Rabu, 26 Mei 2010
cara mahasiswa dalam mengatasi berbagai ajaran negatif yang mampu merusak jati diri dan nilai luhur bangsa indonesia :
1.mejadikan lembaga sosial sebagai pusat pertahanan jati diri bangsa
2.menanamkan rasa cinta tanah air yang tinggi
3.menolak segala unsur asing yang mampu membawa dampak buruk bagi tatanan kehidupan bangsa dan negara
Selasa, 25 Mei 2010
cara mencegah pengaruh buruk dari ajaran adan faham yang bertentangan dengan agama dan pancasila:
1.menjadikan agama sebagai filter penuh diri
2.mengikut sertakan peranan orang tua dalam pengendali dari ajaran ajaran negatif tersebut
3.menjadikan berbagai lembaga berwenang dalam pengendali berbagai faham buruk yang bertentangan enga pancasila
makna dasar otonomi daerah yang masih salah kaprah, latar belakang dari otonomi daerah tersebut, dan dampak dari otonomi daerah itu sendiri.
latar belakang dari otonomi daerah tersebut,
dan dampak dari otonomi daerah itu sendiri.
– Makna otonomi daerah hingga saat ini masih sering salah kaprah, dimaknai sebagai otonomi pemerintahan, bukan otonomi yang menyasar kesejahteraan masyarakat. Kondisi ini memungkinkan timbulnya pelanggaran, seperti pembebanan pajak dan retribusi berlebih, maupun kerusakan lingkungan dan praktik korupsi.
Demikian diutarakan pengamat otonomi daerah Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, Umbu Rauta, di Salatiga, Jawa Tengah, Rabu (8/10). Menurut Umbu, salah satu implikasi salah kaprah otonomi daerah terlihat dari upaya pemerintah kabupaten dan kota untuk menggali pendapatan asli daerah yang justru memberi tambahan beban kepada masyarakat.
Sebagai contoh, lanjut Umbu, pemerintah kabupaten dan kota berlomba membuat peraturan daerah yang bertujuan menarik pajak dan retribusi dari berbagai sektor. Akibatnya, kesejahteraan masyarakat yang menjadi sasaran otonomi daerah justru tertinggal karena mereka harus terbebani pajak dan retribusi yang bertambah banyak. Kondisi ini terutama banyak terjadi pada kurun waktu 1999-2004, sebelum terbit UU Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
Latar Belakang
Baik pada tingkat semangat maupun pada tingkat regulasi, aspek pemerintahan daerah atau lazim disebut dengan istilah otonomi daerah, sering mengalami goncangan-goncangan hingga sampai kepada mengalami perubahan-perubahan kebijakan. Pada waktu UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, telah menjadikan pusat sebagai titik sentral dan penentu gerak pemerintahan di daerah yang pada akhirnya sangat bertentangan dengan semangat demokrasi dan keadilan. Memasuki era reformasi yang ditandai oleh bangkitnya demokrasi, dimana Negara menjadi titik sentral yang menentukan gerak kehidupan daerah, harus segera diakhiri. Maka, lahirlah UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yang memberikan kewenangan luas kepada daerah untuk mengatur serta mengurus kepentingan masyarakat setempat, sesuai dengan prakarsa, aspirasi masyarakat yang sejalan dengan semangat demokrasi. Sejalan dengan perjalanan waktu, kebijakan tersebut menuai banyak persoalan, antara lain masalah kordinasi antar daerah otonom tingkat provinsi dan kabupaten, munculnya “raja-raja kecil” di daerah yang cenderung melakukan abuse of power yang mengabaikan nilai etik dalam berpolitik, sulit melakukan supervisi daerah otonom dan lain sebagainya. Kemudian Pemerintah mengeluarkan kebijakan baru mengenai Otonomi Daerah, yakni dengan pemberlakuan UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintahan Pusat dan Daerah. Semangat yang terkandung dalam Undang-Undang tersebut tidak ditujukan untuk melakukan “resentralisasi” atas apa yang telah didesentralisasikan, namun lebih ditujukan untuk mengurangi dampak negatif dan menambah manfaat positif dari otonomi daerah sebagai salah satu agenda utama reformasi. Untuk membangun tata pemerintahan yang baik bagi kebaikan dan kesejahteraan rakyat, implementasi otonomi daerah perlu terus dicermati, dievaluasi dan disempurnakan.
masalah dalam pelaksanaan otono,i daerah adalah :
keinginan yang bertentangan antara pihak pemerintah pusat dan pihak pemerintah daerah.
makna otonomi daerah,latar belakangnya dan segala hal yang bertentangan dalam pelaksanaan otonomi daerah tersebut :
Hakikat Otonomi Daerah adalah upaya pemberdayaan daerah dalam pengambilan keputusan daerah secara lebih leluasa dan bertanggung jawab untuk mengelola sumber daya yang dimiliki sesuai dengan kepentingan, prioritas, dan potensi daerah sendiri. Kewenangan yang luas dan utuh yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi pada semua aspek pemerintahan ini, pada akhirnya harus dipertanggungjawabkan kepada pemerintah dan masyarakat. Penerapan otonomi daerah seutuhnya membawa konsekuensi logis berupa pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah berdasarkan manajemen keuangan daerah yang sehat. Oleh karena itu, diperlukan sistem pengelolaan keuangan daerah yang baik dalam rangka mengelola dana APBD secara transparan, ekonomis, efisien, efektif dan akuntabel.
Seiring dengan perkembangan otonomi daerah, pemerintah pusat semakin memperhatikan dan menekankan pembangunan masyarakat desa melalui otonomi pemerintahan desa. Penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa harus mampu mengakomodasi aspirasi masyarakat, mewujudkan paran aktif masyarakat untuk turut serta bertanggungjawab terhadap perkembangan kehidupan bersama sebagai sesama warga desa. Otonomi desa memiliki makna bahwa kewenangan pemerintahan desa dalam mengatur dan mengurus masyarakat setempat didasarkan pada hak asal usul dan nilai-nilai sosial budaya yang terdapat pada masyarakat setempat namun harus diselenggarakan dalam perspektif adiminstrasi pemerintahan negara yang selalu mengikuti perkembangan zaman. Tujuan pemerintahan dan pembangunan Desa adalah untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat melalui penetapan kebijakan, program dan kegiatan yang sesuai dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan masyarakat.
Secara ide an konsep, kedua otonomi ini bertujuan untuk memeratakan pembangunan yang ujung-ujungnya memeratakan kesejahteraan kepada seluruh masyarakat di level paling bawah, yaitu masyarakat desa. Setiap masyarakat harus ikut menikmati/merasakan kue pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah, sebagai wakil dan pelayan mereka. Masyarakat berhak mendapatkan kehidupan yang layak, yang bisa membiayai kebutuhan hidupnya di Negeri yang kaya raya ini, INDONESIA.
