karena koperasi itu harus menerima pemasok-pemasok baru; (4) FCG punya suatu hubungan kontraktual dengan produsen-produsennya yang harus punya satu bagian dari stok susu FCG untuk setiap kilo dari susu yang akan diserahkannya.
Karakteristik penting lainnya dari FCG adalah bahwa koperasi tersebut mempunyai suatu fokus yang kuat pada pembuatan produk-produk yang bervariasi yang menciptakan kesetiaan pembeli dan harga premium.
AWB juga memiliki suatu sejarah yang panjang. Didirikan oleh pemerintah Australia pada tahun 1939 dan memberikan otoritas untuk mengekspor gandum. Pada tahun 2001 AWB ekspor lebih dari 15 juta mt, gandum dan mempunyai pembeli-pembeli di lebih dari 40 negara. AWB punya saham 3% dari jumlah ekspor dan 12% dari ekspor pertanian Australia. Di dalam konteks Australia dan pasar gandum global, AWB adalah pemain utama. Pada tahun 2001, AWB memegang saham terbesar kedua (17%) dari penjualan-penjualan di pasar gandum global.
Peterson (2005), mengatakan bahwa koperasi harus memiliki keunggulan-keunggulan kompetitif dibandingkan organisasi-organisasi bisnis lainnya untuk bisa menang dalam persaingan di dalam era globalisasi dan perdagangan bebas saat ini. Keunggulan kompetitif disini didefinisikan sebagai suatu kekuatan organisasional yang secara jelas menempatkan suatu perusahaan di posisi terdepan dibandingkan pesaing-pesaingnya. Faktor-faktor keunggulan kompetitif dari koperasi harus datang dari: (1) sumber-sumber tangible seperti kualitas atau keunikan dari produk yang dipasarkan (misalnya formula Coca-Cola Coke) dan kekuatan modal; (ii) sumber-sumber bukan tangible seperti brand name, reputasi, dan pola manajemen yang diterapkan (misalnya tim manajemen dari IBM); dan (iii) kapabilitas atau kompetensi-kompetensi inti yakni kemampuan yang kompleks untuk melakukan suatu rangkaian pekerjaan tertentu atau kegiatan-kegiatan kompetitif (misalnya proses inovasi dari 3M). Menurutnya, salah satu yang harus dilakukan koperasi untuk bisa memang dalam persaingan adalah menciptakan efisiensi biaya. Tetapi ini juga bisa ditiru/dilakukan oleh perusahaan-perusahaan lain (non-koperasi). Jadi, ini bukan suatu keunggulan kompetitif yang sebenarnya dari koperasi. Menurutnya satu-satunya keunggulan kompetitif sebenarnya dari koperasi adalah hubungannya dengan anggota. Misalnya, di koperasi produksi komoditas-komoditas pertanian, lewat anggotanya koperasi tersebut bisa melacak bahan baku yang lebih murah, sedangkan perusahaan non-koperasi harus mengeluarkan uang untuk mencari bahan baku murah.
Loyd (2001) menegaskan bahwa koperasi-koperasi perlu memahami apa yang bisa membuat mereka menjadi unggul di pasar yang mengalami perubahan yang semakin cepat akibat banyak faktor multi

42
termasuk kemajuan teknologi, peningkatan pendapatan masyarakat yang membuat perubahan selera pembeli, penemuan-penemuan material baru yang bisa menghasilkan output lebih murah, ringan, baik kualitasnya, tahan lama, dsb.nya, dan makin banyaknya pesaing-pesaing baru dalam skala yang lebih besar. Dalam menghadapi perubahan-perubahan tersebut, menurutnya, faktor-faktor kunci yang menentukan keberhasilan koperasi adalah: (1) posisi pasar yang kuat (antara lain dengan mengeksploitasikan kesempatan-kesempatan vertikal dan mendorong integrasi konsumen); (2) pengetahuan yang unik mengenai produk atau proses produksi; (3) sangat memahami rantai produksi dari produk bersangkutan; (4) terapkan suatu strategi yang cemerlang yang bisa merespons secara tepat dan cepat setiap perubahan pasar; dan (5) terlibat aktif dalam produk-produk yang mempunyai tren-tren yang meningkat atau prospek-prospek masa depan yang bagus (jadi mengembangkan kesempatan yang sangat tepat).
Berdasarkan penelitian mereka tehadap perkembangan dari koperasi-koperasi pekerja di AS Lawless dan Reynolds (2004) memberikan beberapa kriteria kunci dan praktek-praktek terbaik. Menurut mereka, kriteria-kriteria kunci untuk memulai suatu koperasi yang berhasil adalah sebagai berikut: (1) memiliki kepemimpinan yang visioner yang bisa “membaca” kecenderungan perkembangan pasar, kemajuan teknologi, perubahan pola persaingan, dll.; (2) menerapkan struktur organisasi yang tepat yang merefleksikan dan mempromosikan suatu kultur terbaik yang cocok terhadap bisnis bersangkutan (antara lain kondisi pasar/persiangan dan sifat produk atau proses produksi dari produk bersangkutan); (3) kreatif dalam pendanaan (jadi tidak hanya tergantung pada kontribusi anggota, tetapi juga lewat penjualan saham ke non-anggota atau pinjam dari bank); dan (4) mempunyai orientasi bisnis yang kuat. Sedangkan best practices menurut mereka adalah termasuk: (1) anggota sepenuhnya memahami industri-industri atau sektor-sektor yang mereka guleti dan kekuatan-kekuatan serta kelemahan-kelemahan dari koperasi mereka; (2) struktur organisasi atau pola manajemen yang diterapkan sepenuhnya didukung oleh anggota (sistem manajemen bisa secara kolektif atau dengan suatu struktur hirarki manajemen/dewan pengurus; (3) punya suatu misi yang didefinisikan secara jelas dan fokus; dan (4) punya pendanaan yang cukup.
Sedangkan menurut Pitman (2005) dari hasil penelitiannya terhadap kinerja berbagai macam koperasi di Wisconsin (AS), selain faktor-faktor di atas, koperasi yang berhasil adalah koperasi yang melakukan hal-hal berikut ini: (1) memakai komite-komite, penasehat-penasehat dan ahli-ahli dari luas secara efektif; (2) selalu memberikan informasi yang lengkap dan up to date kepada anggota-anggotanya sehingga mereka tetap terlibat dan suportif; (3) melakukan rapat-rapat atau pertemuan-pertemuan bisnis dengan memakai agenda yang teratur, prosedur-prosedur parlemen, dan pengambil keputusan yang demokrasi; (4) mempertahankan relasi-relasi yang baik antara manajemen dan dewan direktur/pengurus dengan tugas-tugas dan tanggung jawab- tanggung jawab yang didefinisikan secara jelas; (5) mengikuti praktek-praktek akutansi yang baik, dan mempersentasikan laporan-laporan keuangan secara regular; (6) mengembangkan

43
aliansi-aliansi dengan koperasi-koperasi lainnya; dan (7) mengembangkan kebijakan-kebijakan yang jelas terhadap konfidensial dan konflik kepentingan.
Keeling (2005) meneliti mengapa dalam beberapa tahun belakangan ini banyak koperasi-koperasi besar di California termasuk dua yang terkenal Tri-Valley Growers (TVG) dan the Rice Growers Association (RGA) telah tutup, sedangkan banyak lainnya sedang mengalami kesulitan-kesulitan keuangan. Perkembangan-perkembangan tersebut memberi kesan bahwa koperasi-koperasi di California mungkin semakin mengalami kesulitan untuk bersaing dalam iklim bisnis pertanian saat ini dengan persaingan yang semakin ketat dari produk-produk luar negeri termasuk dari China. Akhirnya, hasil studi tersebut mendukung hipotesis awal bahwa, RGA dan TVG tutup terutama akibat kombinasi dari sejumlah faktor berikut: (1) kurangnya pendidikan dan pengawasan dari dewan direktur/pengurus; (2) manajemen yang tidak efektif; dan (3) keanggotaan yang pasif.
Sedangkan bagi Anderson dan Henehan (2003), manajemen dan direktur yang efektif dalam arti cepat mengambil suatu keputusan yang tepat dalam merespons terhadap perkembangan-perkembangan bisnis terkait (misalnya perubahan pasar atau masuknya pesaing-pesaing baru) sangat menentukan keberhasilan suatu koperasi. Mereka harus memastikan bahwa dengan langkah-langkah yang cepat koperasi mereka bisa mendapatkan keberhasilan-keberhasilan yang maksimum. Menurut mereka, koperasi yang bisa berhasil atau paling tidak yang bisa survive dalam era persaingan yang semakin ketat ini, diantara faktor-faktor kunci lainnya, adalah yang dipimpin oleh dewan direktur berkualitas. Dan untuk mendapatkan direktur-direktur berkualitas adalah tugas para anggota untuk memilih mereka. Kemudian, dewan direktur bertanggung jawab dalam menyeleksi manajer yang berkualitas, mengembangkan suatu strategi yang kuat, dan mengimplementasikan suatu struktur keuangan yang baik. Selain itu, para anggota juga harus aktif memonitor kinerja dari koperasi, dewan dan manajemennya.
Di NM koperasi terutama di pertanian saat ini sedang mengalami perubahan akibat persaingan global yang semakin sengit dan perubahan selera konsumen. Di AS, akibat persaingan dari produk-produk pertanian dari luar negeri dan perubahan pola konsumsi, telah terjadi konsolidasi dari produksi pertanian. Pada tahun 1969 terdapat 2.730.250 petani di negara tersebut, dan pada tahun 1997 jumlahnya merosot ke 1.911.859, suatu penurunan 30%. Pada waktu yang sama, rata-rata skala usaha petani meningkat. Saat jumlah petani menurun dan jumlah produksi per petani meningkat, setiap individu pembeli produk-produk pertanian menjadi sangat penting bagi koperasi koperasi lokal pemasok dan pemasaran produk-produk pertanian. Pada waktu bersamaan, koperasi-koperasi pertanian tersebut yang menghadapi pembeli yang lebih sedikit, masing-masing dengan daya beli yang lebih besar, bersaing lebih agresif satu dengan yang lainnya untuk mendapatkan pembeli/keuntungan. Industri-industri yang memasok petani (bibit, pupuk dll.) dan industri-industri pengolahan produk-produk pertanian sedang mengalami suatu periode dari

44
21Lihat misalnya Cummins (1993) dan Warman (1994).
konsolidasi, yang menyisakan lebih sedikit jumlah pemain untuk bersaing mendapatkan bisnis dari sisa produsen yang masih ada. Sebagai tambahan, perusahaan-perusahaan kunci di industri-industri tersebut dalam banyak kasus juga merupakan koperasi pemasok-pemasok dan pembeli-pembeli lokal produk-produk pertanian. Ini artinya pilihan menjadi lebih sedikit bagi koperasi saat harus menetapkan membeli dari dan menjual kepada siapa, yang mengurangi daya tawar dari koperasi lokal tersebut. Saat seperti ini dimana koperasi-koperasi lokal berjuang untuk menghadapi tantangan-tantangan seperti itu, banyak yang merespons dengan melakukan perubahan structural.21
Dari penelitian mereka, Vandeburg, dkk. (2000) menemukan banyak manajer-manajer koperasi lokal melakukan perubahan struktural dengan cara bergabung, akuisisi, bekerja sama, dan melakukan aliansi strategis dengan koperasi-koperasi lainnya atau dengan perusahaan-perusahaan berorientasi investor. Dari penemuan tersebut, mereka menyimpulkan bahwa langkah-langkah seperti itu adalah sangat tetap agar koperasi-koperasi pertanian bisa survive atau tetap kompetitif dalam kondisi seperti yang digambarkan di atas.
Tetapi di atas segalanya, kualitas dari manajer atau dewan direktur sangatlah krusial. Mereka harus bisa membaca perkembangan tren-tren di pasar domestik dan global, baik yang sedang berlangsung saat ini maupun kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di masa depan. Mereka harus bisa merespons secara cepat dan tepat setiap perubahan yang terjadi.(Barr, 2005).
Dari pengamatannya terhadap perkembangan koperasi di AS, McKenna (2001) menjabarkan sejumlah karakteristik dari koperasi yang berhasil. Diantaranya yang paling menonjol adalah: (1) menerapkan strategi yang rasional yang cocok dengan lingkungan bisnisnya yang berlaku untuk bisa tetap beroperasi; (2) mempunyai suatu visi yang lebih luas dari hanya memproduksi bahan baku (produsen perlu memahami apa artinya menanam dalam nilai tambah); (3) keputusan-keputusan didasarkan pada informasi yang kredibel; (4) keuangan baik; (5) pemilik atau dewan direktur bisa memimpin dengan baik (dewan direktur yang lebih banyak diambil dari luar bisa menaikkan kemampuannya untuk membuat keputusan-keputusan strategis) ; (6) memakai/mengerjakan manajer professional (ini juga meningkatkan kinerja koperasi); dan (6) punya keinginan menjadi “yang paling hebat di kelompoknya” vs. “menambah rantai nilai”.
Dari penelitiannya terhadap perkembangan koperasi pertanian dan permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh koperasi di Uni Eropa (UE), Nello (2000) memberikan sejumlah langkah yang harus diambil agar koperasi pertanian bisa berkembang dengan baik, yang antara lain adalah (1) menghilangkan ketidakunggulan dari petani-petani skala kecil yang terfregmentasi dengan cara membantu mereka untuk mengkonsentrasi suplai, menstabilkan harga produsen, dan meningkatkan kekuatan tawar dari petani-petani (anggotanya); (2) menciptakan kesempatan atau kemampuan petani untuk mengeksploit skala ekonomis

45
dan meningkatkan kapasitas mereka untuk bersaing pada suatu pasar yang lebih besar (misalnya pasar ekspor); (3) memperbaiki kualitas dan menaikkan orientasi pasar, dan dengan cara itu menolong petani untuk memenuhi permintaan-permintaan yang meningkat dari konsumen untuk produk-produk makanan yang bervariasi, aman, dan spesifik regional (spesialisasi); (4) membantu petani untuk bisa memperbaiki kualitas dalam proses produksi, pembungkusan, penyimpanan dan lain sebagainya sesuai standar-standar internasional yang berlaku; (5) memperbaiki kinerja manajemen, dewan direktur dan organisasi koperasi untuk meningkatkan kepuasan anggota; dan (6) menjamin sumber pendanaan yang cukup.
Dengan membandingkan koperasi perdesaan di Belanda dengan di Afrika Sub-Sahara, Braverman, dkk. (1991) menyimpulkan bahwa buruknya kinerja koperasi di Afrika Sub-Sahara (atau di banyak negara berkembang (NB) pada umumnya) disebabkan oleh sejumlah faktor yang bisa dibedakan antara faktor-faktor eksternal diluar kontrol koperasi dan faktor-faktor internal. Faktor-faktor internal terutama adalah keterbatasan partisipasi anggota, masalah-masalah struktural dan kontrol, dan kesalahan manajemen. Sedangkan faktor-faktor eksternal terutama adalah intervensi pemerintah yang terlalu besar yang sering didorong oleh donor, kesulitan lingkungan-lingkungan ekonomi dan politik, dan harapan-harapan yang tidak realistic dari peran dari koperasi. Menurut mereka, problem yang paling signifikan adalah cara bagaimana koperasi itu dipromosikan oleh pemerintah. Promosi yang sifatnya dari atas ke bawah telah menghalangi anggota untuk aktif berpartisipasi dalam pembangunan koperasi. Bentuk-bentuk organisasi dan kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan diatur oleh pihak luar. Jadi koperasi telah gagal untuk berkembang menjadi unit-unit yang mandiri dan sepenuhnya berdasarkan anggota. Masih dalam kaitan ini, Linstad (1990) mengatakan bahwa di banyak NB sering kali pemerintah melihat dan menggunakan koperasi sebagai suatu alat untuk menjalankan agenda-agenda pembangunannya sendiri. Koperasi sering diharapkan bahkan di paksa berfungsi sebagai kesejahteraan sosial dan sekaligus sebagai organisasi ekonomi, yang dengan sendirinya memberi beban sangat berat kepada struktur manajemen koperasi yang pada umumnya lemah. Menurut Braverman, dkk. (1991), sedikit sekali perhatian diberikan kepada kondisi-kondisi ekonomi dimana koperasi-koperasi diharapkan melakukan berbagai aktivitas. Promosi koperasi yang tidak diskriminatif, yakni tanpa memberi perhatian pada hal-hal seperti dinamik-dinamik internal, insentif, struktur kontrol, dan pendidikan dari anggota, sering kali telah membuat koperasi-koperasi menjadi organisasi-organisasi birokrasi yang sangat tergantung pada dukungan pemerintah dan politik. Oleh karena itu, Gentil (1990) menegaskan bahwa agar koperasi maju maka hubungan antara pemerintah dan koperasi yang didefinisikan ulang.
Rangkuman dari hasil Konferensi Tahunan Koperasi-Koperasi Petani, Oktober 29-20, 2001 di Las