OTONOMI DAERAH DAN DESA telah bergulir dan dilaksanakan oleh Pemerintah hampir 10 tahun, sejak 1999-2000 hingga sekarang. Namun…yang terjadi adalah..harapan masyarakat melalui OTONOMI DAERAH DAN DESA ini masih menggantung di angkasa (awang-awang-kata orang Jawa). Harapan mereka masih jauh menggantung di langit, yang setiap saat hanya bisa mereka pandangi dengan tatapan kosong…Mungkinkan akan terwujud…?
Kekhawatiran masyarakat ini merupakan hal logis..karena kalo kita membaca dan melihat berita di media cetak dan elektronik, hampir tiap hari ada kejadian/ kasus KORUPSI yang dilakukan oleh para Wakil dan Pelayan masyarakat (Pejabat dan Aparat Pemerintahan). Amanah yg mereka emban dikhianati tanpa merasa takut akan dosa. Budaya KKN telah menggerogoti moralitas bangsa ini. Disemua lini pemerintahan, vertikal dan horizontal telah terjadi mentalitas dan kecenderungan KKN, penyalahgunaan wewenang, suap, dan lain-lain. Sebuah budaya yang mencerminkan masyarakat (SDM) yang MISKIN MENTAL (pinjam istilah Motivator no. 1, Andrew Wongso)…
Selama pejabat dan aparat pemerintahan masih bermental seperti di atas…maka ide dasar dan tujuan OTONOMI DAERAH DAN DESA masih akan semakin jauh di langit…. Semoga Allah swt segera menyadarkan setiap wakil dan pelayanan masyarakat akan amanah dan tanggung jawabnya..
A. Latar Belakang
Pendidikan Berbasis Masyarakat merupakan pilot project yang ditujukan untuk meningkatkan kemampuan belajar anak melalui suara, pilihan dan tindakan kolektif masyarakat. Proyek percontohan ini akan dilaksanakan melalui mekanisme Program Pengembangan Kecamatan (PPK), yang merupakan program pemerintah yang ditujukan untuk mengurangi dampak kemiskinan pada masyarakat pedesaan dan untuk meningkatkan kapasitas pemerintahan setempat. PPK difokuskan pada kecamatan yang dinilai termiskin di Indonesia, dan membiayai proyek pembangunan pada tingkat desa melalui sebuah sistem pilihan terbuka, yang memungkinkan berbagai kelompok masyarakat untuk mengusulkan kegiatan pendidikan. Sejauh ini, PPK belum memiliki sistem yang dapat meningkatkan kualitas pendidikan maupun perspektif masyarakat terhadap gagasan inovatif berkaitan dengan pendidikan.
Kelompok sasaran utama dari proyek percontohan Pendidikan Berbasis Masyarakat ini adalah kelompok masyarakat yang terpinggirkan dan bagi para anak murid. Selain peningkatan
fasilitas infrastruktur fisik, proyek percontohan ini akan melibatkan masyarakat agar dapat mempertimbangkan berbagai kegiatan non-fisik, seperti peningkatan kapasitas mengajar, proses dan suasana pembelajaran yang menyenangkan, dan perawatan kesehatan dan gizi bagi para anak. Diharapkan juga bahwa hubungan antara sekolah dan masyarakat akan semakin baik.
Bagaimanapun juga, ada beberapa hal yang dapat dilaksanakan oleh masyarakat namun dengan dampak yang sangat terbatas kecuali dengan keterlibatan dinas pendidikan kabupaten. Misalnya, dinas pendidikan kabupaten dapat mendukung masyarakat dengan informasi dari luar, seperti Undang-Undang Pendidikan No. 20/2003 dan UU tentang Perlindungan Anak No. 23/2002. Yang terakhir misalnya akan melindungi anak dari kekerasan di sekolah maupun di rumah. Berkurangnya kekerasan akan sekaligus meningkatkan kapasitas anak-anak untuk belajar . Pendidikan guru adalah contoh yang lain. Sangat mahal apabila masing-masing sekolah harus melaksanakan pelatihan guru. Namun jauh lebih praktis dan ekonomis apabila kelompok-kelompok masyarakat yang memilih untuk meningkatkan kapasitas gurunya, melakukannya secara bersama di tingkat kabupaten.
Otonomi Daerah merupakan kewenangan Daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingaan masyarakat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat (Thoha, 1998). Dengan otonomi daerah, maka wewenang pusat dilimpahkan kepada daerah untuk menangani urusannya masing-masing. Di Indonesia otonomi daerah tidak dilaksanakan secara frontal untuk segala urusan, tetapi sebagian urusan daerah tidak lagi diintervensi oleh pemerintah pusat. Melihat kondisi ini, maka diharapkan dapat mendorong kemajuan daerah berdasarkan potensi dan sumber daya yang dimiliki.
Penataan otonomi daerah yang seluas-luasnya akan mempengaruhi penataan institusi dan berdampak pada manajemen berbagai sumber daya yang ada di daerah. Apabila otonomi daerah dikonsentrasikan di wilayah kota atau kabupaten, maka propinsi tidak lagi sebagai pemerintah otonom, tetapi bersifat koordinatif. Wewenang penyelenggaraan segala urusan berada pada tingkat kota atau kabupaten. Hal ini akan membawa dampak pada penataan sistem pendidikan, termasuk organisasi penyelenggara, kurikulum, penataan SDM, pendanaan, sistem manajemen, sarana prasarana, dan pengembangan pendidikan daerah.
B. Tujuan Pendidikan Bermasis Masyarakat
Pendidikan Berbasis Masyarakat (PBM) bertujuan untuk membantu pemerintah dalam memobilisasi sumber daya lokal dan meningkatkan peranan masyarakat, meningkatkan rasa kepemilikan dan dukungan masyarakat terhadap sekolah, dan mendukung peranan masyarakat untuk mengembangkan inovasi kelembagaan, serta membantu mengatasi putus sekolah terutama dari SD.
C. Permasalahan
.Besarnya penduduk Indonesia yang menempuh pendidikan luar sekolah.
.Rendahnya Anggaran dari Pemerintah
.Pemerintah belum melihat Pendidikan secara utuh
.Prioritas pemerintah pada pendidikan sekolah.