46
22 Hasil lengkapnya (termasuk makalah-makalah dan/atau power point- power point dari para pembicara) dari konferensi ini dan konferensi pada tahun-tahun sebelumnya atau sesudahnya dapat dilihat di alamat berikut ini: www.wisc.edu/uwcc (University of Wisconsin Center for Cooperatives).
23 Dukungan belanja rumah tangga baik sebagai produsen maupun sebagai konsumen sangat penting untuk menunjang kelayakan bisnis perusahaan koperasi. Pada akhirnya penjumlahan keseluruhan transaksi para anggota harus menghasilkan suatu volume penjualan yang mampu mendapatkan penerimaan koperasi yang layak dimana hal ini ditentukan oleh rata-rata tingkat pendapatan atau skala kegiatan ekonomi anggota.
24 Didaratan Eropa koperasi tumbuh melalui koperasi kredit dan koperasi konsumen yang kuat hingga disegani oleh berbagai kekuatan. Bahkan 2 (dua) bank terbesar di Eropa milik koperasi yakni "Credit Agricole" di Perancis, RABO-Bank di Netherlands Nurinchukin bank di Jepang dan lain-lain. Disamping itu hampir di setiap negara menunjukkan adanya koperasi kredit yang kuat seperti Credit Union di Amerika Utara dan lain-lain. Kredit sebagai kebutuhan universal bagi umat manusia terlepas dari kedudukannya sebagai produsen maupun konsumen dan penerima penghasilan tetap atau bukan adalah "potensial customer-member" dari koperasi kredit (Soetrisno, 2001).
25 Soetrisno (2001) mengamati bahwa baik di NSB maupun di NM ada contoh-contoh koperasi yang berhasil yang mempunyai kesamaan yaitu koperasi peternak sapi perah dan koperasi produsen susu. Misalnya, keberhasilan universal koperasi produsen susu, baik besar maupun kecil, di NM dan NSB nampaknya terletak pada keserasian struktur pasar dengan kehadiran koperasi. Dengan demikian koperasi terbukti merupakan kerjasama pasar yang tangguh untuk menghadapi ketidakadilan pasar. Corak ketergantungan yang tinggi kegiatan produksi yang teratur dan kontinyu menjadikan hubungan antara anggota dan koperasi sangat kukuh.
Vegas, Nevada (AS)22menghasilkan beberapa butir penting yang disampaikan oleh pembicara-pembicara mengenai tantangan yang dihadapi oleh koperasi pada era sekarang ini. Diantaranya dari Larson, yakni sebagai berikut: (1) membangun suatu sistem koperasi yang menyatukan peran lokal dan peran regional; dalam kata lain bagaimana koperasi lokal dan koperasi regional bisa bekerja sama untuk jangka panjang); (2) menciptakan penghasilan yang cukup (atau menaikkan profit); (3) mengembangkan atau menyempurnakan strategi dan keahlian pemasaran (mensegmentasikan pasar hanya permulaan); (4) program-program SDM; dan (5) mengembangkan dan melaksanakan suatu strategi e-commerce. Pesan paling utama dari Larson untuk koperasi-koperasi lokal adalah bahwa kinerja keuangan yang solid sangat penting; koperasi-koperasi harus mempunyai tujuan-tujuan penggerak/peningkatan kinerja.
Selain studi-studi kasus di atas, beberapa pengamat koperasi di Indonesia juga mencoba mengevaluasi keberhasilan koperasi di NM. Misalnya menurut Soetrisno (2001, 2003a,b,c), model-model keberhasilan koperasi di dunia umumnya berangkat dari tiga kutub besar, yaitu konsumen seperti di Inggris, kredit seperti di Perancis dan Belanda dan produsen yang berkembang pesat di daratan Amerika, khususnya AS dan di beberapa negara di Eropa. Dari evaluasinya, Soetrisno melihat ada beberapa syarat agar koperasi bisa maju, yakni: (i) skala usaha koperasi harus layak secara ekonomi;23(ii) koperasi harus memiliki cakupan kegiatan yang menjangkau kebutuhan masyarakat luas, kredit (simpan-pinjam) dapat menjadi platform dasar menumbuhkan koperasi;24(iii) posisi koperasi produsen yang menghadapi dilema bilateral monopoli menjadi akar memperkuat posisi tawar koperasi;25dan pendidikan dan peningkatan teknologi menjadi kunci untuk meningkatkan kekuatan koperasi (pengembangan SDM)..

47
26 Dalam Penjelasan konstitusi tersebut juga dikatakan, bahwa sistem ekonomi Indonesia didasarkan pada asas Demokrasi Ekonomi, di mana produksi dilakukan oleh semua dan untuk semua yang wujudnya dapat ditafsirkan sebagai koperasi. Dalam wacana sistem ekonomi dunia, koperasi disebut juga sebagai the third way, atau "jalan ketiga", istilah yang akhir-akhir ini dipopulerkan oleh sosiolog Inggris, Anthony Giddens, yaitu sebagai "jalan tengah" antara kapitalisme dan sosialisme (Rahardjo, 2002b).
VII. Potret Peranan Koperasi dan non-Koperasi dalam Aktivitas Perekonomian Nasional
VII.1 Koperasi
Dalam sistem perekonomian Indonesia dikenal ada tiga pilar utama yang menyangga perekonomian. Ketiga pilar itu adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Swasta (BUMS), dan Koperasi. Ketiga pilar ekonomi tersebut mempunyai peranan yang masing-masing sangat spesifik sesuai dengan kapasitasnya. Sayangnya, seperti yang diungkapkan oleh Widiyanto (1998), dari ketiga pilar itu, koperasi, walau sering disebut sebagai soko guru perekonomian, secara umum merupakan pilar ekonomi yang "jalannya paling terseok" dibandingkan dengan BUMN dan apalagi BUMS.
Padahal koperasi selama ini sudah didukung oleh pemerintah (bahkan berlebihan) sesuai kedudukan istimewa dari koperasi di dalam sistem perekonomian Indonesia. Sebagai soko guru perekonomian, ide dasar pembentukan koperasi sering dikaitkan dengan pasal 33 UUD 1945, khususnya Ayat 1 yang menyebutkan bahwa "Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan". Dalam Penjelasan UUD 1945 itu dikatakan bahwa bangun usaha yang paling cocok dengan asas kekeluargaan itu adalah koperasi. Tafsiran itu sering disebut sebagai perumus pasal tersebut.26
Kata azas kekeluargaan ini, walau bisa diperdebatkan, sering dikaitkan dengan koperasi sebab azas pelaksanaan usaha koperasi adalah juga kekeluargaan. Untuk lebih menata organisasi koperasi, pada tahun 1967 pemerintah Indonesia (Presiden dan DPR) mengeluarkan UU no. 12 dan pada tahun 1992 UU tersebut direvisi menjadi UU no. 25. Di banding UU no.12, UU no 25 lebih komprehensif tetapi juga lebih berorientasi ke pemahaman "kapitalis". Ini disebabkan UU baru itu sesungguhnya memberi peluang koperasi untuk bertindak sebagai sebuah perusahaan yang memaksimalisasikan keuntungan (Widiyanto, 1998).
Berdasarkan data resmi dari Departemen Koperasi dan UKM, sampai dengan bulan November 2001, jumlah koperasi di seluruh Indonesia tercatat sebanyak 103.000 unit lebih, dengan jumlah keanggotaan ada sebanyak 26.000.000 orang. Jumlah itu jika dibanding dengan jumlah koperasi per-Desember 1998 mengalami peningkatan sebanyak dua kali lipat. Jumlah koperasi aktif, juga mengalami perkembangan yang cukup menggembirakan. Jumlah koperasi aktif per-November 2001, sebanyak 96.180 unit (88,14 persen). Hingga tahun 2004 tercatat 130.730, tetapi yang aktif mencapai 71,50%, sedangkan yang menjalan rapat tahunan anggota (RAT) hanya 35,42% koperasi saja. Tahun 2006 tercatat ada 138.411 unit dengan anggota 27.042.342 orang akan tetapi yang aktif 94.708 unit dan yang tidak aktif sebesar 43.703 unit.

48
27 Menurutnya, salah satu penyebabnya adalah keterbatasan modal yang dialami banyak koperasi untuk mengembangkan usaha mereka.. Hal ini merupakan salah satu imbas kenaikan harga bahan bakar minyak tahun 2004 lalu, sehingga anggota koperasi kekurangan modal untuk tabungan. Penyebab lainnya, pemerintah kurang menjalankan perannya sebagai pembina koperasi, dan kebijakan yang digulirkan tidak mendukung pengembangan koperasi rakyat. Ia memberi contoh, kebijakan pemerintah yang menyebabkan koperasi pasar tradisional semakin tersingkir oleh pasar modern. Menurutnya, perbankan juga kerap tidak berpihak pada koperasi kecil. Koperasi kecil kerap kesulitan mendapat pinjaman modal untuk pengembangan usaha.
28 Namun demikian, menurut Soetrisno (2001), pengorganisasian koperasi tidak lagi taat pada penjenisan koperasi sesuai prinsip dasar pendirian koperasi atau insentif terhadap koperasi. Keadaan ini menimbulkan kesulitan pada pengembangan aliansi bisnis maupun pengembangan usaha koperasi kearah penyatuan vertikal maupun horizontal. Oleh karena itu jenjang pengorganisasian yang lebih tinggi harus mendorong kembalinya pola spesialisasi koperasi..
Sedangkan menurut Ketua Umum Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin), Adi Sasono, yang diberitakan di Kompas, Kamis, per 31 Mei 2007 terdapat 138.000 koperasi di Indonesia, namun 30 persennya belum aktif27(Tabel 5). Corak koperasi Indonesia adalah koperasi dengan skala sangat kecil.
Tabel 5: Perkembangan Usaha Koperasi, 1998-2007
Periode Jumlah unit Jumlah anggota
(juta orang) Koperasi aktif RAT (% dari koperasi aktif
Jumlah %
Des. 1998
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
Mei 2007 52.000
103.077
110.766
117.906
123.181
130.730
132.965
141.738
138.000 ..
27,3
23,7
24,001
27,3
27,5
27,4
28,1
.. ..
..
96180
..
93800
93402
94818
94708
96600 ..
86,3
81,0
78,9
76,20
71,50
71,0
70,1
70,00 ..
40,8
41,9
46,3
47,6
49,6
47,4
46,7
..

Sumber: Menegkop & UKM
Mengenai jumlah koperasi yang meningkat cukup pesat sejak krisis ekonomi 1997/98, menurut Soetrisno (2003a,c), pada dasarnya sebagai tanggapan terhadap dibukanya secara luas pendirian koperasi dengan pencabutan Inpres 4/1984 dan lahirnya Inpres 18/1998. Sehingga orang bebas mendirikan koperasi pada basis pengembangan dan hingga 2001 sudah lebih dari 35 basis pengorganisasian koperasi.28
Salah satu indikator yang umum digunakan untuk mengukur kinerja koperasi adalah perkembangan volume usaha dan sisa hasil usaha (SHU). Data yang ada menunjukkan bahwa kedua indikator tersebut mengalami peningkatan selama periode 2000-2006. Untuk volume usaha, nilainya naik dari hampir 23,1 triliun rupiah tahun 2000 ke hampir 54,8 triliun rupiah tahun 2006; sedangkan SHU dari 695 miliar rupiah tahun 2000 ke 3,1 triliun rupiah tahun 2006 (Tabel 6).
Tabel 6: Perkembangan Usaha Koperasi, 2000-2006
Periode Rasio modal sendiri dan modal luar Volume usaha
(Rp miliar) SHU (Rp miliar) SHU terhadap volume usaha (%)
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006 0,55
0,72
0,58
0,63
0,71
0,71
0,77 23.122
38.730
26.583
31.684
37.649
34.851
54.761 695
3.134
1.090
1.872
2.164
2.279
3.131 3,00
8,09
4,1
5,91
5,75
6,54
5,72

Sumber: Menegkop & UKM

49
29 Pertanyaan ini sama dengan pertanyaan, kenapa, menurut data BPS, jumlah usaha kecil dan menengah (UKM) setiap tahun meningkat? Apakah peningkatan tersebut mencerminkan perkembangan kewirausahaan (demand-pull) atau suatu refleksi dari tingginya jumlah pengangguran atau tingkat kemiskinan (supply-push).
Memasuki tahun 2000 koperasi Indonesia didominasi oleh koperasi kredit yang menguasai antara 55%-60% dari keseluruhan aset koperasi. Sementara itu dilihat dari populasi koperasi yang terkait dengan program pemerintah hanya sekitar 25% dari populasi koperasi atau sekitar 35% dari populasi koperasi aktif. Hingga akhir 2002, posisi koperasi dalam pasar perkreditan mikro menempati tempat kedua setelah Bank Rakyat Indonesia (BRI)-unit desa sebesar 46% dari KSP/USP dengan pangsa sekitar 31%. Dengan demikian walaupun program pemerintah cukup gencar dan menimbulkan distorsi pada pertumbuhan kemandirian koperasi, tetapi hanya menyentuh sebagian dari populasi koperasi yang ada. Sehingga pada dasarnya masih besar elemen untuk tumbuhnya kemandirian koperasi (Soetrisno, 2003c).
Berdasarkan data propinsi 2006, jumlah koperasi dan jumlah koperasi aktif sebagai persentase dari jumlah koperasi bervariasi antar propinsi. Pertanyaan sekarang adalah kenapa jumlah koperasi atau proporsi koperasi aktif berbeda menurut propinsi? Apakah mungkin ada hubungan erat dengan kondisi ekonomi yang jika diukur dengan pendapatan atau produk domestic regional bruto (PDRB) per kapita memang berbeda antar propinsi? Secara teori, hubungan antara koperasi aktif dan kondisi ekonomi atau pendapatan per kapita bisa positif atau negatif. Dari sisi permintaan (pasar output), pendapatan per kapita yang tinggi yang membuat prospek pasar output baik, atau pasar output dalam kondisi booming, memberi suatu insentif bagi perkembangan aktivitas koperasi karena pelaku-pelaku koperasi melihat besarnya peluang pasar (ceteris paribus). Fenomena yang bisa disebut efek demand-pull. Dari sisi penawaran (pasar input; dalam hal ini petani atau produsen), pendapatan per kapita yang tinggi yang menciptakan peluang pasar atau peningkatan penghasilan bagi individu petani atau produsen bisa menjadi suatu faktor disinsentif bagi kebutuhan para petani atau produsen untuk membentuk koperasi. Fenomena yang dapat disebut supply-push.29
Jika diperhatikan Gambar 1, sebagian besar dari jumlah propinsi di Indonesia memiliki jumlah koperasi aktif di atas 50% dan propinsi-propinsi tersebut berada di dalam kelompok pendapatan rendah. Hanya ada tiga titik yang memberi kesan adanya suatu korelasi positif antara jumlah koperasi aktif dan tingkat pendapatan. Dalam kata lain, gambar tersebut memberi kesan bahwa efek supply-push lebih besar daripada efek demand-pull.
Fenomena supply-push mau mengatakan bahwa sekelompok petani atau produsen terpaksa membentuk koperasi karena kondisi pasar yang tidak menguntungkan mereka jika beroperasi secara individu. Misalnya adanya monopoli alamih di pasar oleh sebuah perusahaan besar yang mempunyai keunggulan harga sehingga dengan berkoperasi para petani/produsen lebih mempu meningkatkan efisiensi harganya sehingga bisa bersaing dengan perusahaan tersebut (bargaining power lebih kuat). Pada tingkat lebih agregat atau

50
30 Walaupun korelasi ini seharusnya diuji dengan pendekatan regresi dengan memakai data deret waktu. Sayangnya, data deret waktu untuk jangka periode minimum tertentu mengenai perkembangan koperasi di Indonesia tidak tersedia. Data yang bisa dikumpulkan oleh penulis hanya untuk periode 2004, 2005 dan 2006.
makro, fenomena ini bisa diukur oleh tingkat pendapatan per kapita atau tingkat kemiskinan atau tingkat pengangguran. Hipotesisnya adalah bahwa semakin rendah tingkat pendapatan per kapita atau semakin tinggi tingkat kemiskinan atau tingkat pengangguran semakin banyak jumlah koperasi (atau koperasi aktif), terutama koperasi kredit.30
Gambar 1: Scatter Plot PDRB per kapita dan Persentase Koperasi Aktif, 2006 (data propinsi)
020000040000060000080000010000001200000140000001020304050607080901Kop.aktif (% dari Jml. Kop) PDRB per kapita
Sumber: Menegkop & UKM
Dengan data yang sama (propinsi), Gambar 2 memberi kesan adanya koreasi yang kuat antara jumlah koperasi aktif dan tingkat pengangguran. Menurut data tersebut, tingkat pengangguran tertinggi adalah di Jawa Barat (22,86%) dan jumlah koperasi dan koperasi aktif juga paling banyak di propinsi tersebut (masing-masing 14211 dan 20562 unit). Sedangkan tingkat pengangguran terendah adalah di Bangka Belitung (0,25%) dan jumlah koperasi aktif terkecil (473 unit) setelah Gorontalo (416 unit) dan Irian (393 unit).
Indikator yang umum digunakan untuk mengukur kinerja koperasi adalah sisa hasil usaha (SHU). Seperti halnya profit perusahaan, SHU sangat dipengaruhi oleh sisi permintaan (harga dan volume penjualan efektif) dan penawaran (biaya produksi). Jadi, SHU mencerminkan tingkat efisiensi yang berbanding lurus dengan tingkat produktivitas di koperasi. Dengan asumsi bahwa faktor-faktor lain konstan, maka terdapat tiga relasi antara SHU dan ketiga variabel tersebut: (i) SHU – harga penjualan (positif); (ii) SHU – volume penjualan (positif); dan (iii) SHU – biaya produksi (negatif).