Otonomi Desa dan Ancaman Kapitalisme Global
Munculnya tuntutan dari masyarakat adat untuk menjadikan masyarakat adat yang berdaulat secara politik, berdaya secara ekonomi, dan bermartabat secara budaya serta muculnya kritikan terhadap penyeragaman bentuk desa model jawa telah menjadikan isu otonomi desa sebagai isu penting dalam agenda dan kebijakan sistem pemerintahan di Indonesia. Terkait dengan masalah legalitas, hingga saat ini pemerintah masih belum memiliki format otonomi desa yang jelas, dimulai dari UU No.22/1948 hingga UU No.32/2004 ternyata belum menjelaskan secara pasti bagaimana posisi dan kewenangan serta bentuk otonomi yang diberakan kepada desa. Oleh karenanya, muncullah inisiasi untuk mengeluarkan RUU Desa sebagai pecahan dari UU No.32/2004 tentang pemerintahan daerah. RUU ini ditujukan untuk menjadikan desa sebagai daerah otonomi tingkat III yakni sebagai unit pemerintan lokal yang otonom sesuai dengan prinsip desentralisasi (desa otonom).
Lahirnya RUU desa juga terkait dengan kelemahan-kelemahan pengaturan desa dalam UU No.32/2004 terutama menyangkut peletakan kewenangan Desa sebagai kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan kepada Desa. Artinya, hingga saat ini, kewenangan desa tergantung pada kemauan pemerintah daerah untuk mendelegasikan kewenangannya. Menghadapi permasalahan tersebut, RUU Desa merekomendasikan bentuk desa otonom sebagai bentuk desa di Indonesia. Adapun desa otonom merupakan bentuk yang tidak begitu jauh berbeda dengan bentuk saat ini disebagian besar pedesaan di Jawa (transisi dari desa adat-desa administratif). Syarat terjadinya desa otonom adalah terjadinya pembagian urusan pemerinath kepada desa dengan jelas serta memungkinkan akses rakyat yang lebih luas terhadap sumber daya alam yang ada. Namun, benarkah dengan adanya RUU desa maka rakyat desa akan semakin mudah dalam mengakses sumber-sumber agraria sebagai manifestasi dari kedaulatan rakyat itu sendiri?.
RUU desa merupakan satu dari tiga rancangan perundang-undangan yang diinisiasi oleh Democratic Reform Support Program (DRSP)-program pendorong pembaruan demokrasi- USAID dalam rangka memuluskan proses desentralisasi di Indonesia. Bersama dengan, RUU Desa menjadi satu kebijakan pecahan dari UU No.32 /2004 tentang pemerintahan daerah. Seperti halnya undang-undang pemerintahan daerah, RUU ini berkutat dalam masalah tata kelola pemerintahan desa dan lebih menyoroti desa dari aspek ketatanegaraan—menentukan posisi, peran dan kewenangan pemerintahan desa dalam pemerintahan. Saat ini RUU ini sedang menjalani konsultasi publik di Sumatera dan Makassar.
Lahirnya RUU desa ini tak lepas dari agenda desentralisasi yang hingga saat ini belum tuntas. Desentralisasi adalah sebagai suatu cara/alat untuk mewujudkan keseimbangan politik, akuntabilitas pemerintah lokal, dan pertanggungjawaban pemerintah lokal. Prasyarat yang harus dipenuhi untuk mencapai hal tersebut diataranya pemerintah daerah harus berotonomi. Otonomi daerah sendiri bisa diakui ketika daerah memiliki teritorial kekuasaan yang jelas, memiliki Pendapatan Asli Daerah (PAD) sendiri, memiliki badan perwakilan yang mampu mengontrol eksekutif daerah, dan adanya kepala daerah yang dipilih sendiri oleh masyarakat daerah melalui suatu pemilihan yang bebas.
Sebagai suatu alat, desentralisasi sendiri adalah suatu hal yang bebas nilai. Artinya, baik-buruknya desentralisasi adalah tergantung dari pelaku dan subjek yang menjalankan desentralisasi itu sendiri. Namun untuk kasus di Indonesia, pengalaman desentralisasi dan otonomi daerah bisa menjadi cermin bagi dilaksanakan tidaknya desentralisasi dan otonomi hingga tingkat desa.
Hasil Penelitian CIFOR pada tahun 2007 di Kutai Barat menyebutkan bahwa desentralisasi menyebabkan peningkatan kegiatan ekploitatif oleh seperti pembalakan liar dan penambangan batubara oleh perusahaan-perusahaan penambangan baik yang legak ataupun illegal. Hal tersebut menyebabkan adanya peningkatan konflik antara masyarakat dan perusahaan. Konflik juga muncul akibat meningkatnya jumlah kepemilikan individu yang akhirnya memunculkan ketimpangan sosial.
Pola kehidupan ekonomi juga ditandai dengan adanya peningkatan kekayaan jangka pendek dan ketergantungan yang besar terhadap pasar dan perkebunan sawit. Kedua hal ini menyebabkan masyarakat kehilangan strategi penghidupan alternatif. Secara umum adanya desentralisasi di Kutai Barat telah menurunkan kondisi ekonomi meskipun dalam hal pelayanan publik (Jalan, gedung pemerintahan, fasilitas kesehatan dan pendidikan) terjadi peningkatan. Ini disinyalir karena pembanguan yang dilakukan tidak menjawab permasalahan yang ada di masyarakat. Pembangunan infrastruktur dan kelengkapan lainnya cenderung ditujukan untuk menarik para investor yang bergerak dibidang ekstraktif.
Contoh lainnya yang menunjukkan dampak negatif dari Desentralisasi adalah hasil Penelitian Smeru di Sulawesi selatan pada tahun 2003. Dalam laporan penelitian tersebut, disebutkan bahwa desentralisasi telah telah memberikan ruang bagi anggota DPRD yang korup untuk mengkorupsi hak-hak rakyat. Hal ini berimbas pada menurunnya pelayanan publik. Dari total pengaduan yang masuk kepada YLKI Sulawesi Selatan pada tahun 2000-2001, 70 persen diataranya adalah pengaduan menyangkut pelayanan publik, selain itu adanya desentralisasi.
Setelah UU No. 22/1999 dilaksanakan banyak tulisan yang menunjukkan kemacetan dalam hubungan antara propinsi dan kabupaten/kota dirasakan menurun. Hal ini disebabkan oleh tingginya tingkat “pembangkangan” pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat. Hasil penelitian lainnya di Provinsi Lampung menunjukkan bahwa selama dua tahun pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah belum ada tanda-tanda kecenderungan pelayanan pemerintah kepada masyarakat akan menjadi lebih baik. Sementara itu laporan dari Sarwadi, salah satu anggota SPI yang menjadi anggota BPD di Jambi menyebutkan bahwa kecenderungan korupsi di lingkungan penyelenggara negara memiliki kecendurangan yang meningkat. Desentralisasi juga telah memunculkan raja-raja kecil yang memiliki kekuasaan di daerah.