51
Gambar 2: Scatter Plot Persentase Pengangguran dan Jumlah Koperasi Aktif, 2006 (data propinsi)
05101520250200040006000800010000120001400016000Jumlah koperasi aktifPersentase pengangguran
Sumber: Menegkop & UKM
Dengan data yang ada, di dalam studi ini hanya bisa dilihat relasi antara SHU dan volume kegiatan.dalam persentase perubahan untuk periode 2004-2005 yang menunjukkan bahwa korelasinya memang cenderung positif (Gambar 3). Semakin rendah tingkat efisiensi atau tingkat produktivitas, ceteris paribus, semakin rendah volume produksi/kegiatan, semakin rendah SHU. Yang menarik dari data ini adalah bahwa Bangka Belitung merupakan propinsi terbesar dalam persentase peningkatan SHU (694, 17%) dan volume kegiatan (293,32%), dan Sulawesi Tenggara paling buruk dalam penurunan SHU terbesar (-58,57%) walaupun bukan propinsi terbesar dalam penurunan volume kegiatan (-4,93%).
Gambar 3: Scatter Plot Perubahan Volume Usaha-Perubahan SHU (%), 2004-2005 (data propinsi)
-100-50050100150200250300350-1000100200300400500600700800Perubahan SHUPerubahan volume usaha
Sumber: Menegkop & UKM

52
Dari kasus-kasus perkembangan koperasi di NM (seperti yang telah dibahas sebelumnya), salah satu kiat sukses koperasi adalah kondisi keuangan yang solid, dan salah satu sumbernya adalah modal investasi dari luar. Berdasarkan pemikiran ini, hipotesisnya adalah bahwa semakin besar porsi dari modal luar di dalam total modal usaha koperasi semakin besar volume kegiatan koperasi dan semakin besar SHU-nya, ceteris paribus. Di dalam studi ini, yang dilihat hanya modal luar dari koperasi aktif, dengan dasar pemikiran bahwa hanya koperasi aktif yang memerlukan banyak dana, termasuk modal luar. Namun demikian, data yang ada memberi kesan bahwa relasi tersebut cenderung tidak kuat. Hal ini mengidentifikasi bahwa masih banyak faktor lain yang mungkin lebih dominan daripada peran modal luar dalam mempengaruhi volume kegiatan koperasi (Gambar 4) dan SHU (Gambar 5).
Gambar 4: Scatter Plot Perubahan Volume Usaha-Perubahan Modal Luar Kop. Aktif (%),
2004-2005 (data propinsi)
-100-50050100150-100-50050100150200250300350Perubahan Volume UsahaPerubahan modal luar kop. aktif
Sumber: Menegkop & UKM
Di dalam teori, seperti juga kasus-kasus perkembangan koperasi di NM, juga dikatakan bahwa manajemen dan organisasi yang baik juga merupakan faktor krusial dalam menentukan keberhasilan suatu koperasi. Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk mengukur “kecanggihan” sistem manajemen dan organisasi yang diterapkan oleh koperasi adalah jumlah manajer dan karyawan. Semakin canggih sistem manajemen semakin banyak jumlah manajer (misalnya manajer keuangan dan manajer operasional) dan semakin besar organisasi semakin banyak jumlah karyawan. Dalam hubungannya dengan SHU, hipotesisnya adalah bahwa semakin bagus manajemen atau organisasi koperasi semakin besar SHU-nya.
Namun hasil mem-plot data mengenai perubahan jumlah manajer dan karyawan dan data mengenai perubahan SHU memberi kesan bahwa hubungan yang ada tidak sesuai perkiraan teorinya (Gambar 6). Ini menandakan bahwa masih banyak faktor determinan lainnya bagi SHU.

53
Gambar 5: Scatter Plot Perubahan Modal Luar Kop. Aktif – Perubahan SHU (%), 2004-2005 (data propinsi)
-100-50050100150-1000100200300400500600700800Perubahan SHUPerubahan Modal Luar Kop Aktif
Sumber: Menegkop & UKM
Gambar 6: Scatter Plot: Perubahan Jumlah Manajer & Karyawan – Perubahan SHU (%),
2004-2005 (data propinsi)
-1000100200300400500600700800-80-60-40-20020406080Perubahan manajer & karyawanPerubahan SHU
Sumber: Menegkop & UKM
Teori koperasi juga mengatakan bahwa sebuah koperasi yang baik kinerjanya akan menarik minat masyarakat atau produsen/petani menjadi anggotanya. Dalam kata lain, ada suatu korelasi positif antara jumlah koperasi yang maju atau koperasi aktif dan jumlah anggota. Sebaliknya, semakin banyak jumlah anggota dari suatu koperasi, dengan asumsi bahwa anggota juga aktif dan faktor-faktor lain konstan, semakin baik kinerja koperasi tersebut, yang dalam hal ini bisa diukur dengan jumlah SHU-nya. Maka dalam tingkat propinsi, semakin banyak anggota koperasi di suatu propinsi semakin besar SHU koperasi di propinsi tersebut. Namun demikian, data yang ada tidak membuktikan adanya hubungan tersebut (Gambar 7).

54
Gambar 7: Scatter Plot Perubahan Jumlah Anggota – Perubahan SHU (%), 2004-2005 (data propinsi)
-1000100200300400500600700800-30-20-10010203040Perubahan jumlah anggotaPerubahan SHU
Sumber: Menegkop & UKM
Paling tidak ada dua alasan utama yang bisa menjelaskan kenapa hubungan-hubungan antar variabel seperti yang ditunjukkan oleh beberapa gambar di atas tidak sesuai dugaan teori. Pertama, untuk menguji hubungan-hubungan tersebut secara empiris (atau untuk menjawab apakah suatu variabel mempengaruhi variabel-variabel lain) harus dengan pendekatan multi-regresi yang menggunakan data deret waktu, yang sayangnya tidak ada. Kedua, dipercaya bahwa jumlah atau perubahan dari variabel-variabel seperti SHU, volume kegiatan, atau koperasi aktif dipengaruhi secara bersamaan oleh sejumlah faktor dalam suatu kombinasi tertentu yang kompleks, yang mana faktor-faktor penjelas tersebut bisa saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Konsukwensinya, hubungan antara, misalnya, SHU, dengan variabel-variabel penjelas tersebut secara individu tidak menunjukkan adanya suatu hubungan yang jelas atau teratur atau denganpla sesuai dugaan teorinya.
Salah satu koperasi yang sangat aktif dan menunjukkan suatu kinerja yang baik adalah Koperasi Peternak Susu Bandung Utara (KPSBU). Dapat dikatakan bahwa KPSBU merupakan salah satu contoh koperasi di Indonesia yang betul-betul berusaha mempersiapkan diri dalam menghadapi globalisasi ekonomi dan liberalisasi perdagangan dunia yang berarti meningkatnya ancaman persaingan dari susu impor baik langsung ke konsumen maupun sebagai bahan baku bagi industri pengolahan susu di dalam negeri. Penjelasan lebih luas mengenai perkembangan dari KPSBU dapat dilihat di box dibawah.

55

Tahun Produksi susu
(kg/hari) Jumlah Anggota (orang) Jumlah sapi perah (ekor)
1980
1990
2001
2006 2.840
41.891
86.366
103.384 319
2.253
4.595
6.092 800
7.026
12.085
15.947

Box: Koperasi Peternak Susu Bandung Utara (KPSBU)
Pada tanggal 8 Agustus 1971, sebanyak 35 peternak sapi (petani susu) di Lembang sepakat membentuk suatu koperasi yang akhirnya dikenal dengan KPSBU. Sejak awal dekade 1980-an hingga 2006 koperasi tersebut sudah menunjukkan suatu kemajuan yang sangat berarti (lihat tabel). Pada tahun 2001, KPSBU menjalin kemitraan dengan dua pihak, yakni dengan PT. Frisian Flag Indonesia dibawah kerjasama pemerintah Indonesia dan Belanda (Proyek HVA International), dan dengan Asosiasi Koperasi Kanada dalam Program INCODAP Extension. PT Frisian Flag Indonesia merupakan satu-satunya industri pengolahan susu yang dipasok oleh KPSBU hingga saat ini.
Produksi, Jumlah anggota dan Populasi Sapi Perah dari KPSBU, 1980-2006
Pada tahun yang sama KPSBU juga melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan kinerjanya. Pertama, memperkenalkan slogan “Murni Koperasinya, Murni Sususnya”. Kedua, menerapkan sistem satu anggota satu suara pada pemilihan pengurus dan pengawas demi mendukung transparansi dan demokrasi didalam organisasinya. Ketiga, melakukan amandemen anggaran dasar dna anggaran rumah tangga koperasi. Kelima, membuat MOU penggunaan lahan perhutani untuk penanaman hijauan makanan ternak. Selanjutnya, pada tahun 2002, memulai penerapan harga susu berdasarkan kualitas kepada anggota untuk menjamin pasokan susu segar yang berkualitas ke PT. Frisian Flag Indonesia. Per September 2006, harga susu tertinggi pada tingkat peternak adalah Rp. 2.167. Agar kebijakan harga ini efektif, maka pada tahun yang sama juga diterapkan pemberian bonus bagi anggota-anggota yang memenuhi kualitas dan batas waktu penyerahan produk dan pengenaan denda bagi mereka yang tidak bisa memenuhi kesepakatan tersebut.
Pada tahun 2004, KPSBU mengambil lagi beberapa langkah penting yang boleh dikatakan cukup inovatif. Pertama, mulai mewajibkan pendidikan dasar koperasi bagi anggota-anggotanya. Kedua, penyusunan dan penerapan standar operasional prosedur manejemen. Ketiga, penilaian prestasi kerja untuk karyawan. Pada Tahun 2005, KPSBU kembali mengambil langkah-langkah positif untuk meningkatkan kinerja. Langkah-langkah terpenting adalah perubahan struktur organisasi dan menerapkan dua macam insentif, yakni insentif manajerial melalui proses dan insentif manajerial melalui hasil. KPSBU juga selama ini melakukan berbagai upaya serius untuk meningkatkan kualitas dan berarti daya saing produk susunya. Pada tahun 2006, sekitar 80% susu yang dihasilkannya hanya mengandung kurang dari 250.000 bakteri per millimeter.
Dalam hal manejemen, untuk mendukung pelayanan yang efektif dan efisien, KPSBU dipimpin oleh 2 manajer, yakni manajer operasional dan manajemer keuangan. Saat ini ada 258 karyawan yang melayani anggota agar dapat menghasilkan susu segar yang bermutu tinggi yang diterima oleh industri pengolahan susu.
Selain memasok susu segar ke PT. Frisian Flag Indonesia, KPSBU juga membuat produk yoghurt dan susu segar dengan nama Fresh Time sebagai brand sendiri yang dijual langsung ke konsumen. Kira-kira 7.500 kg susu diolah per hari untuk pasar konsumen.
Jasa-jasa lainnya yang diberikan oleh KPSBU adalah antara lain: (1) memberikan pinjaman tanpa bunga ke anggota; (2) lewat waserda, menyediakan barang kebutuhan rumah tangga dan kandang dan layan antar ke rumah peternak; (3) menyelenggarakan program kesehatan anggota, bekerjasama dengan penyedia pelayanan kesehatan swasta; (4) memberikan pelayanan kesehatan hewan dan inseminasi buatan untuk ternak sapi perah; dan (5) menyediakan makanan ternak dengan kualitas baik untuk seluruh populasi sapi perah di Lembang.
Karena upaya-upaya serius yang dilakukan oleh KPSBU selama ini, maka pada tahun 2006 koperasi tersebut mendapatkan Indonesia Cooperatives Award dari Kementerian Negara Koperasi dan UKM dan dari Majalah SWA.
Satu kendala serius yang masih ada yang dihadapi KPSBU hingga saat ini adalah ketergantungannya pada PT. Frisian Flag Indonesia sebagai satu-satunya pabrik susu untuk pasokannya. Karena PT Frisian Flag Indonesia lebih banyak menggunakan bahan baku impor daripada produk dari KPSBU, maka bargaining power dari koperasi ini terhadap perusahaan tersebut sangat lemah. Sebelum KPSBU mendapatkan pabrik-pabrik lain, dapat dikatakan bahwa masa depannya sangat tergantung pada kelangsungan dari kemitraan antara keduanya.
Sumber: hasil wawancara dan beberapa laporan tertulis.

56
VII.2 Perusahaan-perusahaan non-koperasi
Untuk melihat kinerja koperasi secara obyektif dan komprehensif, perlu dilihat juga perkembangan dari pelaku-pelaku usaha lainnya atau perusahaan-perusahaan non-koperasi sebagai suatu perbandingan. Menurut kepemilikan, perusahaan-perusahaan non-koperasi di Indonesia terdiri dari perusahaan-perusahaan swasta dan BUMN. Selanjutnya, perusahaan-perusahaan non-koperasi bisa dikelompokkan menurut skala usaha, yakni usaha kecil (UK), usaha menengah (UM), dan usaha besar (UB); yang terakhir ini termasuk BUMN dan PMA atau perusahaan-perusahaan asing.
Dilihat dari jumlah unit usaha, data BPS menunjukkan bahwa ekonomi Indonesia didominasi oleh UK yang jumlahnya jika digabungkan dengan UM (sebut UKM) mencapai lebih dari 90% dari jumlah perusahaan yang ada. Oleh karena mereka merupakan pencipta kesempatan kerja terbesar di Indonesia. Seperti yang dapat dilihat di Tabel 7, pada tahun 1997, UK mencapai lebih dari 39,7 juta perusahaan, atau sekitar 99,8 persen dari jumlah unit usaha pada tahun itu, dan bertambah menjadi lebih dari 48 juta unit tahun 2006. Dilihat dari strukturnya menurut sektor, sebagian besar dari jumlah UKM terdapat di sektor pertanian yang mencapai hampir 100 persen, dan sektor terbesar kedua dan ketiga untuk perusahaan-perusahaan dari kategori ini adalah masing-masing perdagangan, hotel dan restoran, dan industri manufaktur (Tabel 8, Tabel 9).
Tabel 7: Jumlah Unit Usaha menurut Skala Uaha, 1997-2006 (000 unit)
Skala usaha 1997 1998 1999 2000 2001 2003 2004 2005 2006
UK 39.704,7 36.761,7 37.804,5 39.705,2 39.883,1 43.372,9 44.684,4 47.006,9 48.822,9
UM 60,5 51,9 51,8 78,8 80,97 87,4 93,04 95,9 106,7
UB 2,1 1,8 1,8 5,7 5,9 6,5 6,7 6,8 7,2
Total 39.767,3 36.815,4 37.858,1 3.789,7 39.969,995 43.466,8 44.784,14 47.109,6 48.936,8

Sumber: BPS
Tabel 8: Struktur Unit Usaha menurut Skala dan Sektor, 2000, 2005 dan 2006 (%)
Sektor 2000 2005 2006
UK UM UB Total UK UM UB Total UK UM UB Total
1.Pertanian
2.Pertambangan
3.Manufaktur
4. Listrik, gas & air bersih
5.Bangunan
6.Perdagangan, hotel & restoran
7.Transpor & komunikasi.
8.Keuangan, Sewa & Jasa
9.Jasa-jasa
Total 99,99
99,61
99,48
93,19
97,57
99,54
99,87
83,42
99,60
99,79 0,01
0,35
0,45
5,59
2,24
0,45
0,12
14,63
0,38
0,20 0,00
0,04
0,07
1,22
0,19
0,01
0,01
1,95
0,02
0,01 100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0 99,99
99,67
99,42
92,47
97,43
99,57
99,82
83,65
99,66
99,78 0,01
0,28
0,49
6,18
2,40
0,42
0,16
14,67
0,32
0,20 0,00.
0,05
0,09
1,35
0,17
0,01
0,02
1,68
0,02
0,02 100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0 99,99
99,72
99,40
92,50
97,55
99,55
99,81
85,11
99,67
99,77 0,01
0,23
0,52
6,14
2,26
0,43
0,18
13,37
0,31
0,22 0,00
0,05
0,08
1,36
0,19
0,02
0,01
1,52
0,02
0,01 100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0