Menurut Bank Dunia (2006) Indonesia menjadi satu-satunya negara yang melakukan desentralisasi dengan proses yang sangat cepat apabila dibandingkan negara lainnya dikawasan asia timur dan asia pasifik. Terlalu cepatnya proses desentralisasi di Indonesia pada akhirnya menunjukkan bahwa otonomi daerah yang merangsang pemekaran daerah ini menimbulkan kesan disintegrasi NKRI, padahal merubah struktur kepemerintahan dan menciptakan keakraban sosial baik dalam lingkungan desa ataupun dalam wilayah makro nasional dibutuhkan dalam jangka waktu yang lama (Tjondronegoro, 2007). Tergesa-gesanya desentralisasi yang dilakukan di Indonesia patut dicurigai sebagai salah satu upaya penyerobotan kekayaan bangsa oleh segelintir orang tertententu.
Dari dampak-dampak negatif desentralisasi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa dengan semakin terbukanya kewenangan daerah maka semakin terbuka pula kapitalisme global datang menyusupi dan menggerogoti kekayaan alam nusantara yang seharusnya menjadi milik rakyat. Ketika otonomi daerah sudah mulai berlaku, maka lembaga keuangan internasional dengan mudahnya memberikan pinjaman kepada pemerintah daerah secara langsung, selain itu, investasi disektor –sektor strategis dan ekstratif sudah semakin sulit dikendalikan. Alih-alih menjadikan rakyat semakin sejahtera, desentralisasi dan otonomi daerah yang terjadi saat ini justru malah membuat rakyat bersaing dengan perusahaan-perusahaan besar dalam mengakses kekayaan alam Indonesia. Hal ini juga terkait dengan aturan dan kewenangan daerah dalam mengatur masalah investasi. Pada PP. No.38/2007 tertulis bahwa khusus untuk urusan pemerintahan bidang penanaman modal, penetapan kebijakan dilakukan sesuai peraturan yang berlaku. Artinya, ada kemungkinan dan celah bagi kapitalisme global melalui peraturan ini.
Kecurigaan ini terbukti dengan dikeluarkannya UU No.25/2007 tentang penanaman modal yang diturunkan dalam PP No.111/2007. Didalam PP ini diatur sejumlah kepemilikan investor asing dalam sektor-sektor strategis termasuk sektor pertanian. Selanjutnya, bersamaan dengan UU tersebut, saat ini pemerintah tengah mengatur RUU tentang penetapan lahan pertanian pangan abadi yang didalamnya mengakomodir “kemitraan” antara petani dengan perusahaan agribisnis. Pada saat yang bersamaan, BPN dan Bappenas dengan dibiayai oleh Bank Dunia dan ADB tengah menyusun RUU pertanahan yang disinyalir akan membuka pasar tanah di Indonesia. Oleh karenanya bisa dibayangkan apabila otonomi semacam otonomi daerah diberikan kepada desa sementara itu desa sendiri masih belum memiliki kekuatan dan ketangguhan yang cukup untuk membendung kapitalisme global ini. Saat ini ketika terjadi otonomi daerah, desa-desa sudah banyak mengalami eksploitasi dari perusahaan industri karena adanya SDA dan tenaga kerja murah.
Sikap waspada terhadap upaya desentralisasi saaat ini juga bisa dilihat dari sisi kepentingan lembaga atau institusi yang mendorong desentralisasi. Desentralisasi merupakan salah satu kebijakan yang didorong oleh Bank Dunia. Kebijakan ini disinyalir digunakan sebagai upaya untuk mempercepat proses privatiasai, liberalisasi dan deregulasi untuk kepentingan para penguasa modal yang menjadi stake holder penting dalam tubuh lembaga keuangan ini.
Sebagai suatu simpulan, masalah desentralisiasi dan otonomi sampai ke desa sesungguhnya seperti dua mata pedang bisa jadi baik dan bisa jadi fatal. Dari berbagai penelitian dan realitas yang terjadi sekarang ini, desentralisasi dan otonomi saat ini cenderung memiliki banyak sisi negatifnya dibandingkan dengan sisi positifnya. Otonomi desa tidak akan lepas dari konteks relasi antara desa dengan supradesa. Hal ini karena desa menjadi bagian dari negara yang juga menjalankan sejumlah kewajiban yang dibebankan oleh negara. Karena itu, lebih sekadar swadaya, otonomi desa merupakan persoalan. Desa, khususnya pemerintah desa, mempunyai hak bila berhadapan dengan negara, sebaliknya ia mempunyai kewajiban dan tanggungjawab kepada masyarakat desa. Oleh karena itu, yang menjadi pertanyaan sekarang ini adalah sejauh mana otonomi dan kewenangan yang harus diberikan ke desa? dan Bagaimana kesiapan masyarakat dan para pemimpinnya dalam menjalankan otonomi ini?.
Realitas masyarakat
Kondisi sosial ekonomi masyarakat desa seringkali menjadi sorotan utama bagi para pengambil kebijakan. Sayangnya, banyak orang yang terjebak dengan tidak melihat akar permasalahan apa yang sebenarnya terjadi di Pedesaan. Lebih dari 37 juta rakyat Indonesia hidup dalam kemiskinan. 63,58 persen diantaranya adalah rakyat yang tinggal di pedesaan dan 70 persennya adalah rakyat tani (BPS, 2007). Kondisi ini telah mengakibatkan semakin menipisnya insentif dari sektor pertanian yang akhirnya mendorong pada peningkatan angka pengangguran dan angka urbanisasi. Kemiskinan yang terjadi dipedesaan inilah merupakan muara dari tidak tersedianya akses terhadap alat-alat produksi baik itu berupa akses terhadap sumber daya alam, teknologi, dan juga masalah pasar.
Dalam konteks RUU desa, undang-undang ini tidak menjawab permasalahan tersebut. Undang-undang desa hanya berfokus pada masalah pemerintahan dan lembaga demokrasi desa yang substansinya pun tidak jauh berbeda dengan undang-undang sebelumnya kecuali pada bentuk lembaga demokrasi desa dan sistem penggajian perangkat desa saja. Memang masalah pemerintahan adalah isu kritis sebagai salah satu faktor yang bisa menunjang pada akses sumber daya alam bagi masyarakat desa, namun demikian dalam implementasinya di komunitas akar rumput masih banyak masyarakat desa yang justru tidak mempedulikan Undang-Undang dalam pelaksanaan pemerintahannya.
Dalam pelaksanaan pemerintahan desa sebagian besar masyarakat desa memiliki pluralisme tersendiri meskipun sebagian besar bentuk kelembagaannya sudah mengikuti format resmi. Oleh karena pluralitas itulah maka peran undang-undang disini justru tidak diperlukan. Kalaupun untuk menentukan masalah wewenang pemerintah desa dalam hubungannya dengan pemerintahan yang ada diatasnya, maka peraturan turunan undang-undang sebelumnya sudah cukup untuk mengatur hal-hal tersebut.
Ditetapkannya RUU desa yang memberikan legitimasi otonomi desa tanpa menjelaskan sampai mana wewenang yang diberikan untuk pemerintahan desa justru akan membahayakan kedudukan desa itu sendiri. Hal ini justru malah akan memberikan celah yang lebih besar bagi kepentingan kapitalisme global untuk menyita kekayaan alam yang seharusnya menjadi milik rakyat desa.
Dengan melihat gencarnya agenda kapitalisme di Indonesia saat ini, seharusnya desa menjadi suatu bentuk pertahanan kuat dalam melawan segala bentuk perampasan dan penindasan. Sajogjo mengatakan bahwa otonomi desa yang harus dibangun tidak bisa dikontekskan sebagai kekuasaan pemerintah desa yang benar-benar mandiri. Justru yang perlu dibangun sekarang adalah bagaimana desa-desa membangun jaringan dan memperkuat solidaritas dengan desa-desa disekelilingnya untuk membetuk pertahanan bersama. Hal yang mendesak dilakukan sekarang adalah menyiapkan bagaimana masyarakat desa bisa mandiri dengan mengalihkan pemberian akses kekayaan alam dari tangan para penguasa ketangan rakyat.
cara mencegah faham negatif yang bertentangan dengan agama dan pancasila :
NILAI-NILAI PANCASILA DAN UUD 1945
I. Pancasila
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
Makna sila ini adalah:
* Percaya dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
* Hormat dan menghormati serta bekerjasama antara pemeluk agama dan penganut-penganut kepercayaan yang berbeda-beda sehingga terbina kerukunan hidup.
* Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing.
* Tidak memaksakan suatu agama atau kepercayaannya kepada orang lain.
2. Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab
Makna sila ini adalah:
* Mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan persamaan kewajiban antara sesama manusia.
* Saling mencintai sesama manusia.
*Mengembangkan sikap tenggang rasa.
* idak semena-mena terhadap orang lain.
* Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
* Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
* Berani membela kebenaran dan keadilan.
* Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari masyarakat Dunia Internasional dan dengan itu harus mengembangkan sikap saling hormat-menghormati dan bekerjasama dengan bangsa lain.
3. Persatuan Indonesia
Makna sila ini adalah:
* Menjaga Persatuan dan Kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
* Rela berkorban demi bangsa dan negara.
* Cinta akan Tanah Air.
* Berbangga sebagai bagian dari Indonesia.
* Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa yang ber-Bhinneka Tunggal Ika.
4. Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan
Makna sila ini adalah:
* Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat.
* Tidak memaksakan kehendak kepada orang lain.
* Mengutamakan budaya rembug atau musyawarah dalam mengambil keputusan bersama.
* Berrembug atau bermusyawarah sampai mencapai konsensus atau kata mufakat diliputi dengan semangat kekeluargaan.
5. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Makna sila ini adalah:
* Bersikap adil terhadap sesama.
* Menghormati hak-hak orang lain.
* Menolong sesama.
* Menghargai orang lain.
* Melakukan pekerjaan yang berguna bagi kepentingan umum dan bersama.
II. Makna Lambang Garuda Pancasila
* Perisai di tengah melambangkan pertahanan bangsa Indonesia
* Simbol-simbol di dalam perisai masing-masing melambangkan sila-sila dalam Pancasila, yaitu:
* Bintang melambangkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa
* Rantai melambangkan sila Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab
* Pohon beringin melambangkan sila Persatuan Indonesia
* Kepala banteng melambangkan sila Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan
* Padi dan Kapas melambangkan sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
* Warna merah-putih melambangkan warna bendera nasional Indonesia. Merah berarti berani dan putih berarti suci
* Garis hitam tebal yang melintang di dalam perisai melambangkan wilayah Indonesia yang dilintasi Garis Khatulistiwa
* Jumlah bulu melambangkan hari proklamasi kemerdekaan Indonesia (17 Agustus 1945), antara lain:
* Jumlah bulu pada masing-masing sayap berjumlah 17
* Jumlah bulu pada ekor berjumlah 8
* Jumlah bulu di bawah perisai/pangkal ekor berjumlah 19
* Jumlah bulu di leher berjumlah 45
* Pita yg dicengkeram oleh burung garuda bertuliskan semboyan negara Indonesia, yaitu Bhinneka Tunggal Ika yang berarti “berbeda beda, tetapi tetap satu jua”.
III. Naskah Undang-Undang Dasar 1945
Sebelum dilakukan Perubahan, UUD 1945 terdiri atas Pembukaan, Batang Tubuh (16 bab, 37 pasal, 49 ayat, 4 pasal Aturan Peralihan, dan 2 ayat Aturan Tambahan), serta Penjelasan.
Setelah dilakukan 4 kali perubahan, UUD 1945 memiliki 21 bab, 73 pasal, 170 ayat, 3 pasal Aturan Peralihan, dan 2 pasal Aturan
Tambahan.
Dalam Risalah Sidang Tahunan MPR Tahun 2002, diterbitkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Dalam Satu Naskah, Sebagai Naskah Perbantuan dan Kompilasi Tanpa Ada Opini.
IV. Sejarah
Sejarah Awal
Pada tanggal 22 Juli 1945, disahkan Piagam Jakarta yang kelak menjadi naskah Pembukaan UUD 1945. Naskah rancangan konstitusi Indonesia disusun pada waktu Sidang Kedua BPUPKI tanggal 10-17 Juli 1945. Tanggal 18 Agustus 1945, PPKI mengesahkan UUD 1945 sebagai Undang-Undang Dasar Republik Indonesia.
Periode 1945-1949
Dalam kurun waktu 1945-1949, UUD 1945 tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya karena Indonesia sedang disibukkan dengan perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Maklumat Wakil Presiden Nomor X pada tanggal 16 Oktober 1945 memutuskan bahwa KNIP diserahu kekuasaan legislatif, karena MPR dan DPR belum terbentuk. Tanggal 14 November 1945 dibentuk Kabinet Parlementer yang pertama, sehingga peristiwa ini merupakan penyimpangan UUD 1945.