Sumber: BPS
Struktur output menurut skala usaha dan sektor menunjukkan bahwa pertanian selalu merupakan sektor kunci bagi UK, yang memproduksi sekitar 86 hingga 87 persen dari total output di sektor tersebut. Sektor terpenting kedua dari kelompok usaha ini adalah perdagangan, hotel dan restoran dengan pangsa rata-rata per

57 58
tahun antara 74 hingga 76 persen. Sedangkan, UM memiliki pangsa output terbesar di sektor keuangan, sewa dan jasa sekitar 46 hingga 47 persen, disusul oleh transportasi dan komunikasi dengan pangsa paling rendah 23,47 persen tahun 2006 dan tertinggi 26,22 persen tahun 2001. Di industri manufaktur, UK dan UM secara tradisional memang tidak kuat seperti UB (Tabel 10).
Tabel 9: Distribusi Unit dari UKM menurut Sektor, 2000, 2005 dan 2006 (%)
Sector 2000 2005 2006
UK UM UB Total UK UM UB Total UK UM UB Total
1.Pertanian
2.Pertambangan
3.Manufaktur
4. Listrik, gas & air bersih
5.Bangunan
6.Perdagangan, hotel & restoran
7.Transpor & komunikasi.
8.Keuangan, Sewa & Jasa
9.Jasa-jasa
Total 59,23
0,38
6,57
0,03
0,31
24,37
4,70
0,13
4,28
100,0 2,22
0,67
14,91
1,02
3,63
55,36
2,89
11,14
8,17
100,0 1,20
1,18
33,57
3,08
4,42
24,95
3,88
20,60
7,12
100,0 59,11
0,38
6,59
0,04
0,32
24,43
4,70
0,15
4,29
100,0 55,86
0,50
5,95
0,03
0,34
25,89
5,54
0,13
5,76
100,0 1,74
0,69
14,30
0,97
4,08
53,38
4,48
11,22
9,13
100,0 0,85
1,60
36,98
2,98
4,30
21,83
4,67
18,06
8,72
100,0 55,75
0,50
5,97
0,03
0,35
25,95
5,53
0,16
5,77
100,0 53,68
0,54
6,56
0,03
0,33
27,13
5,52
0,15
6,06
100,0 1,57
0,58
15,82
0,90
3,52
54,03
4,46
10,51
8,60
100,0 0,74
1,67
35,47
2,96
4,41
24,11
4,47
17,68
8,50
100,0 53,56
0,54
6,58
0,03
0,34
27,19
5,52
0,17
6,06
100,0

Sumber: BPS
Dalam hal pertumbuhan output, kinerja dari UKM relatif baik jika dibandingkan dengan UB. Pertumbuhan output dari UK dan UM masing-masing mencapai 3,96 persen dan 4,59 persen tahun 2001 dan meningkat ke 5,38 persen dan 5,44 persen, masing-masing tahun 2006. Di sisi lain, UB mengalami suatu pertumbuhan sebesar 3,04 persen dan meningkat ke 5,60 persen selama periode yang sama (Gambar 8). Kontribusi UKM terhadap pertumbuhan PDB rata-rata per tahun juga lebih tinggi dibandingkan UB. Tahun 2003, pertumbuhan PDB tercatat 4,78 persen, dengan 2,66 persen berasal dari UKM dibandingkan 2,12 persen dari UB. Tahun 2005, pangsa UKM dalam pertumbuhan PDB mencapai tingkat tertinggi yakni 3,18 persen sebelum menurun sedikit ke 3,06 persen tahun 2006 (Gambar 9).
BUMN adalah bagian dari kelompok perusahaan-perusahaan non-koperasi, atau bagian dari LEs. Sayangnya data mengenai peran BUMN di dalam ekonomi sangat terbatas. Data yang ada hanya menunjukkan kinerja BUMN untuk periode 2004-2006 untuk beberapa aspek saja seperti jumlah perusahaan, jumlah tenaga kerja, total laba dan lainnya. Seperti yang bisa dilihat di Tabel 11, jumlah BUMN tahun 2006 (prognosa) tinggal 139 dari 158 tahun 2004, dengan jumlah tenaga kerja 748.302 orang (2006) dan laba mencapai 52.965 miliar rupiah.
Dari hasil analisis Kementerian BUMN ditemukan bahwa hanya sebagian kecil dari jumlah BUMN yang ada yang menghasilkan laba yang besar. Seperti yang dapat dilihat di Tabel 12, PT. Pertamina berada di urutan teratas di dalam 10 BUMN dengan laba terbesar tahun 2006. Jumlah laba dari kesepuluh BUMN tersebut mencapai Rp 47,58 triliun atau menyumbang sekitar 87,80 persen dari total keuntungan BUMN yang mencapai Rp54,189 triliun. Sementara itu, BUMN dengan rugi yang besar selama periode yang sama termasuk PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), PT Garuda Indonesia, PT Merpati Nusantara Airlines, PT Kertas Leces, dan PT Krakatau Steel.
59
Tabel 10: Struktur PDB menurut skala usaha dan sektor, 2000-2006 (%)
Sek* 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
UK UM UB UK UM UB UK UM UB UK UM UB UK UM UB UK UM UB UK UM UB Σ
1
2
3
4
5
6
7
8
9
PDB 86,5
5,6
13,3
0,6
44,6
74,8
34,8
18,0
36,8
38,9 9,0
2,7
12,6
8,9
21,8
21,5
25,3
47,2
7,6
15,8 4,5
91,8
74,2
90,5
33,7
3,8
39,9
34,8
55,5
45,3 87,1
6,2
15,6
0,6
44,8
74,4
35,2
18,1
36,7
39,0 8,7
2,8
12,4
8,1
21,8
21,8
26,2
46,7
7,6
15,8 4,2
90,9
73,9
91,4
33,4
3,9
38,6
35,3
55,8
45,2 87,6
8,3
13,7
0,6
44,3
75,8
32,8
17,9
39,4
40,8 8,4
3,2
12,6
9,1
21,8
20,5
24,9
47,3
7,9
16,2 4,1
88,4
73,7
90,3
33,9
3,7
42,3
34,8
52,7
43,1 87,5
9,2
13,9
0,6
44,6
75,2
32,0
17,2
38,9
40,5 8,5
3,5
12,6
8,4
21,8
21,0
24,9
46,7
7.,8
16,3 4,0
87,3
73,6
91,1
33,6
3,8
43,1
36,1
53,3
43,2 87,4
8,5
13,3
0,5
44,0
74,9
29,1
17,2
38,9
39,2 8,6
3,3
12,2
7,4
21,7
21,2
24,4
47,0
7,8
16,2 4,1
88,3
74,5
92,0
34,3
3,9
46,5
35,8
53,3
44,6 87,3
7,0
12,7
0,5
44,3
75,7
28,8
17,0
40,8
37,8 8,6
3,0
11,6
7.6
21,8
20,7
24,0
47,0
8,2
15,7 4,1
90,0
75,8
91,9
33,9
3,7
47,2
36,1
51,1
46,5 86,8
8,2
12,5
0,5
44,2
76,1
29,8
16,7
40,2
37,7 8,9
3,2
11,3
7,6
21,8
20,3
23,5
46,9
8,0
15,6 4,3
88,6
76,3
91,9
34,0
3,6
46,7
36,4
51,8
46,7 100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0

Catatan: * = nomor mewakili sektor, lihat Tabel 9.
Sumber: BPS
Gambar 8: Laju Pertumbuhan Output dari UK, UM, dan UB, 2001-2006 (%)
012345678200120022003200420052006UKUMUBTotal
Sumber: BPS
Gambar 9: Kontribusi terhadap pertumbuhan PDB menurut skala usaha, 2003-2006 (%)
2,151,881,972,240,910,780,830,942,422,122,222,501234562003200420052006UBUMUK
Sumber: BPS

Tabel 11: Kinerja BUMN 2004-2006
Uraian 2002 2003 2004 2005 2006
Jumlah BUMN
Total asset (Rp M)
Total Ekuitas (Rp M)
Total laba (Rp M)
Tenaga kerja (orang)
ROA rata-rata
ROE rata-rata 158
-*
-
-
-
-
- 157
-
-
-
-
-
- 158
1.196.654
406.004
44.155
733.200
5,22
22,95 139
1.308.893
423.496
42.349
705.946
4,19
15,67 139
1.395.150
433.451
54.189
748.302
4,54
15,75

Keterangan: * tidak ada data
Sumber: untuk 2004-2006 dari Tabel 1.1. di Sugiharto (2006), dan untuk 2002-2003 dari Kementerian BUMN/BPS
Tabel 12: 10 BUMN dengan Laba Terbesar Tahun 2006 (Rp triliun)
No BUMN Laba bersih
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 PT Pertamina
PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk
PT Bank Rakyat Indonesia, Tbk
PT Perusahaan Gas Negara, Tbk
PT Bank BNI, Tbk
PT Bank Mandiri, Tbk
PT Semen Gresik, Tbk
PT Aneka Tambang, Tbk
PT Jamsostek
PT Pelabuhan Indonesia II
Total laba 10 BUMN
Total laba dari semua BUMN yang menghasilkan laba
Persentase laba dari 10 BUMN terhadap Total laba BUMN 23,726
10,245
4,405
1,959
1,910
1,529
1,309
0,971
0,775
0,751
47,580
54,189
87,80%

Sumber: dari Tabel 1.2. di Sugiharto (2006)
Menurut data yang ada dari Departemen Keuangan dan Kementerian BUMN, pencapaian pajak BUMN meningkat dari sedikit dibawah Rp40 triliun tahun 2004 ke sedikit di atas nilai tersebut tahun 2006. Dalam proporsinya terhadap total pajak yang diterima pemerintah, rasionya meningkat terus setiap dari 23,5% tahun 2002 ke 45,3% tahun 2006 (hanya tahun 2003 rasionya sempat berkurang ke 25,1%). Sedangkan, pencapaian dividen BUMN untuk periode yang sama mengalami suatu peningkatan yang cukup besar dari sedikit dibawah Rp10 trilliun (2004) menjadi di atas Rp 20 triliun (2006).
Sementara itu, menurut data dari BEJ, selama periode yang sama jumlah BUMN yang terdaftar di pasar bursa (BUMN terbuka) menurun sedikit dari 13 ke 12 perusahaan (termasuk PT Indosat, Tbk yang kepemilikan pemerintah hanya 15%); namun nilai kapitalisasi pasar dari mereka mengalami suatu penambahan, yakni dari Rp 239,16 triliun atau 36,8% (2004) menjadi Rp 452,69 triliun atau 36,82% terhadap total kapitalisasi pasar (2006). Pada tahun 1999 porsi dari BUMN terbuka dari total kapitalissi pasar baru 25% dan tahun 2000 sempat turun drastis ke 19%. Nilai perdagangan sahamnya juga bertambah dari Rp 62,44 triliun atau 29,2% (2004) ke Rp 151,67 triliun atau 34,5% dari total saham yang diperdagangkan (2006). Dua indikator lainnya yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja suatu perusahaan di pasar modal adalah volume dan frekuansi perdagangan saham. Untuk indikator pertama

60
tersebut, terjadi penambahan dari 29,34 miliar saham atau 8,01% tahun 2004 menjadi 40,46 miliar saham atau 9,4% dari total volume perdagangan pada tahun 2006, sedangkan untuk indikator kedua itu, juga terjadi penambahan dari 604.390 kali atau 18,1% (2004) ke 1.262.222 kali atau 26.7% (2006).
VIII Apakah Koperasi Indonesia punya Prospek dari Sisi Ekonomi?
VIII.1 Pengalaman Sebelumnya
Bagaimana prospek koperasi Indonesia ke depan? Untuk menjawabnya, dua hal yang harus dilihat terlebih dahulu, yakni sejarah keberadaan koperasi dan fungsi yang dijalankan oleh koperasi yang ada di Indonesia selama ini. Dalam hal pertama itu, pertanyaannya adalah apakah lahirnya koperasi di Indonesia didorong oleh motivasi seperti yang terjadi di NM (khususnya di Eropa), yakni sebagai salah satu cara untuk menghadapi mekanisme pasar yang tidak bekerja sempurna. Dalam hal kedua tersebut, pertanyaannya adalah: apakah koperasi berfungsi seperti halnya di NM atau lebih sebagai “instrumen” pemerintah untuk tujuan-tujuan lain.
Menurut Rahardjo (2002b), gagasan tentang koperasi telah dikenal di Indonesia sejak akhir abad 19, dengan dibentuknya organisasi swadaya (self-help organization) untuk menanggulangi kemiskinan di kalangan pegawai dan petani, oleh Patih Purwokerto dan Tirto Adisuryo, yang kemudian dibantu pengembangannya oleh pejabat Belanda dan akhirnya menjadi program resmi pemerintah. Jadi, dapat dikatakan bahwa pengembangan koperasi selanjutnya yang meluas keseluruh pelosok tanah air lebih karena dorongan atau kebijakan pengembangan koperasi dari pemerintah, bukan sepenuhnya inisiatif swasta seperti di NM; walaupun di banyak daerah di Indonesia koperasi lahir oleh inisiatif sekelompok masyarakat.
Gerakan koperasi sendiri mendeklarasikan sebagai suatu gerakan sudah dimulai sejak tanggal 12 Juli 1947 melalui Kongres Koperasi di Tasikmalaya. Pengalaman di tanah air kita lebih unik karena koperasi yang pernah lahir dan telah tumbuh secara alami di jaman penjajahan, kemudian setelah kemerdekaan diperbaharui dan diberikan kedudukan yang sangat tinggi dalam penjelasan undang-undang dasar. Dan atas dasar itulah kemudian melahirkan berbagai penafsiran bagaimana harus mengembangkan koperasi. Paling tidak dengan dasar yang kuat tersebut sejarah perkembangan koperasi di Indonesia telah mencatat tiga pola pengembangan koperasi. Secara khusus pemerintah memerankan fungsi sebagai pengatur dan pengembang sekaligus (Soetrisno, 2003a.b).
Menurut Rahardjo (2002b), Bung Hatta sendiri mulai tertarik kepada sistem koperasi agaknya adalah karena pengaruh kunjungannya ke negara-negara Skandinavia, khususnya Denmark, pada akhir tahun 1930-an. Walaupun ia sering mengaitkan koperasi dengan nilai dan lembaga tradisional gotong-royong, namun persepsinya tentang koperasi adalah sebuah organisasi ekonomi modern yang berkembang di Eropa

61
31 Dewasa ini, di dunia ada dua macam model koperasi. Pertama, adalah koperasi yang dibina oleh pemerintah dalam kerangka sistem sosialis. Kedua, adalah koperasi yang dibiarkan berkembang di pasar oleh masyarakat sendiri, tanpa bantuan pemerintah. Tapi, di negara sosialis seperti China, koperasi adalah counterpart sector negara, karena itu koperasi disebut juga sebagai "sektor sosial" yang merupakan wadah dari usaha individu dan usaha rumah tangga (Rahardjo, 2002b).
32 Widiyanto (1998) memberi suatu contoh yang sederhana untuk mendukung argumentasinya: seandainya sebuah koperasi mempunyai, misalnya, Current Ratio= 200% yang secara bisnis umum berarti cukup liquid, rasio keuangan ini jadi tidak banyak berarti jika koperasi tidak mampu meningkatkan kesejahteraan anggotanya. Sehingga beberapa parameter kelayakan usaha


Barat. Ia pernah juga membedakan antara "koperasi sosial" yang berdasarkan asas gotong royong, dengan "koperasi ekonomi" yang berdasarkan asas-asas ekonomi pasar yang rasional dan kompetitif. Bagi Bung Hatta, koperasi bukanlah sebuah lembaga yang antipasar atau nonpasar dalam masyarakat tradisional. Koperasi, baginya adalah sebuah lembaga self-help lapisan masyarakat yang lemah atau rakyat kecil untuk bisa mengendalikan pasar. Karena itu koperasi harus bisa bekerja dalam sistem pasar, dengan cara menerapkan prinsip efisiensi.31
Sedangkan, menurut Widiyanto (1998), sejak diperkenalkan koperasi di Indonesia pada awal abad 20, dan dalam perkembangannya hingga saat ini koperasi di Indonesia mempunyai makna ganda yang sebenarnya bersifat ambivalent, yakni koperasi sebagai badan usaha dan sekaligus juga sebagai jiwa dan semangat berusaha. Untuk pengertian yang pertama, koperasi sering dilihat sebagai salah satu bentuk usaha yang bisa bergerak seperti bentuk usaha lainnya yang dikenal di Indonesia seperti PT, CV, Firma, NV. Menurutnya, dalam kerangka seperti inilah, koperasi sepertinya diperkenankan untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya. Karena pengertian inilah, pusat-pusat koperasi dan induk koperasi dibentuk dengan tujuan agar dapat memperkuat eksistensi koperasi primer. Contohnya adalah dibentuknya PUSKUD (Pusat Koperasi Unit Desa) dan INKUD (Induk Koperasi Unit Desa). Sedangkan dalam konteks makna kedua tersebut, usaha yang dilakukan koperasi disusun berdasarkan atas azas kebersamaan. Karena kebersamaannya ini, bentuk kepemilikan properti pada koperasi yang "konservatif" sering tidak diwujudkan dalam bentuk kepemilikan saham melainkan dalam wujud simpanan baik wajib maupun pokok dan sukarela, iuran, sumbangan dan bentuk lainnya. Konsekuensi dari bentuk kepemilikan seperti itu adalah sebutan kepemilikannya bukan sebagai pemegang saham melainkan sebagai anggota. Oleh karenanya, koperasi sering dijadikan alat untuk mencapai tujuan yang ditetapkan para anggotanya atau untuk kesejahteraan anggota.
Masih menurut Widiyanto (1998), secara bisnis, sebenarnya makna ganda koperasi ini cukup merepotkan. Karena koperasi diakui sebagai badan usaha, maka kiprah usaha koperasi mestinya harus seperti badan usaha lainnya. Dalam artian ini, sebagai sebuah badan usaha, koperasi mestinya mengejar profit sebesar-besarnya dengan langkah-langkah dan perhitungan bisnis seperti yang biasa dilakukan oleh perusahaan lainnya. Namun langkah bisnis ini sering "bertabrakan" dengan keinginan anggotanya yakni menyejahterakan anggota. Sehingga dalam konteks ini, penghitungan kelayakan usaha koperasi, jika hanya mengandalkan aspek liquiditas, solvabilitas dan rentabilitas usaha, menjadi tidak tepat.32

62
pada perusahaan menjadi tidak pas diterapkan pada koperasi. Oleh karenanya, tidak mengherankan kalau Departemen Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil (DEPKOP&PPK) memiliki kriteria tersendiri dalam melakukan evaluasi terhadap koperasi. Namun, kalau itu yang dilakukan, koperasi mestinya jangan "dihadapkan langsung" dengan perusahaan swasta lainnya yang secara teoritis menggunakan rasio keuangan sebagai salah satu tolok ukur kesehatan bisnisnya. Sehingga dengan kata lain makna pertama dan kedua koperasi seolah saling bertabrakan. Ibarat sopir mobil, makna pertama seolah memberi legitimasi pengemudi untuk menginjak pedal gas terus, sementara makna kedua justru minta pengemudi menginjak pedal rem (halaman 2).
33 Seperti yang dijelaskan oleh Soetrisno (2001), selama ini koperasi di Indonesia dikembangkan dengan dukungan pemerintah dengan basis sektor-sektor primer dan distribusi yang memberikan lapangan kerja terbesar bagi penduduk. Sebagai contoh sebagian besar KUD sebagai koperasi program di sektor pertanian didukung dengan program pembangunan untuk membangun KUD. Disisi lain pemerintah memanfaatkan KUD untuk mendukung program pembangunan pertanian untuk swasembada beras seperti yang selama PJP I, menjadi ciri yang menonjol dalam politik pembangunan koperasi. Bahkan koperasi secara eksplisit ditugasi melanjutkan program yang kurang berhasil ditangani langsung oleh pemerintah bahkan bank pemerintah, seperti penyaluran kredit BIMAS menjadi KUT, pola pengadaan beras pemerintah, TRI dan lain-lain sampai pada penciptaan monopoli baru (cengkeh). Sehingga nasib koperasi harus memikul beban kegagalan program, sementara koperasi yang berswadaya praktis tersisihkan dari perhatian berbagai kalangan termasuk para peneliti dan media masa. Dalam pandangan pengamatan internasional Indonesia mengikuti lazimnya pemerintah di Asia yang melibatkan koperasi secara terbatas seperti disektor pertanian.


Mungkin perbedaan yang paling besar antara koperasi di negara-negara lain, khususnya NM, dengan di Indonesia adalah bahwa keberadaan dan peran dari koperasi di Indonesia tidak lepas dari ideologi Pancasila dan UUD 45, yakni merupakan lembaga kehidupan rakyat Indonesia untuk menjamin hak hidupnya memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan sehingga mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur bagi seluruh rakyat Indonesia, sebagaimana dimaksud oleh Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yang sepenuhnya merupakan hak setiap warga negara (Hariyono, 2003). Konsukwensinya, koperasi di Indonesia memiliki tanggung jawab sosial jauh lebih besar daripada tanggung jawab “bisnis” yang menekankan pada efisiensi, produktivitas, keuntungan dan daya saing, dan sangat dipengaruhi oleh politik negara atau intervensi pemerintah dibandingkan koperasi di NM.
Sementara itu, Soetrisno (2001) berpendapat bahwa ciri utama perkembangan koperasi di Indonesia adalah dengan pola penitipan kepada program yaitu: (i) program pembangunan secara sektoral seperti koperasi pertanian, koperasi desa, KUD; (ii) lembaga-lembaga pemerintah dalam koperasi pegawai negeri dan koperasi fungsional lainnya; dan (iii) perusahaan baik milik negara (BUMN) maupun swasta (BUMS) dalam koperasi karyawan. Sebagai akibatnya prakarsa masyarakat luas kurang berkembang dan kalau ada tidak diberikan tempat semestinya.33Menurutnya, intervensi dari pemerintah yang terlalu besar sebagai salah satu penyebab utama lambatnya perkembangan koperasi di Indonesia. Selama ini koperasi dikem-bangkan dengan dukungan pemerintah dengan basis sektor-sektor primer dan distribusi yang memberikan lapangan kerja terbesar bagi penduduk Indonesia. Sebagai contoh sebagian besar KUD sebagai koperasi program di sektor pertanian didukung dengan program pembangunan untuk membangun KUD. Disisi lain pemerintah memanfaatkan KUD untuk mendukung program pembangunan pertanian untuk swasembada beras seperti yang dilakukan selama pembangunan jangka panjang pertama (PJP I) pada era Orde Baru menjadi ciri yang menonjol dalam politik pembangunan koperasi. Bahkan koperasi secara eksplisit ditugasi melanjutkan program yang kurang berhasil ditangani langsung oleh pemerintah bahkan bank

63
pemerintah, seperti penyaluran kredit ke petani lewat BIMAS menjadi koperasi unit tani (KUT), pola pengadaan beras pemerintah, sampai pada penciptaan monopoli baru (cengkeh). Sehingga nasib koperasi harus memikul beban kegagalan program, sementara koperasi yang berswadaya praktis tersisihkan dari perhatian berbagai kalangan termasuk para peneliti dan media masa.
Sedangkan dilihat dari strukturnya, organisasi koperasi di Indonesia mirip organisasi pemerintah/ lembaga kemasyarakatan yang terstruktur dari primer sampai tingkat nasional. Hal ini telah menunjukkan kurang efektif nya peran organisasi sekunder dalam membantu koperasi primer. Tidak jarang menjadi instrumen eksploitasi sumberdaya dari daerah pengumpulan. Menurut Soetrisno (2001), fenomena ini sekarang ini harus diubah karena adanya perubahan orientasi bisnis yang berkembang sejalan dengan proses globalisasi dan liberalisasi perdagangan dan ekonomi. Untuk mengubah arah ini hanya mampu dilakukan bila penataan mulai diletakkan pada daerah otonom.
Pendangan dari Soetrisno (2001) tersebut diatas juga didukung oleh Widiyanto (1998) yang mengatakan bahwa keberhasilan usaha koperasi di Indonesia biasanya bergantung pada dua hal. Pertama, program pemerintah karena koperasi sering dijadikan "kepanjangan" tangan pemerintah dalam mengatur sendi perekonomian. Kedua, keinginan pemenuhan kebutuhan anggota; jadi koperasi koperasi seringkali dipakai sebagai alat pemenuhan kebutuhan anggota yang biasanya juga berkaitan dengan program yang telah dicanangkan pemerintah. Misalnya KUD. Dalam prakteknya, KUD sering kali merupakan institusi yang menyediakan faktor produksi bagi petani yang kuantitas dan kualitas faktor produksinya sangat bergantung pada program pemerintah.
Sebagai contoh, di sektor pertanian, dimana koperasi pertanian pernah menjadi model pengembangan pada tahun 1960an hingga awal 1970an. Pada dasarnya koperasi pertanian di Indonesia diperkenalkan sebagai bagian dari dukungan pemerintah terhadap sektor pertanian. Pada sub sektor pertanian tanaman pangan yang pernah disebut pertanian rakyat koperasi pertanian praktis menjadi instrumen pemerintah untuk menggerakkan pembangunan pertanian, terutama untuk mencapai swasembada beras. Hal serupa juga di ulang oleh pemerintah Orde Baru dengan mengaitkan dengan pembangunan desa dan tidak lagi terikat ketat dengan Departemen Pertanian seperti pada masa Orde Lama dan awal Orde Baru. Tugas koperasi pertanian ketika itu adalah menyalurkan sarana produksi pertanian terutama pupuk, membantu pemasaran yang kesemuanya berkaitan dengan program pembangunan sektor pertanian dan penggerakannya kepada koperasi selalu apabila gagal dilaksanakan sendiri atau langsung oleh pemerintah, contoh padi sentra, kredit BIMAS hingga distribusi pupuk (Soetrisno, 2003c).
Hasil pengamatan Soetrisno (2003c) menunjukkan bahwa koperasi pertanian yang digerakan melalui pengembangan kelompok tani setelah keluarnya Inpres 18/1998 mempunyai jumlah yang besar, namun praktis belum memiliki basis bisnis yang kuat dan mungkin sebagian sudah mulai tidak aktif lagi. Usaha

64
mengembangkan koperasi baru di kalangan tani dan nelayan selalu berakhir kurang menggembirakan. Mereka yang berhasil jumlah terbatas dan belum dapat dikategorikan sebagai koperasi pertanian sebagai mana lazimnya koperasi pertanian di dunia atau bahkan oleh KUD-khusus pertanian yang ada.
Hasil penelitian Widiyanto (1998) menunjukkan bahwa jenis usaha yang sering menjadi andalan koperasi adalah susu, kredit usaha tani, penggilingan padi, pengadaan pupuk dan obat, simpan pinjam, pertokoan, jasa tagihan listrik atau air, dan tebu rakyat intensifikasi. Sedangkan jenis koperasi adalah KUD dan KOPPAS (Koperasi Pasar). Dalam beberapa penelitiannya, Widiyanto (1996, 1998) juga melakukan analisis SWOT (kekuatan, kelemahan, kesempatan dan ancaman) untuk mengidentifikasi faktor kunci sukses yang mungkin dimiliki koperasi, namun hanya dari faktor-faktor internal. Mengetahui faktor kunci sukses dari koperasi sangat penting untuk memberi informasi bagaimana sebenarnya profil keunggulan bersaing yang dipunyai koperasi relatif terhadap perusahaan-perusahaan non-koperasi. Hasilnya dapat dilihat di Tabel 13, dan kesimpulan dari Widiyanto adalah bahwa tidak banyak koperasi yang memiliki profil keunggulan bersaing, dan secara umum sebenarnya Widiyanto menemukan bahwa posisi bisnis koperasi cenderung pada posisi “dapat bertahan” ke “lemah” (Widiyanto, 1996).
Tabel 13: Inventarisasi Kekuatan dan Kelemahan Faktor-Faktor Internal Koperasi
No Faktor Kekuatan Kelemahan Netral
1
2
3
4
5
6
7
8
9 Captive market
Loyalitas
Mentalitas
Legalitas
Personalia
Dominasi kekuasaan
Konflik misi
Rantai distribusi
Administrasi X
X
X X
X
X
X
X X

Dari pengamatannya sendiri, Rahardjo (2002) juga sependapat bahwa tidak baiknya perkembangan koperasi di Indonesia selama ini erat kaitannya dengan kebijakan "jatah" dan "fasilitas" khusus dari pemerintah, terutama di masa Orde Baru. Orang masuk koperasi bukan karena ingin bekerja sama dalam kegiatan produktif, melainkan karena ingin menikmati fasilitas dan jatah dari Pemerintah. Menurutnya, sebenarnya koperasi adalah sebuah lembaga instrumen penghimpun dana masyarakat lewat tabungan, tapi dalam kenyataannya, koperasi selalu menadah dan mendapatkan dana dari pemerintah. Oleh karena itu, Rahardjo menegaskan bahwa untuk bisa berkembang dengan baik, koperasi perlu didukung oleh orang yang berpenghasilan di atas garis kemiskinan, orang yang bekerja (bukan penganggur) dan pengusaha yang produktif. Adanya penghasilan adalah prasyarat bagi perkembangan koperasi.
Hal ini sejalan dengan pandangan dari Alm. Prof. Sumitro Djojohadikusumo (dalam Rahardjo, 2002) bahwa pengembangan koperasi di pedesaan perlu didahului dengan pembangunan ekonomi yang menciptakan lapangan kerja dan penghasilan. Dari situlah koperasi dapat menghimpun tabungan. Pada

65
gilirannya tabungan akan merupakan sumber permodalan. Dewasa ini penghimpunan modal lebih banyak dilakukan oleh lembaga perbankan.
Rahardjo (2002) juga mempertanyakan apakah yang menjadi kunci keberhasilan perkembangan koperasi di Indonesia adalah peran pemerintah ataukah sepenuhnya ditentukan oleh pasar. Memang sejak krisis ekonomi 1997/98, peran pemerintah telah menyurut. Bank Indonesia tidak lagi menyediakan kredit program melalui Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI). Departemen Koperasi dan UKM telah direduksi peranannya menjadi Kantor Menteri Negara. Bahkan Badan Pengembangan Koperasi dan UKM yang tadinya berfungsi operasional dan dibiayai dengan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) telah dihapus juga. Apakah ini berarti kehancuran bagi masa depan koperasi, atau, sebaliknya, menjadi suatu dorongan bagi kemandirian koperasi di Indonesia? Mengingat pengalaman peranan pemerintah di masa lalu yang melemahkan kemandirian koperasi, maka timbul pandangan bahwa koperasi justru akan bisa bangkit melalui mekanisme pasar.
Fajri (2007) berpendapat bahwa pengembangan koperasi di Indonesia selama ini barulah sebatas konsep yang indah, namun sangat sulit untuk diimplementasikan. Semakin banyak koperasi yang tumbuh semakin banyak pula yang tidak aktif. Bahkan ada koperasi yang memiliki badan hukum, namun kehadirannya tidak membawa manfaat sama sekali. Menurutnya, koperasi tidak mungkin tumbuh dan berkembang dengan berpegang pada tata kelola yang tradisonal dan tidak berorientasi pada pemuasan keperluan dan keinginan konsumen. Koperasi perlu diarahkan pada prinsip pengelolaan secara modern dan aplikatif terhadap perkembangan zaman yang semakin maju dan tantangan yang semakin global. Dari kemungkinan banyak faktor penyebab kurang baiknya perkembangan koperasi di Indonesia selama ini, Fajri menganggap bahwa salah satunya yang paling serius adalah masalah manajemen dan organisasi. Oleh karena itu, ia menegaskan bahwa koperasi di Indonesia perlu mencontoh implementasi good corporate governance (GCG) yang telah diterapkan pada perusahaan-perusahaan yang berbadan hukum perseroan. Prinsip GCG dalam beberapa hal dapat diimplementasikan pada koperasi. Untuk itu, regulator, dalam hal ini Kementerian Koperasi dan UKM perlu memperkenalkan secara maksimal suatu konsep GCG atau tata kelola koperasi yang baik. Lebih rincinya, Fajri menjelaskan bahwa konsep GCG sektor koperasi perlu dimodifikasi sedemikian rupa untuk menjawab tantangan pengelolaan koperasi yang semakin kompleks. Implementasi GCG perlu diarahkan untuk membangun kultur dan kesadaran pihak-pihak dalam koperasi untuk senantiasa menyadari misi dan tanggung jawab sosialnya, yaitu menyejahterakan anggotanya. Fajri menjelaskan lebih lanjut bahwa dalam mengimplementasikan GCG, koperasi Indonesia perlu memastikan beberapa langkah strategis yang memadai dalam implementasi GCG. Pertama, koperasi perlu memastikan bahwa tujuan pendirian koperasi benar-benar untuk menyejahterakan anggotanya. Pembangunan kesadaran akan tujuan perlu dijabarkan dalam visi, misi dan program kerja yang sesuai. Pembangunan kesadaran akan mencapai tujuan