Periode 1959-1966
Karena situasi politik pada Sidang Konstituante 1959 dimana banyak saling tarik ulur kepentingan partai politik sehingga gagal menghasilkan UUD baru, maka pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang salah satu isinya memberlakukan kembali UUD 1945 sebagai undang-undang dasar, menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 waktu itu.
Pada masa ini, terdapat berbagai penyimpangan UUD 1945, diantaranya:
* Presiden mengangkat Ketua dan Wakil Ketua MPR/DPR dan MA serta Wakil Ketua DPA menjadi Menteri Negara
* MPRS menetapkan Soekarno sebagai presiden seumur hidup
* Pemberontakan G 30S
Periode 1966-1998
Pada masa Orde Baru (1966-1998), Pemerintah menyatakan kembali menjalankan UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen. Namun dalam pelaksanaannya terjadi juga penyelewengan UUD 1945 yang mengakibatkan terlalu besarnya kekuasaan pada Presiden.
Pada masa Orde Baru, UUD 1945 juga menjadi konstitusi yang sangat “sakral”, diantara melalui sejumlah peraturan:
* Ketetapan MPR Nomor I/MPR/1983 yang menyatakan bahwa MPR berketetapan untuk mempertahankan UUD 1945, tidak berkehendak akan melakukan perubahan terhadapnya
* Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983 tentang Referendum yang antara lain menyatakan bahwa bila MPR berkehendak mengubah UUD 1945, terlebih dahulu harus minta pendapat rakyat melalui referendum.
* Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985 tentang Referendum, yang merupakan pelaksanaan TAP MPR Nomor IV/MPR/1983.
V. Perubahan UUD 1945
Salah satu tuntutan Reformasi 1998 adalah dilakukannya perubahan (amandemen) terhadap UUD 1945. Latar belakang tuntutan perubahan UUD 1945 antara lain karena pada masa Orde Baru, kekuasaan tertinggi di tangan MPR (dan pada kenyataannya bukan di tangan rakyat), kekuasaan yang sangat besar pada Presiden, adanya pasal-pasal yang terlalu “luwes” (sehingga dapat menimbulkan mulitafsir), serta kenyataan rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggara negara yang belum cukup didukung ketentuan konstitusi.
Tujuan perubahan UUD 1945 waktu itu adalah menyempurnakan aturan dasar seperti tatanan negara, kedaulatan rakyat, HAM, pembagian kekuasaan, eksistensi negara demokrasi dan negara hukum, serta hal-hal lain yang sesuai dengan perkembangan aspirasi dan kebutuhan bangsa. Perubahan UUD 1945 dengan kesepakatan diantaranya tidak mengubah Pembukaan UUD 1945, tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta mempertegas sistem presidensiil.
Dalam kurun waktu 1999-2002, UUD 1945 mengalami 4 kali perubahan yang ditetapkan dalam Sidang Umum dan Sidang Tahunan MPR:
* Sidang Umum MPR 1999, tanggal 14-21 Oktober 1999
* Sidang Tahunan MPR 2000, tanggal 7-18 Agustus 2000
* Sidang Tahunan MPR 2001, tanggal 1-9 November 2001
* Sidang Tahunan MPR 2002, tanggal 1-11 Agustus 1999
da kita juga dapat menjadikan agama kita sebagai dasar dan pedoman kuat dalam penolakan ajaran ajaran dan faham negatif tersebut.
cara mahasiswa mengatasi dan menyikapi berbagai ajaran dan paham yang ada sebagai cerminan masyarakat yang berbudi luhur :
cara mahasiswa mengatasi dan menyikapi berbagai ajaran dan paham yang ada sebagai cerminan masyarakat yang berbudi luhur :
1. Latar belakang pemikiran. Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kaya akan sumber daya nasional secara geografis berada pada posisi silang diantara dua benua yaitu Asia dan Australia serta dua samudera yaitu Hindia dan Pasifik. Kondisi geografis Indonesia ini tentunya akan banyak mengundang berbagai macam bentuk ancaman dari berbagai bentuk kepentingan. Menjadi tanggung jawab seluruh komponen bangsa untuk melindungi kepentingan dan mendukung kebijakan pemerintah dalam membangun ketahananan nasional, sehingga kesinambungan pembangunan nasional dapat berlangsung untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bertanggung jawab. Kemajuan pembangunan bangsa sudah menampakkan bukti nyata, namun demikian ternyata masih ada upaya yang dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab untuk mengingkari dan menggeser nilai-nilai luhur cita-cita bangsa sehingga menghilangkan makna yang sesungguhnya. Setiap bangsa mempunyai aspirasi langgeng, yaitu kesejahteraan dan keamanan, sebagai pangkal tolak cita-cita yang ingin diwujudkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sesuai dengan nilai-nilai budaya, etika serta tata lakunya. Cita-cita ini dirumuskan dalam tujuan nasional, serangkaian cita-cita yang mendasar dan menyeluruh serta saling berkaitan merupakan sistem pemikiran yang logis, berbentuk sistem nilai yang diyakini kebenarannya, menjadi dasar dalam menata masyarakat dan memberikan arah serta perwujudan tujuan nasional. Pengaruh perkembangan lingkungan strategis mengantar kepada terjadinya globalisasi di seluruh dunia, hal ini ditandai dengan adanya kemajuan teknologi informasi, telekomunikasi dan travel (3T) sehingga jarak dan waktu yang menghubungkan antar negara di dunia seolah tanpa batas. Bangsa Indonesia merupakan bagian dari masyarakat dunia yang turut merasakan perubahan tersebut, keadaan ini tidak bisa dihindari dan mau tidak mau harus dihadapi oleh seluruh komponen bangsa Indonesia secara mandiri. Kondisi dan potensi NKRI yang memiliki nilai-nilai strategis mengandung suatu kekuatan, tetapi di sisi lain juga memiliki kerawanan, ditinjau dari aspek geografi, demografi, sumber kekayaan alam, politik, ekonomi, sosial budaya maupun pertahanan dan keamanan negara, sehingga perlu mendapat perhatian yang serius dari seluruh komponen bangsa.
Hakikat ketahanan nasional adalah merupakan suatu konsepsi di dalam pengaturan dan penyelenggaran kesejahteraan dan keamaanan di dalam kehidupan nasional, maka dalam implementasinya perlu dilakukan sinergi antara aspek sosial (Social aspect) dan aspek alamiah (Natural aspect). Dari sisi internal, berbagai faktor seperti demokrasi, desentralisasi dan internal birokrasi itu sendiri, masih berdampak pada tingkat kompleksitas permasalahan dan dalam upaya mencari solusi. Dari sisi eksternal, faktor demokratisasi dan desentralisasi telah membawa dampak pada proses pengambilan keputusan kebijakan publik. Dampak tersebut terkait dengan makin meningkatnya tuntutan akan partisipasi masyarakat dalam kebijakan publik, meningkatnya tuntutan penerapan prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas dan kualitas kinerja publik serta taat pada hukum, meningkatnya tuntutan dalam pelimpahan tanggung jawab, kewenangan dan pengambilan keputusan.