66
34 Selain itu, menurutnya, diperlukan upaya serius untuk mendiseminasikan dan menyosialisasikan GCG koperasi dalam format gerakan nasional berkoperasi secara berkesinambungan kepada warga masyarakat, baik melalui media pendidikan, media massa maupun media yang lainnya yang diharapkan akan semakin memajukan perkoperasian Indonesia. Langkah perbaikan dapat dilakukan melalui mekanisme assessment mandiri dengan tolok ukur yang jelas. Kehadiran assessment yang dilakukan akan menjelaskan mengenai gap analisis yang dapat terjadi antara langkah operasional koperasi dengan standar praktik terbaik (best practices).
35 Ia membandingkan jumlah anggota koperasi Indonesia dengan anggota koperasi di negara-negara lain. Misalnya, di Amerika Serikat, terdapat sedikitnya 140 juta orang yang menjadi anggota koperasi. Jumlah ini 60% dari 350 juta penduduk dewasa di negara itu. Sementara di Singapura, sekitar 1,6 juta orang menjadi anggota koperasi. Jumlah itu sekitar 80% dari 2 juta penduduk dewasa di negara kota tersebut. Ditambahkannya bahwa koperasi di Singapura juga telah mampu berperan sebagai penggerak roda ekonomi. Sekitar 50% dari jumlah jaringan bisnis retail yang ada di Singapura dikuasai oleh koperasil


Ketiga, pembenahan kondisi internal koperasi. Praktik-praktik operasional yang tidak efisien dan mengandung kelemahan perlu dibenahi. Dominasi pengurus yang berlebihan dan tidak sesuai dengan proporsinya perlu dibatasi dengan adanya peraturan yang menutup celah penyimpangan koperasi. merupakan modal penting bagi pengelolaan koperasi secara profesional, amanah, dan akuntabel. Ketidakamanahan dari pengurus dan anggota akan membawa koperasi pada jurang kehancuran. Inilah yang harus diperkecil dengan implementasi GCG. Kedua, perbaikan secara menyeluruh. Kementerian Koperasi dan UKM perlu menyiapkan blue print pengelolaan koperasi secara efektif dan terencana. Blue print koperasi ini nantinya diharapkan akan menjadi panduan bagi seluruh koperasi Indonesia dalam menjalankan kegiatan operasinya secara profesional, efektif dan efisien.34
Seperti yang diberitakan di Tempo Interaktif (Minggu, 18 Maret 2007), Ketua Dewan Koperasi Indonesia Adi Sasono menilai pertumbuhan anggota koperasi simpan-pinjam di Indonesia masih rendah. Hal itu terlihat pada kecilnya tingkat keanggotaan koperasi yang hanya 20% dari 150 juta penduduk dewasa Indonesia.35Adi menjelaskan bahwa rendahnya pertumbuhan anggota koperasi di Indonesia karena koperasi belum berperan sebagai penggerak roda ekonomi nasional. Masyarakat juga belum memandang koperasi sebagai tempat simpan dan pinjam serta mengembangkan UKM. Menurutnya, orang masih mengandalkan perusahaan besar sebagai kesempatan kerja dibanding membuat usaha sendiri yang bisa membuka peluang kerja untuk orang lain. Adi menegaskan bahwa ke depan, jika koperasi ingin tetap hidup dan bahkan berkembang di tengah-tengah ekonomi yang semakin dikuasai oleh unit-unit bisnis moderen, koperasi harus meningkatkan standar pelayanan dan melakukan audit secara berkala, supaya peran koperasi dalam meningkatkan roda ekonomi meningkat. Ia mengatakan bahwa loperasi jangan hanya mengandalkan bantuan pemerintah saja, tapi juga harus mampu menggerakkan anggotanya untuk berpartisipasi aktif.
Berdasarkan data resmi seperti yang ditunjukkan di atas, jumlah unit koperasi di Indonesia meningkat terus; sama seperti jumlah UKM juga bertambah terus setiap tahun. Ini aspek kuantitasnya, sedangkan kualitas dari pertumbuhannya selalu menjadi bahan perdebatan karena tidak jarang koperasi dimanfaatkan di luar kepentingan generiknya. Juga, secara makro pertanyaan yang paling mendasar berkaitan dengan kontribusi koperasi terhadap PDB, ekspor, pengentasan kemiskinan, dan penciptaan lapangan kerja.

67
Sedangkan secara mikro pertanyaan yang mendasar berkaitan dengan kontribusi koperasi terhadap peningkatan pendapatan dan kesejahteraan anggotanya.
Menurut Merza (2006), dari segi kualitas, keberadaan koperasi masih perlu upaya-upaya yang sungguh-sungguh untuk ditingkatkan mengikuti tuntutan lingkungan dunia usaha yang berubah mengikuti proses globalisasi dan hubungan ekonomi dan perdagangan antar negara (termasuk dengan Indonesia) yang cenderung semakin liberal.
VIII.2 Prospek Kedepan
Apakah lembaga yang namanya koperasi bisa survive atau bisa bersaing di era globalisasi ekonomi dan liberalisasi perdagangan dunia? Apakah koperasi masih relevan atau masih dibutuhkan masyarakat, khususnya pelaku bisnis dalam era modern sekarang ini? Jawabnya: ya. Buktinya bisa dilihat di banyak NM. Seperti telah dibahas sebelumnya mengenai perkembangan koperasi di NM, di Belanda, misalnya, Rabbo Bank adalah bank milik koperasi, yang pada awal dekade 20-an merupakan bank ketiga terbesar dan konon bank ke 13 terbesar di dunia. Di banyak NM koperasi juga sudah menjadi bagian dari sistem perekonomian. Ternyata koperasi bisa bersaing dalam sistem pasar bebas, walaupun menerapkan asas kerja sama daripada persaingan. Di AS, 90% lebih distribusi listrik desa dikuasai oleh koperasi. Di Kanada, koperasi pertanian mendirikan industri pupuk dan pengeboran minyak bumi. Di negara-negara Skandinavia, koperasi menjadi soko guru perekonomian. Di Jerman, bank koperasi Raifaissen sangat maju dan penting peranannya, dengan kantor-kantor cabangnya di kota maupun desa. Dan banyak lagi contoh lain.
Di NM koperasi lahir dan tetap ada karena satu hal, yakni adanya distorsi pasar yang membuat sekelompok petani atau produsen kecil secara individu tidak akan mampu menembus atau bermain di pasar secara optimal. Oleh karena itu, mereka melakukan suatu kerjasama yang dilembagakan secara resmi dalam bentuk suatu koperasi. Demikian juga lahirnya koperasi simpan pinjam atau kredit. Karena banyak masyarakat tidak mampu mendapatkan pinjaman dari bank komersial konvensional, maka koperasi kredit menjadi suatu alternatif. Jadi, di NM, koperasi produsen, misalnya, adalah suatu cara bagi sekelompok produsen untuk bisa survive di dalam persaingan pasar, bukan untuk menggantikan sistem pasar yang berlaku. Selama ada distorsi pasar, selama ada kelompok produsen atau petani lemah atau masyarakat yang ”termarjinalisasi”, koperasi akan tetap ada.
Esensi globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas yang sedang berlangsung saat ini dan yang akan semakin pesat di masa depan adalah semakin menghilangnya segala macam hambatan terhadap kegiatan ekonomi antar negara dan perdagangan internasional. Melihat perkembangan ini, prospek koperasi Indonesia ke depan sangat tergantung pada dampak dari proses tersebut terhadap sektor bersangkutan. Oleh karena itu, prospek koperasi harus dilihat berbeda menurut sektor. Selain itu, dalam menganalisisnya,

68
koperasi Indonesia perlu dikelompokkan ke dalam ketiga kelompok atas dasar jenis koperasi. Pengelompokan itu meliputi pembedaan atas dasar: (i) koperasi produsen atau koperasi yang bergerak di bidang produksi, (ii) koperasi konsumen atau koperasi konsumsi, dan (iii) koperasi kredit dan jasa keuangan.
Koperasi produsen terutama koperasi pertanian memang merupakan koperasi yang paling sangat terkena pengaruh dari globalisasi ekonomi dan liberalisasi perdagangan dunia. Sektor pertanian, yang berarti juga koperasi di dalamnya, di seluruh belahan dunia ini memang selama ini menikmati proteksi dan berbagai bentuk subsidi serta dukungan pemerintah. Dengan diadakannya pengaturan mengenai subsidi, tarif, dan akses pasar, maka sektor ini semakin terbuka dan bebas, dan kebijakan perencanaan pertanian yang kaku dan terfokus akan (sudah mulai) dihapuskan. Sehingga pengekangan program pembangunan pertanian dari pemerintah tidak mungkin lagi dijalankan secara bebas, tetapi hanya dapat dilakukan secara lokal dan harus sesuai dengan potensi lokal. Konsukwensinya, produksi yang dihasilkan oleh anggota koperasi pertanian tidak lagi dapat menikmati perlindungan seperti semula, dan harus dibuka untuk pasaran impor dari negara lain yang lebih efisien.
Khusus untuk koperasi-koperasi pertanian yang selama ini menangani komoditi sebagai pengganti impor atau ditutup dari persaingan impor jelas hal ini akan merupakan pukulan berat dan akan menurunkan pangsanya di pasar domestik kecuali ada upaya-upaya peningkatan efisiensi, produktivitas dan daya saing. Sementara untuk koperasi yang menghasilkan barang pertanian untuk ekspor seperti minyak sawit, kopi, dan rempah serta produksi pertanian dan perikanan maupun peternakan lainnya, jelas perdagangan bebas merupakan peluang emas. Karena berbagai kebebasan tersebut berarti membuka peluang pasar yang baru. Dengan demikian akan memperluas pasar yang pada gilirannya akan merupakan peluang untuk pening-katan produksi dan usaha bagi koperasi yang bersangkutan. Namun demikian, kemampuan koperasi-koperasi pertanian Indonesia untuk memanfaatkan peluang pasar ekspor tersebut sangat tergantung pada upaya-upaya mereka meningkatkan efisiensi, produktivitas dan daya saing dari produk-produk yang dihasilkan.
Menurut Soetrisno (2003c), dengan perubahan tersebut, prinsip pengembangan pertanian akan lebih bersifat insentif driven ketimbang program driven seperti dimasa lalu. Dengan demikian corak koperasi pertanian akan terbuka tetapi untuk menjamin kelangsungan hidupnya akan terbatas pada sektor selektif yang memenuhi persyaratan tumbuhnya koperasi. Olehnya, perkembangan koperasi pertanian ke depan digambarkan sebagai “restrukturisasi” koperasi yang ada dengan fokus pada basis penguatan ekonomi untuk mendukung pelayanan pertanian skala kecil. Oleh karena itu konsentrasi ciri umum koperasi pertanian di masa depan adalah koperasi kredit pedesaan, yang menekankan pada kegiatan jasa keuangan dan simpan pinjam sebagai ciri umum. Pada saat ini saja hampir di semua KUD, unit simpan pinjam telah

69
menjadi motor untuk menjaga kelangsungan hidup koperasi. Sementara kegiatan pengadaan sarana produksi dan pemasaran hasil menjadi sangat selektif. Hal ini terkait dengan struktur pertanian dan pasar produk pertanian yang semakin kompetitif, termasuk jasa pendukung pertanian (jasa penggilingan dan pelayanan lainnya) yang membatasi insentif berkoperasi.
Di banyak NM, strategi yang dilakukan oleh koperasi-koperasi pertanian untuk bisa bersaing adalah antara lain dengan melakukan penggabungan, akuisisi, atau kerjasama dalam bentuk joint ventures dan aliansi strategis, tidak hanya antar koperasi tetapi juga dengan perusahaan-perusahaan non-koperasi. Di AS, pertumbuhan koperasi pertanian mencapai puncaknya pada tahun 1930 yang jumlahnya mencapai 12 ribu unit, dan setelah itu merosot. Namun pada tahun 1940an menghadapi perubahan pasar, teknologi dsb.nya, koperasi pertanian di AS memasuki fase konsolidasi dan suatu reorganisasi besar dalam tubu koperasi yang terus berlangsung hingga saat ini. Bergabung, konsolidadi, dan ekspansi dari koperasi-koperasi regional di AS seperti juga di NM sudah umum. Juga mereka semakin diversified dan terintegrasi secara vertikal dengan pasar internasional. Banyak koperasi-koperasi pertanian di AS yang menjadi lebih kuat setelah konsolidasi saat ini berperan penting di dalam perdagangan internasional. Banyak juga koperasi-koperasi pertanian AS dalam upaya mereka untuk bisa survive atau bisa terus berkembang mulai mengembangkan kegiatan-kegiatan yang menhasilkan nilai tambah tinggi.
Saat ini koperasi-koperasi pertanian di NM juga menerapkan teknologi informasi, terutama untuk manajemen operasi dan komunikasi elektronik dengan pembeli dan pemasok. Banyak koperasi pertanian modern memasarkan produk-produk mereka yang bernilai tambah tinggi: komoditi-komoditi dari para anggota (petani) diproduksi, diproses lebih lanjut, di bungkus sedemikian rupa hingga bisa dijual dengan harga tinggi (Vandeburg dkk., 2000).
Di sektor lain, misalnya keuangan, kegiatan koperasi kredit di Indonesia, baik secara teoritis maupun empiris, terbukti selama ini mempunyai kemampuan untuk membangun segmentasi pasar yang kuat sebagai akibat struktur pasar keuangan di dalam negeri yang sangat tidak sempurna, terutama jika menyangkut masalah informasi. Bagi koperasi kredit Indonesia, keterbukaan perdagangan dan aliran modal yang keluar masuk akan merupakan kehadiran pesaing baru terhadap pasar keuangan, namun tetap tidak dapat menjangkau para anggota koperasi. Apabila koperasi kredit mempunyai jaringan yang luas dan menutup usahanya hanya untuk pelayanan anggota saja, maka segmentasi ini akan sulit untuk ditembus pesaing baru. Bagi koperasi-koperasi kredit di Indonesia, adanya globalisasi ekonomi dunia akan merupakan peluang untuk mengadakan kerjasama dengan koperasi kredit di negara-negara lain, khususnya NM, dalam membangun sistem perkreditan melalui koperasi. Menurut Soetrisno (2003a,b), koperasi kredit atau simpan pinjam di masa mendatang akan menjadi pilar kekuatan sekitar koperasi yang perlu diikuti oleh dukungan lainnya seperti sistem pengawasan dan jaminan.

70
Menurut teori dari Rutten (2002) mengenai inovasi lembaga menjelaskan bahwa lembaga seperti koperasi di dunia, khususnya di NM, tidak statis tetapi terus berubah sebagai respons terhadap perubahan-perubahan teknologi, kondisi-kondisi budaya, ekonomi dan sosial, sumber-sumber daya, pasar, dll. Sebagai contoh, Rutten menunjukkan bahwa saat ini ”transaksi perdagangan hanya dengan uang” tidak lagi merupakan prinsip dari koperasi seperti pada awal lahirnya koperasi (sekitar tahun 1840an di Eropa). Hal ini disebabkan oleh pasar keuangan yang telah sangat maju sehingga prinsip tersebut tidak relevan lagi; bahka bisa kontra-produktif
Hasil penelitian dari Braverman dkk. (1991) yang membandingkan koperasi pertanian di Belanda dan di Afrika Sub-Sahara (SS) menyimpulkan bahwa kelemahan koperasi di NSB pada umumnya dan di Afrika SS pada khususnya disebabkan oleh sejumlah hambatan eksternal dan internal. Ada tiga hambatan eksternal utama, yakni sebagai berikut. Pertama, keterlibatan pemerintah yang berlebihan (yang sering kali karena desakan pihak donor). Kedua, terlalu banyak yang diharapkan dari koperasi atau terlalu banyak fungsi yang dibebankan kepada koperasi melebihi fungsi atau tujuan koperasi sebenarnya. Di Belanda, tujuan koperasi pertanian yang untuk menandingi monopoli pasar, baik di pasar output maupun pasar input. Mereka sama sekali tidak bermaksud mempengaruhi kebijakan pertanian (ini urusan asosiasi petani) atau bukan bertujuan untuk pemerataan atau keadilan sosial dsb.nya. Jadi, berdirinya koperasi petani di Belanda murni bisnis. Sedangkan koperasi di NSB, seperti halnya di Indonesia, digunakan secara eksplisit sebagai salah satu intrumen pembangunan yang bertujuan pada pemerataan dan pengurangan kemiskinan. Ketiga, kondisi yang tidak kondusif, seperti distorsi pasar, kebijakan ekonomi seperti misalnya kebijakan proteksi yang anti-pertanian, dan sebagainya. Sedangkan, hambatan internal adalah termasuk keterbatasan anggota atau partisipasi anggota, isu-isu struktural, perbedaan antara kepentingan individu dan kolektif, dan lemahnya manajemen.
Berdasarkan penemuan mereka tersebut, Braverman dkk (1991) menyimpulkan bahwa masa depan koperasi di NSB, khususnya di Afrika SS, sangat tergantung pada peran atau fungsi yang dijalankan oleh koperasi. Menurut mereka, koperasi tidak bisa diharapkan memberikan suatu solusi kelembagaan universal di dalam suatu lingkungan dimana pemain-pemain lain, yakni perusahaan-perusahaan swasta non-koperasi atau lembaga-lembaga semi publik, juga tidak bisa survive. Pandangan yang sama juga disampaikan oleh Pohlmeler (1990) yang juga meneliti perkembangan koperasi di Afrika. Ia menegaskan bahwa Koperasi tidak bisa memberikan pelayanan-pelayanan sosial, paling tidak tidak sebelum koperasi berhasil dalam pelayanan-pelayanan ekonomi.
Braverman dkk. (1991) juga menegaskan bahwa jika koperasi diterima bahwa koperasi-koperasi harus terlibat di dalam kegiatan-kegiatan dengan konsukwensi-konsukwensi yang positif dan berkelanjutan bagi anggota-anggota, maka agen-agen eksternal seperti pemerintah atau donor tidak boleh mendukung mereka

71
terkecuali koperasi-koperasi tersebut punya suatu peluang yang lumayan untuk menjadi unit-unit bisnis yang mandiri. Jika tidak, koperasi-koperasi akan tergantung sepenuhnya pada bantuan-bantuan dari pemerintah dan donor.
IX Kesimpulan dan Rekomendasi
IX.1 Kesimpulan
Kelangkahan adalah dasar dari berlakunya ilmu ekonomi dengan sejumlah asumsi, dan yang terpenting adalah bahwa manusia bertindak/bersikap rasional yang sesuai dengan prinsip ekonomi: menggunakan sumber daya yang terbatas untuk menghasilkan output yang maksimum. Prinsip ini memberikan arahan bagi individua atau masyarakat yang rasional tentang cara memilih alternatif terbaik untuk mencapai tujuan tersebut, yakni mendapatkan output maksimum, dan dari sekian banyak alternatif, salah satunya adalah membentuk koperasi.
Walaupun tidak disebutkan secara eksplisit di dalam teori, namun demikian, pengalaman dari NM, koperasi bisa hidup, bahkan berkembang pesat di dalam sistem-sistem ekonomi liberal dan sosialis, maupun ekonomi berdasarkan arus Keynesian.
Kegiatan koperasi sesuai ilmu ekonomi dengan dua alasan utama: (i) mengingat tujuan utama seseorang menjadi anggota koperasi adalah untuk meningkatkan kesejahteraannya, maka motif ekonomi lebih menonjol daripada motif non-ekonomi. Oleh karena itu, dengan sendirinya motif utama mendirikan koperasi adalah ekonomi; (ii) dasar pemikiran ilmu ekonomi berusaha dengan biaya seminimal mungkin menghasilkan profit sebanyak mungkin. Maka berdasarkan pemikiran ini, koperasi adalah salah satu alternatif berusaha atau salah satu bentuk perusahaan yang harus bersaing dengan bentuk-bentuk perusahaan atau alternatif-alternatif berusaha lainnya. Dan untuk bisa unggul dalam persaingan, koperasi itu harus lebih efisien daripada alternatif-alternatif lainnya.
Ada dua hal yang sangat mempengaruhi kemampuan sebuah koperasi untuk bisa bertahan atau unggul dalam persaingan (terutama jangka panjang) di pasar, yakni: kemampuan menetapkan harga dan struktur pasar. Dua koperasi (atau perusahaan) akan mendapatkan kesempatan yang berbeda untuk survive karena masing-masing berbeda dalam kemampuan menetapkan harga dan struktur pasar yang dihadapi. Namun demikian, ada satu hal yang jelas yakni bahwa dalam bentuk pasar apapun juga, terkecuali monopoli (misalnya persaingan sempurna atau persaingan monopolistik), kemampuan koperasi maupun perusahaan non-koperasi untuk bisa unggul dalam persaingan dalam periode jangka panjang ditentukan oleh kualitas dan efisiensi.
Koperasi di Indonesia akan menghadapi tantangan bahkan ancama serius dari globalisasi. Terutama mengingat bahwa kemampuan koperasi menghadapi ancaman dan juga kesempatan yang muncul dari

72
globalisasi sangat dipengaruhi oleh kemampuan akan dua hal tersebut dari sektor bersangkutan. Artinya, jika sektor pertanian Indonesia belakangan ini semakin terkalahkan oleh komoditas-komoditas pertanian impor, sulit mengharapkan koperasi pertanian Indonesia akan survive.
Berdasarkan data dan literatur yang ada hingga saat ini, tidak ada bukti bahwa semakin tinggi pendapatan per kapita atau semakin modern suatu masyarakat, semakin tidak penting koperasi di dalam ekonomi. Sebaliknya, terbukti bahwa sejak munculnya ide tersebut hingga saat ini, banyak koperasi di negara-negara maju (NM) seperti di Uni Eropa (UE) dan AS sudah menjadi perusahaan-perusahaan besar termasuk di sektor pertanian, industri manufaktur, dan perbankan yang mampu bersaing dengan korporat-korporat kapitalis.
Salah satu perbedaan penting yang membuat koperasi di NSB pada umumnya dan di Indonesia pada khususnya tidak berkembang sebaik di NM adalah bahwa di NM koperasi lahir sebagai gerakan untuk melawan ketidakadilan pasar, oleh karena itu tumbuh dan berkembang dalam suasana persaingan pasar. Sedangkan, di NSB koperasi dihadirkan dalam kerangka membangun institusi yang dapat menjadi mitra negara dalam menggerakkan pembangunan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Dalam kata lain, bobot politik atau intervensi pemerintah di dalam perkembangan koperasi di NSB atau Indonesia terlalu kuat. Sementara di NM tidak ada sedikitpun pengaruh politik sebagai ”pesan sponsor”. Kegiatan koperasi di NM murni kegiatan ekonomi. Penyebab lainnya, koperasi di NM sudah menjadi bagian dari sistem perekonomiannya, sedangkan di Indonesia koperasi masih merupakan bagian dari sistem sosial politik. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan-pernyataan umum bahwa koperasi di Indonesia penting demi kesejahteraan masyarakat dan keadilan, bukan seperti di NM bahwa koperasi penting untuk persaingan.
IX.2 Rekomendasi
1) Capacity building di koperasi adalah suatu keharusan, terutama dalam pengembangan teknologi dan sumber daya manusia. Perhatian terhadap pengembangan kedua faktor tersebut harus lebih besar daripada terhadap penyaluran dana. Pelatihan SDM di dalam koperasi tidak hanya menyangkut bagaimana menjalankan sebuah koperasi yang baik, tetapi juga dalam pemahaman mengenai peluang pasar, teknik produksi, pengawasan kualitas (seperti bagaimana mendapatkan ISO), meningkatkan efisiensi, dll. Misalnya, pengurus koperasi pertanian harus paham betul mengenai perkembangan perdagangan pertanian di pasar dunia, termasuk ketentuan-ketentuan dalam konteks WTO, FAO, dll.
2) Sudah waktunya pemerintah, dalam hal ini Menegkop dan UKM, mempunyai database koperasi yang komprehensif, misalnya jumlah koperasi produsen menurut komoditi, daerah dan bentuk serta orientasi pasar, seperti yang dilakukan FAO untuk data pertanian dunia.


73
3) Dalam menghadapi persaingan, koperasi harus melakukan strategi-strategi yang umum dilakukan oleh perusahaan-perusahaan modern (non-koperasi) atau bahkan yang dilakukan oleh koperasi-koperasi di NM seperti penggabungan dua (lebih) koperasi, akuisisi, atau kerjasama dalam bentuk joint ventures dan aliansi strategis, tidak hanya antar koperasi tetapi juga dengan perusahaan-perusahaan non-koperasi; diversifikasi produksi, spesialisasi, penerapan teknologi informasi, terutama untuk manajemen operasi dan komunikasi elektronik dengan pembeli dan pemasok. Pemerintah bisa memfasilitaskan upaya-upaya tersebut.


74
Daftar Pustaka
Affandi, Yoga (2002), “The Optimal Monetary Policy Instruments: The Case Of Indonesia”, Buletin Ekonomi Moneter Dan Perbankan, 5(3).
Aldrich, Howard dan Robert N. Stern (1984), “Resource Mobilization and the Creation of US Producer Cooperatives”, Economic and Industrial Democracy, 4:371-406
Amy M. Nagler, Dale J. Menkhaus dan Alan C. Schroeder (2004), “Institutions and Agricultural Cooperatives in Wyoming”, UWCC Staff Paper No.4, August, University of Wisconsin Center for Cooperatives
Anderson, Bruce L. dan Brian M. Henehan (2003)” What Gives Cooperatives A Bad Name,”makalah dalam the NCR 194 Meeting, Oktober, Kansas City, Missouri
Anderson, Kym, Betina Dimaranan, Tom Hertel dan Will Martin (1997), “Economic Growth and Policy Reform in the APEC Region: Trade and Welfare Implications by 2005”, Asia Pacific Economic Review, 3(1).
APEC (1997), “The Impact of Trade Liberalization in APEC”, Economic Committee of APEC, Singapore: APEC Secretary
APEC (1999), “ The Impact of Trade Liberalization on Labor Markets in the Asia Pacific Region”, Report by the Network for Economic Development Management, Human Resource Development Working Group, Singapore: APEC Secretary.
Baarda, J.R. (1982), “State Incorporation Statutes for Farmer Cooperatives”, Info. Report 30, USDA-Agricultural Cooperative Service, Washington, D.C.
Baldwin, Robert E. dan P. Martin (1999), “Two Waves of Globalization: Superficial Similarities, Fundamental Differences”, NBER Working Paper NO.W6904, NBER, Cambridge Mass.
Bank Dunia (2000a), Development Indicators 2000, Washington, D.C.
Bank Dunia (2000b), Global Economic Prospects and the Developing Countries 2000, Washington, D.C.
Bank Dunia (2003), Development Indicators 2003, Washington, D.C.
Barr, Terry N. (2005), “Trends in Global Market and Implications for Farm Policy and Cooperatives”, makalah dalam the 8th Annual Farmer Cooperatives Conference, November 7-8, USA
Berger, Peter L. (1997), “Four Faces of Global Culture”, National Interest, 49.
Berger, Peter L. dan Samuel P. Huntingdon (ed.)(2002), Many Globalizations: Cultural Diversity in the Contemporary World, Oxford: Oxford University Press.
Birchall, Johnston (1997), The International Co-operative Movement, Manchester: Manchester University Press.
Boediono (1998),. “Penggunaan Suku Bunga Sebagai sasaran Operasional Kebijakan Moneter di Indonesia”. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli.
Bonin, John P., Derek C. Jones dan Louis Putterman (1993), “Theoretical and Empirical Studies of Producer Cooperatives: Will Ever the Twain Meet?”, Journal of Economic Literature, 31: 1290-1320
Bora, Bijit, Lucian Cernat, dan Alessandro Turrini (2002), “Duty and Quota-Free Access for LDCs: Further Evidence from CGE Modelling”, Policy Issues in International Trade and Commodities Study Series No.14, New York dan Geneva: UNCTAD
Braverman, Avishay, J. Luis Guasch, Monika Huppi, dan Lorenz Pohlmeier (1991), ”Promoting Rural Coperatives in Developing Countries. The Case of Sub-Saharan Africa”, World Bank Discussion Papars, No.121, April, Washington, D.C.: The World Bank.
Cable, Vincent (1999), “Globalization and Global Governance”, Chatham House Papers, London: Royal Institute of International Affairs.
Chamard, John dan Tom Webb (2004), “Learning to Manage the Co-operative Difference”, makalah dalam the 12th IAFEP conference, Halifax, Nova Scotia, Juli 8-10.
Chowdhury, Anis, dan Hermanto Siregar (2004), “Indonesia’s Monetary Policy Dilemma–Constraints Of Inflation Targeting”, The Journal Of Developing Areas, 37(2).
Conry, E.J., G.R. Ferrera dan K.H. Fox (1986), The Legal Environment of Business, Dubuque, IA: Wm. C. Brown.
Crook, Clive (2001), “Globalization and its Critics”, The Economist, 29, September.
Cummins, David E. (1993), “Corn Belt Grain Cooperatives Adjust to Challenges of 1980s, Poised for 1990s,” ACS Research Report Number 117. August, Washington, D.C.:United States Department of Agriculture, Agricultural Cooperative Service.
Eurostat (2001), “A Pilot Study on Co-operatives, Mutuals, Associations and Foundations”, Luxembourg: Eurostat.
Feridhanusetyawan, Tubagus (1997), “Trade Liberalization in Asia Pacific: A Global CGE Approach”, The Indonesian Quarterly, XXV(4).
Feridhanusetyawan Tubagus dan Mari Pangestu (2003), “Indonesian Trade Liberalization: Estimating The Gains”, Bulletin of Indonesian Economic Studies, 39(1).
Feridhanusetyawan, Tubagus, Mari Pangestu, dan Erwidodo (2002), “Effects of AFTA and APEC Trade Policy Reform on Indonesia Agriculture”, dalam Randy Stringer, Erwidodo, Tubagus Feridhanusetyawan, dan Kym Anderson (ed.), Indonesia in a Reforming World Economy: Effects on Agriculture, Trade and the Environment, Center for International Economic Studies, University of Adelaide, Adelaide.
Friedman, Thomas (2000), The Lexus and the Olive Tree, London: HarperCollins.

75
Friedman, Thomas (2002), Memahami Globalisasi; Lexus dan Pohon Zaitun, Bandung: ITB
Furlough, Ellen dan Carl Strikwerda (ed.)(1999), Consumers Against Capitalism? Consumer Cooperation in Europe. North America and Japan, 1840-1990, Lanham, MI.: Rowman & Littlefield
Gentil, Dominique (1990), ”Support of Informal Self-Help and Cooperative Groups”, makalah dalam Seminar Bank Dunia mengenai ”Donor Support for the Promotion of Rural Cooperatives in Developing Countries: Special Emphasis SubSaharan Africa”, Januari 16-17, Washington, D.C.: the World Bank.
Giddins, Anthony (2001), Runaway World-Bagaimana Globalisasi Merombak Kehidupan Kita, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Gilbert, J. R. Scollay dan T. Wahl (1999), “An APEC Food System: Implications for Welfare and Income Distribution by 2005”, mimeo, APEC Study Center, New Zealand.
Hakim, Abdul (2004), Ekonomi Pembangunan, Cetakan kedua, September, Yogyakarta: EKONISIA.
Halwani, R. Hendra (2002), Ekonomi Internasional dan Globalisasi Ekonomi, Jakarta: Ghalia Indonesia.
Hansmann, Henry (1996), The Ownership of Enterprise, Cambridge, MA: Belknap Press.
Hanson, J.M. (2001), “A New Cooperative Structure for the 21 Processing Cooperative Law”, makalah dalam the Rocky Mountain Farmers Union Leadership Roundup, Cheyenne, WY., 22 Sept.
Hariyono (2003), “Koperasi Sebagai Strategi Pengembangan Ekonomi Pancasila”, Jurnal Ekonomi Rakyat, II(4), Juli.
Hendar dan Kusnadi (2005), Ekonomi Koperasi, edisi kedua, Lembaga Penerbit FE-UI, Jakarta.
Hill, Roderick (2000), “The Case of Missing Organizations: Co-operatives and the Textbooks”, Journal of Economic Education, 31(3): 281-95
Hirst, Paul dan Grahame Thompson (1999), Globalization in Question: The International Economy and The Possibilities of Governance, edisi ke 2, Cambridge: Polity Press.
ICA (1998a), “Statistics and Information on European Co-operatives”, Geneva: International Co-operative Alliance (http://www.coop.org/statistics.html.)
ICA (1998b), “Latest ICA Statistics of July 1, 1998”, Geneva: International Co-operative Alliance (http://www.coop.org/statistics.html.)
Ingco, Merlinda D. (1997), “Has Agricultural Trade Liberalization Improve Welfare in the Least-Developed Countries? Yes”, Policy Research Working Paper No.1748, April, Washington, D.C.: The World Bank.
Irawan, Ferry dan Sugiharso Safuan (2004), “Kebijakan Moneter, Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi: Pengujian Hipotesis Ekspektasi Rasional dengan Analisis VAR”, makalah dalam Seminar Akademik Tahunan Ekonomi I, Desember, Jakarta: Program Studi Ilmu Ekonomi Pascasarjana FEUI dan ISEI.
Jatnika, Firman dan Sugiharso Safuan (2004), “Pengaruh tingkat suku bunga domestik riil terhadap nilai tukar riil dan cadangan devisa di Indonesia periode 1992.1-2002.12”, makalah, Seminar Akademik Tahunan Ekonomi I, Desember, Jakarta: Program Studi Ilmu Ekonomi Pascasarjana FEUI dan ISEI.
Jones, Derek C. (1979), “U.S. Producer Cooperatives: The Record to Date”, Industrial Relations, 18:342-57
Jossa, Bruno (2005), “Marx, Marxism and the Cooperative Movement”, Cambridge Journal of Economics, 29:3-18.
Kalmi, Panu (2006),” The Disappearance of Co-operatives from Economics Textbooks”, Working Papers W-398, February, Helsinki School of Economics.
Keeling, Jennifer J. (2005), “Lessons in Cooperative Failure: The Rice Growers Association Experience”, Working Paper, Department of Agricultural and Resource Economics University of California, Davis
Khor, Martin (2002), Globalisasi Perangkap Negara-negara Selatan, Seri Kajian Global, Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas.
Klinedinst, Mark dan Hitomi Sato (1994), “The Japanese Cooperative Sector”, Journal of Economic Issues, 28(2): 509-17
Krugman, P. (1995), “Growing World Trade: Causes and Consequences”, Brookings Paper on Economic Acticity, 1.
Lawless, Greg dan Anne Reynolds (2004), “Worker Cooperatives: Case Studies, Key Criteria & Best Practices”, UWCC Staff Paper No.3, July, University of Wisconsin Center for Cooperatives, Madison.
Lindstad, Olav (1990), “Cooperatives as Tools for Development”, makalah dalam makalah dalam Seminar Bank Dunia mengenai ”Donor Support for the Promotion of Rural Cooperatives in Developing Countries: Special Emphasis SubSaharan Africa”, Januari 16-17, Washington, D.C.: the World Bank.
Lipsey, Richard G. (1980), An Introduction to Positive Economics, London: Weidenfeld and Nicolson
Llosa, Vargas (2000), “Liberalism in the New Millennium”, dalam Ian Vàsquez (ed.), Global Fortune: The Stumble and Rise of World Capitalism, Washington, D.C.: Cato Institute.
Loyd, Bernard (2001), “Positioning for Peformance: Reshaping Co-ops for Success in the 21st Century”, makalah dalam Farmer Co-operative Conference, Oktober 29, Las Vegas, McKinsey & Company
Mander, Jerry, Debi Barber, dan David Korten (2003), “Globalisasi Membantu Kaum Miskin?”, dalam International Forum on Globalization, “Globalisasi Kemiskinan & Ketimpangan, Seri Kajian Global, Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas.