Dari pemikiran tersebut diatas dihadapkan kepada gambaran geografis wilayah provinsi Nusa Tenggara Timur maka secara khusus memiliki dua macam wilayah perbatasan yaitu perbatasan antar Provinsi dan perbatasan antar negara (RI-RDTL) didaratan maupun dilautan. Kondisi ini jelas akan menjadi pemikiran seluruh komponen bangsa terkait dengan kondisi sosial kehidupan masyarakat kawasan perbatasan. Permasalahan, sistem kelembagaan (organisasi) dan ketatalaksanaan (manajemen) pemerintahan yang belum memadai, dengan persoalan antara lain adalah: pelanggaran disiplin, penyalahgunaan kewenangan dan masih banyaknya praktek KKN, rendahnya kinerja sumber daya manusia dan kelembagaan aparatur, rendahnya efisiensi dan efektifitas kerja, rendahnya kualitas pelayanan umum, rendahnya kesejahteraan PNS, dan
banyaknya peraturan perundang-undangan yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan keadaan dan tuntutan pembangunan. Hal tersebut terkait dengan makin meningkatnya ketidakpastian akibat perubahan faktor lingkungan politik, ekonomi, dan sosial yang terjadi dengan cepat, makin derasnya arus informasi dari manca negara yang dapat menimbulkan infiltrasi budaya dan terjadinya kesenjangan informasi dalam masyarakat (digital divide) akan sangat berpengaruh dengan pembangunan ketahanan sosial masyarakat Indonesia yang bermukim dikawasan perbatasan RI-RDTL . Seperti diamanatkan dalam Undang-undang RI Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara dalam pasal 1 ayat (6) bahwa Kawasan perbatasan adalah bagian dari Wilayah Negara yang terletak pada sisi dalam sepanjang batas wilayah Indonesia dengan negara lain, dalam hal batas Wilayah Negara didarat, Kawasan perbatasan berada di Kecamatan. Selanjutnya pada Bab VII dijelaskan tentang peran serta masyarakat khususnya pada pasal 19 ayat (1) huruf a menegembangkan pembangunan Kawasan Perbatasan dan b menjaga serta mempertahankan Kawasan Perbatasan, selanjutnya pada ayat (2) untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pemerintah dapat melibatkan masyarakat untuk ikut berperan serta dalam penegelolaan Kawasan Perbatasan dan pada ayat (3) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Pembangunan kawasan perbatasan erat kaitannya dengan peningkatan pertahanan negara, karena pertahanan negara akan melibatkan seluruh komponen bangsa seperti yang sudah diamanatkan dalam Undang-undang RI Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Pada hakekatnya pertahanan negara merupakan kepentingan Nasional yang harus dilaksanakan oleh seluruh komponen bangsa, pertahanan negara yang kuat sangatlah diperlukan dalam rangka mempertahankan kedaulatan, keutuhan wilayah NKRI dan melindungi keselamatan segenap bangsa Indonesia dari ancaman dan gangguan baik yang muncul di dalam negeri maupun yang datang dari luar negeri. Pada pasal 7 ayat (2) diamanatkan bahwa sistem pertahanan negara dalam menghadapi ancaman militer menempatkan Tentara Nasional Indonesia sebagai kompoen utama dengan didukung oleh komponen cadangan dan komponen pendukung. Bertitik tolak dari perkembangan situasi nasional dewasa ini dan asas-asas yang terkandung dalam UUD 1945 serta Undang-undang RI Nomor 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara maka Sistem Pertahanan Negara Republik Indonesia bersifat semesta yang melibatkan seluruh warga negara, wilayah dan Sumber Daya Nasional (Sumdanas) lainnya sehingga perlu dipersiapkan secara dini oleh Pemerintah dan diselenggarakan secara total, terpadu, terarah, berkesinambungan dan berkelanjutan dengan berorientasi kepada pendekatan kesejahteraan (prosperity aproach) dan pendekatan keamanan (security aproach) secara berimbang.
Perbatasan negara sebagai manifestasi kedaulatan wilayah mempunyai peranan penting dan nilai strategis dalam mendukung keberhasilan pembangunan nasional. Keberhasilan pembangunan di daerah perbatasan berdampak penting bagi kedaulatan negara, mendorong peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat sekitar, dan memperkuat kondisi ketahanan masyarakat dalam pertahanan negara. Wilayah perbatasan perlu mendapatkan perhatian secara sungguh-sungguh karena kondisi tersebut akan mendukung keamanan nasional dalam kerangka NKRI. Sehingga Operasi Pengamanan Perbatasan merupakan suatu hal yang harus dijamin oleh TNI demi tegaknya kedaulatan negara RI, sehingga perlu adanya pemberdayaan wilayah perbatasan guna mengantisipasi dan mengeliminasi permasalahan perbatasan guna mewujudkan deteksi dini, cegah dan tangkal dini melalui ketahanan sosial kawasan perbatasan.
Korem 161/Wirasakti sebagai satuan pelaksana dan operasional Kodam IX/Udayana memiliki Tugas Pokok menegakkan kedaulatan Negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dan melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia di wilayah Nusa Tenggara Timur dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara dalam rangka mendukung tugas pokok Kodam IX/Udayana. Tugas Pokok ini berlaku sama untuk seluruh wilayah Provinsi NTT, sedangkan sebagai pelaksana tugas dan fungsi departemen Pertahanan (PTF dephan) diwilayah maka tugasnya adalah menyusun Rencana Umum Tata Ruang wilayah pertahanan disinerjikan dengan Recana Tata Ruang Wilayah NTT, menyelenggarakan rencana pertahanan Korem 161/Wirasakti sebagai sub kompartmen strategis Kodam IX/Udayana, menyelenggarakan pembinaan potensi pertahanan secara terpadu dan mengkoordinasikan pembinaan kemampuan dan kekuatan pertahanan wilayah.