76
McKenna, Thomas (2001), “What’s the Value of Cooperatives?”, makalah dalam Farmer Cooperatives Conference”, Oktober 29-30, Las Vegas.
Moene, Karl Ove dan Michael Wallerstain (1993), “Unions versus Cooperatives”, dalam Samuel Bowles, Herbert Gintis, dan Bo Gustafsson (eds.), Markets and Democracy Participation, Accountability and Efficiency, Cambridge University Press.
Mubyarto (2000), Membangun Sistem Ekonomi, Yogyakarta: BPFE. Mulyo, Jangkung Handoyo (2004), ” Revitalisasi Ekonomi Kerakyatan Melalui Pemberdayaan Gerakan Koperasi”, INOVASI, 2(XVI), November
Muelgini, Yoke (2004), ”Respons komponen-komponen permintaan agregat terhadap kebijakan moneter Indoneia”, makalah dalam Seminar Akademik Tahunan Ekonomi I, Desember, Jakarta: Program Studi Ilmu Ekonomi Pascasarjana FEUI dan ISEI
Mutis, Thoby (2001), ”Satu Nuansa, Demokrasi Ekonomi dan Ekonomi Kerakyatan”, Kompas, 29 September.
Nafziger, E. Wayne (1997), The Economics of Developing Countries, International Edition, edisi ke 3, Prentice-Hall International, Inc.
Nayyar, D. (1997), “Globalization: The Past in Our Future, Penang: Third World Network.
Nello, Susan Senior (2000), “The Role of Agricultural Cooperatives in the European Union: A Strategy for Cypriot Accession?”, EUI Working Paper RSC No.2000/42, Robert Schuman Centre for Advanced Studies, European University Institute, Florence.
North, D.C. (1990). Institutional Change, and Economic Performance, Cambridge: Cambridge University Press.
Partomo, Tiktik Sartika dan Abd. Rachman Soejoedono (2002), Ekonomi Skala Kecil/Menengah dan Koperasi, edisi kedua, Jakarta: Ghalia Indonesia.
Peterson, Chris (2005), “Searching for a Cooperative Competitive Advantage”, mimeo, Michigan State University.
Pitman, Lynn (2005), “Cooperatives in Wisconsin”, mimeo, University of Wisconsin Center for Cooperatives. Madison.
Pohlmeler, Lorenz (1990), “Recent Developments in the World Bank’s Approach to Cooperative Support in Africa”, makalah dalam the World Bank Seminar on “Donor Support for the Promotion of Rural Cooperatives in Developing Countries: Special Emphasis SubSaharan Africa”, Januari 16-17, Washington, D.C.
Raghavan, Chakravarty (1990), “Recolonization: The Uruguay Round, GATT and the South, Penang: Third World Network
Rahardjo, Dawam M. (2002a), “Development Policies in Indonesia and the Growth of Cooperatives”, Prisma, The Indonesian Indicator, No.23.
Rahardjo, Dawam M. (2002b), “Apa Kabar Koperasi Indonesia”, Kompas, Jumat, 9 Agustus.
Rodrik, D. (1999), The Global Economy and Developing Countries: Making Openness Work, Washington, D.C.: Overseas Development Council.
Ropke, Jochen (1985), The Economic Theory of Cooperative Enterprises in Developing Countries. With Special Reference of Indonesia, Marburg: University of Marburg.
Rosyidi, Suherman (1996), Pengantar Teori Ekonomi. Pendekatan Kepada Teori Ekonomi Mikro & Makro, edisi revisi, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Rusidi dan Maman Suratman (2002), Bunga Rampai 20 Pokok Pemikiran Tentang Koperasi, Institut Manajemen Koperasi Indonesia, Bandung. Sadono, Sukirno (1985), Ekonomi Pembangunan: Proses, Masalah dan Dasar Kebijaksanaan, Jakarta: FE-UI.
Ruttan, Vernon, W. (2002), ”Social science knowledge and institutional innovation”, Department of Applied Economics, College of Agriculture, Food, and Environmental Science, University of Minnesota, Staff Paper P02-07, May, [http://agecon.lib.umn.edu/mn/p02-07.pdf).
Samuelson, Paul A. (1973), Economics, An Introductory Analysis, edisi ke 9, Tokyo: McGraw Hill KMgakusha, Ltd.
Samuelson, Paul A. dan William D. Nordhaus (1992), Economics, edisi ke 14, Singapura: McGraw Hill, Ltd.
Satriawan, Elan (1997), “Prospek Sektor Pertanian Indonesia pada Era Pemanasan Global”, Media Ekonomi, 4(2).
Scollay, R. dan J. Gilbert (1999a), “Measuring the Gains from APEC Trade Liberalization: An Overview of CGE Assessments”, mimeo, APEC Study Center, New Zealand.
Scollay, R. dan J. Gilbert (1999b), “An APEC Food System: Trade and Welfare Implications by 2005”, mimeo, APEC Study Center, New Zealand.
Scollay, R. dan J. Gilbert (2000) “Measuring the Gains from APEC Trade Liberalization: An Overview of CGE Assessments”, mimeo, APEC Study Center, New Zealand.
Scollay, R. dan J. Gilbert (2001), “An Integrated Approach to Agricultural Trade and Development Issues: Exploring the Welfare and Distribution Issues”, Policy Issues in International Trade and Commodities Series No.11, New York dan Geneva: UNCTAD
Shankar, Ravi dan Garry Conan (2002), Second Critical Study on Cooperative Legislation and policy Reform, New Delhi: ICA, RAPA.
Shavaeddin, S.M. (1994), “The Impact of Trade Liberalization on Export and GDP Growth in Least Developed Countries”, Discussion Paper No.85, Geneva: UNCTAD.
Soetrisno, Noer (2001), “Rekonstruksi Pemahaman Koperasi, Merajut Kekuatan Ekonomi Rakyat”, Instrans, Jakarta Stiglitz, Joseph (2006), Making Globalization Work, New York: W.W. Norton & Company.
Soetrisno, Noer (2003a), ”Pasang Surut Perkembangan Koperasi di Dunia dan Indonesia”, makalah, Jakarta.

77
Soetrisno, Noer (2003b), “Koperasi Indonesia: Potret dan Tantangan”, Jurnal Ekonomi Rakyat, II(5), Agustus.
Soetrisno, Noer (2003c), “Wajah Koperasi Tani dan Nelayan di Indonesia: Sebuah Tinjauan Kritis”, Jurnal Ekonomi Rakyat, II(5), Agustus.
Solikin (2004), “Fluktuasi Makroekonomi dan Respons Kebijakan yang Optimal di Indonesia”, Working Paper PPSK – Bank Indonesia.
Subyakto, Harsoyono dan Bambang Tri Cahyono (1990), Ekonomi Koperasi II, Jakarta: Karunika.
Sugiharto (2007), Peran Strategis BUMN dalam Pembangunan Ekonomi Indonesia Hari Ini dan Masa Depan, PT Elex Media Komputindo dan BUMN Executive Club, Jakarta.
Sumarsono, Sonny (2003), Manajemen Koperasi. Teori dan Praktek, Jakarta: Graha Ilmu.
Suryana (2000), Ekonomi Pembangunan. Problematika dan Pendekatan, Jakarta: Salemba Empat.
Suwandi, Ima (1985), Koperasi, Organisasi Ekonomi Yang Berwatak Sosial, Jakarta: Bharata Karya Aksara.
Tambunan, Tulus T.H. (2004), Globalisasi dan Perdagangan Internasional, Jakarta: Ghalia Indonesia.
Tambunan, Tulus T.H. (2006), Perekonomian Indonesia Sejak Orde Lama hingga Pasca Krisis, Jakarta: P>T. Quantum Pustaka.
Tjager I. Nyoman dan Yudi Pramadi (1997), “Pasar Modal Dalam Menghadapi Persaingan Internasional Pada Era Globalisasi”, dalam Marzuki Usman, Singgih Riphat dan Syahrir Ika (ed.), Peluang dan Tantangan Pasar Modal Indonesia Menghadapi Era Perdagangan Bebas, Jakarta: Institut Bankir Indonesia bekerja sama dengan Jurnal Keuangan dan Moneter.
Todaro, Michael P. Economic Development, semua edisi, Addison-Wesley Publishing Company.
Toffler, Alvin (1980), Future Shock, London: Pan Book Ltd..
Trechter, David (2005), “A Neo-Institutional Assessment of Cooperative Evolution: Comparing the Australian Wheat Board and the Fonterra Dairy Group”, University of Wisconsin at River Falls, Murray McGregor and Roy Murray-Prior, Muresk Institute of Agriculture, dan Curtin Institute of Technology, Western Australia.
Turtiainen, Turto dan J.D.Von Pischke (1986), “Investment and Finance in Agricultural Service Cooperatives”, World Bank Technical Paper No.50, April, Washington, D.C.: the World Bank
UNCTAD (1997), Trade and Development Report 1997, Geneva: United Nations Conference on Trade and Development.
UNCTAD (1999), Trade and Development Report 1999, Geneva: United Nations Conference on Trade and Development.
Vandeburg, Jennifer M, Joan R. Fulton, Susan Hine, dan Kevin T. McNamara (2000), “Driving Forces and Success Factors for Mergers, Acquisitions, Joint Ventures, and Strategic Alliances among Local Cooperatives”, makalah dalam the NCR-194 Annual Meeting, December 13, Las Vegas, Nevada
Verhagen, K. (1984), Cooperation for Survival, Amsterdam.
Warman, Marc (1994), “Cooperative Grain Marketing: Changes, Issues, and Alternatives,” ACS Research Report 123, April, Washington, D.C.: United States Department of Agriculture, Agricultural Cooperative Service.
Whyte, William Foote dan Kathryn King Whyte (1991), Making Mondragon: The Growth and Dynamics of the Worker Cooperative Complex, Ithaca, NY: ILR Press.
Widiyanto (1996), “Profil Keunggulan Bersaing KUD Jatinom”, laporan penelitian, Semarang: BPMA-Undip.
Widiyanto, Ibnu (1998), “Koperasi sebagai Pelaksana Distribusi Barang: Realita dan Tantangan (Sebuah Pendekatan Pragmatis)”, makalah dalam NETSeminar, “Merancang dan Memelihara Jaringan Distribusi Barang Yang Tangguh Dan Efisien Di Indonesia, 1-5 September, Forum TI-ITS, Semarang.
Wolf, Martin (2004), Why Globalization Works, New Haven dan London: Yale University Press.
Young, Linda M. dan Karen M. Huff (1997), “Free Trade in the Pacific Rim: On What Basis?”, dalam Thomas W. Hertel (ed.), Global Trade Analysis: Modelling and Applications, Cambridge University Press.
Zeuli, Kimberly A dan Robert Cropp (2005), Cooperatives: Principles and Practices in the 21st Century, A1457, edisi ke-4, University of Wisconsin, Madison.
Zuvekas, Clarence, Jr. (1979), Economic Development: An Introduction, New.


REVIEW 1.

JUDUL :MASIH RELEVANKAH KOPERASI DI DALAM ERA
MODERENSASI EKONOMI.

PENGARANG : TULUS TAMBUNAN


LATAR BELAKANG MASALAH :
Pada dasarnya koperasi bukan berasal dari Indonesia melainkan koperasi bermula dari inggris dengan misi membantu para buruh dan para petani menghadapi masalah ekonomi mereka,dan baru pada abad 20 koperasi mulai diperkenalkan di Indonesia.
Criteria identitas koperasi merupakan dalil yang akan membedakan kegiatan antara koperasi yang satu dengan koperasi yang lainnya.(Hopke).
Begitu pula dukungan dari Hendar dan Kusnadi yang mengatakan bahwa pada dasarnya dalam berkoperasi harus memiliki makna ganda atau hakikat ganda(identitas),yaitu: anggota sebagai pemilik,sekaligus anggota sebagai pelanggan.
Kesemua pendapat tersebut merupakan perkembangan koperasi di Negara maju dan kopersi dinegara berkembang.yang mana muncul anggapan bahwa koperasi yang ada dinegara maju digunakan sebagai sarana mengatasi ketidakadilan pasar,sedangkan untuk Negara berkembang koperasi digunakan sebagai sarana pencapaian kesejahteraan masyarakat.
Jadi, dalam kata lain, di Indonesia, setelah lebih dari 50 tahun keberadaannya, lembaga yang namanya koperasi yang diharapkan menjadi pilar atau soko guru perekonomian nasional dan juga lembaga gerakan ekonomi rakyat ternyata tidak berkembang baik seperti di negara-negara maju (NM). Oleh karena itu tidak heran kenapa peran koperasi di dalam perekonomian Indonesia masih sering dipertanyakan dan selalu menjadi bahan perdebatan karena tidak jarang koperasi dimanfaatkan di luar kepentingan generiknya.

TUJUAN UTAMA :
1. mengetahui prospek perkembangan koperasi di Indonesia dalam era modernisasi ekonomi
nasional dibawah pengaruh kuat dari globalisasi dan liberalisasi perdagangan dunia.

2. mengetahui strategi yang dilakukan oleh koperasi-koperasi yang berhasil di NM dan di
Indonesia.

3. menyusun rekomendasi tentang pendekatan pemberdayaan koperasi dalam lingkungan
yang berubah terkait dengan modernisasi ekonomi.

METODELOGI :
Metode yang digunakan pengarang dalam mengembangkan jurnal penelitiannya adalah dengan menggunakan tiga pendekatan, yakni:

1. studi literatur .

2. analisis data sekunder .

3. observasi dan wawancara .

RINGKASAN KESIMPULAN

Pada dasarnyalah seharusnya manusia bertindak dan bersikap secara rasional yang sesuai dengan prinsip ekonomi dengan menggunakan sumber daya yang terbatas untuk menghasilkan output yang maksimum,namun tetap menjaga kelangsungan sda yang ada.
Prinsip ini memberikan arahan bagi individual dan masyarakat yang rasional mengenai cara memilih alternatif terbaik untuk mencapai tujuan tersebut, yakni mendapatkan output maksimum, dan dari sekian banyak alternatif, salah satunya adalah membentuk koperasi.
Walaupun tidak disebutkan secara eksplisit di dalam teori,namun demikian dapat kita baca dari pengalaman Negara Maju yang terdapat ditulisan diatas,bahwa koperasi bisa hidup, bahkan berkembang pesat di dalam sistem-sistem ekonomi liberal dan sosialis, maupun ekonomi berdasarkan arus Keynesian.
Kegiatan koperasi sesuai ilmu ekonomi dengan dua alasan utama:
1. mengingat tujuan utama seseorang menjadi anggota koperasi adalah untuk meningkatkan kesejahteraannya, maka motif ekonomi lebih menonjol daripada motif non-ekonomi.
2. koperasi mampu bertahan atau unggul dalam persaingan (terutama jangka panjang) di pasar, yakni: kemampuan menetapkan harga dan struktur pasar.