Provinsi NTT memiliki Sumber Daya Nasional (SDM,SDA,SDB dan Sarana Prasarana) yang cukup potensial untuk mendukung pertahanan negara didaerah, tetapi sampai dengan saat ini belum diberdayakan secara optimal, sehingga diperlukan pola pikir yang utuh melalui terobosan-terobosan dalam rangka percepatan pembangunan dikawasan perbatasan termasuk pulau-pulau terluar dan daerah-daerah tertinggal diseluruh wilayah Nusa Tenggara Timur melalui pemberdayaan wilayah. Dengan demikian diperlukan adanya upaya-upaya yang mengacu kepada kearifan lokal Pemerintah Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur, sehingga pembangunan daerah Nusa Tenggara Timur berjalan secara seimbang dengan pengembangan kekuatan pertahanan didaerah. Dari latar belakang permasalahan tersebut maka dapat ditentukan rumusan masalahnya adalah diperlukan pemberdayaan wilayah pertahanan di kawasan perbatasan Nusa Tenggara Timur dalam rangka membangun ketahanan sosial. Adapun manfaat dari makalah ini adalah untuk memberikan gambaran kepada Pemerintah Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur tentang gagasan pemikiran mewujudkan Pemberdayaan wilayah pertahanan di Nusa Tenggara Timur yang berorientasi pendekatan kesejahteraan (prosperity aproach) dan pendekatan keamanan (security aproach) secara berimbang dan sebagai bahan masukan kepada perangkat Pemerintahan Daerah Nusa Tenggara Timur dalam menentukan kebijaksanaan pembangunan sesuai kearifan lokal dalam rangka mendukung pemberdayaan wilayah pertahanan di kawasan perbatasan Provinsi Nusa Tenggara Timur khususnya dalam membangun ketahanan sosial di perbatasan.
2. Realita aktual Kondisi Sosial di perbatasan RI-RDTL. Wilayah perbatasan di Nusa Tenggara Timur meliputi wilayah kecamatan dan atau wilayah Kabupaten yang secara geografis dan demografis berbatasan dengan Negara Timor Leste dan Australia meliputi wilayah Kabupaten Kupang , Alor, Belu dan Timor Tengah Utara yang berbatasan dengan Timor Leste serta Kabupaten Rote Ndao yang berbatasan dengan Australia. Secara garis besar terdiri dari kawasan lindung dan kawasan budi daya sehingga sangat memungkinkan menimbulkan masalah di bidang ketahanan sosial, diantaranya sebagai berikut :
a. Dalam tinjauan aspek ekonomi. Ekonomi wilayah dilakukan untuk menentukan prioritas dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat di daerah perbatasan NTT dengan pokok permasalahan sebagai berikut : 1) Pertumbuhan sektor pertanian rata – rata pertahun terus menurun; 2) Sektor primer terutama pertanian yang diharapakan banyak menampung tenaga kerja, kenyataannya bekerja tidak penuh (pengangguran terselubung); 3) Produktivitas tenaga kerja sektor primer termasuk pertanian yang dapat dianalogikan sebagai upah kotor per tenaga kerja jauh dari kebutuhan minimum; 4) Pertumbuhan sektor jasa yang sangat tinggi, tidak mampu menyerap tenaga kerja dari unskill sektor pertanian; 5) Sektor industri, khususnya industri yang berhubungan produktivitas pertanian, yang mampu menyerap tenaga kerja masih tertinggal; 6) Pendapatan perkapita masih sangat rendah dibandingkan dengan daerah lain dan 7) Tingkat kemiskinan cendrung meningkat seiring dengan tingginya pengangguran tersembunyi.
b. Dalam tinjauan aspek sosial. Kondisi sosial di proyeksikan melalui jumlah penduduk dan jumlah keluarga serta tingkat pendidikan dan kesehatan, sebagai berikut: 1) Jumlah penduduk, berdasarkan angka pertumbuhan penduduk yang cukup meningkat dapat dipergunakan sebagai acuan bagi penyediaan sarana dan prasarana wilayah, sumber daya manusia untuk pelayanan serta penggunaan lahan; 2) Kebutuhan pendidikan, standar penyedian sarana pendidikan masih kurang memadai pada setiap SD, SMP dan SMA/SMK yang meliputi : a) Sarana mengajar; b) Sarana belajar; c) Sasaran penyediaan dan pengembangan mutu tenaga pengajar dan d) Pengembangan Kurikulum Pendidikan; 4) Kebutuhan Kesehatan, standar penyediaan sarana dan prasarana kesehatan dirasakan belum sesuai dengan harapan seperti tenaga medis dan program kesehatan itu sendiri masih kurang memadai meliputi : a) Sasaran pembangunan sarana kesehatan antara lain : (1) Obat-obatan; (2) Sarana pengobatan dan (3) Sarana pelayanan kesehatan; b) Sasaran penyediaan dan pengembangan mutu tenaga kesehatan antara lain: (1) Puskesmas; (2) Puskesmas pembantu; (3) Bidan Desa dan (4) Apotek; 5) Prasarana Peribadatan, mayoritas penduduk yang tinggal di daerah perbatasan adalah beragama Katolik dan Kristen Prostestan, sedangkan selanjutnya adalah agama Islam, Hindu dan Budha. Bila di kaitkan dengan sarana yang ada juga belum bisa diharapkan oleh masyarakat; 6) Fasilitas Perumahan dan Pemukiman, pembangunan fasilitas perumahan dan pemukiman meliputi pengembangan perumahan, air bersih, drainase, limbah dan persampahan serta perkembangan jaringan listrik dan telekomunikasi masih belum mencukupi: a) Kebutuhan jumlah rumah idealnya sama dengan jumlah keluarga, kebutuhan ruang minimal rumah menurut ukuran standar minmal 9 m² atau standar ambang dengan angka 7,2 m² per orang; b) Kebutuhan air bersih bagi penduduk, untuk air minum maupun kebutuhan rumah tangga lainnya untuk pedesaan 60 liter/hari, maka kebutuhan air bersih sangat tergantung dari pertambahan penduduk; c) Pengembangan drainase diarahkan pada daerah perkotaan dan jalan di daerah yang mempunyai kemiringan dan rawan banjir, sebagai upaya untuk menghindari daerah tergenang air dan pengrusakan bahu jalan dan d) Prasaran kelistrikan dan telekomunikasi. Kebutuhan daya listrik semakin meningkat setiap tahun, seiring dengan perkembangan dan kemajuan pembangunan, diharapkan seluruh Kecamatan sudah memiliki sumber daya listrik baik yang bersifat jaringan maupun yang bersifat setempat.
c. Dalam tinjauan aspek regulasi. Batas negara antara RI-RDTL mengatur tentang ketentuan hukum yang menghubungkan batas kedua negara dan disepekati oleh kedua belah pihak, kesepakatan yang mengikat hubungan kedua negara adakalanya masih dilanggar oleh masayarakat diperbatasan, pelanggaran tersebut tentunya akan merugikan negara. Adapun pelanggaran yang terjadi diantaranya adalah: 1) illegal logging, masih terdapat adanya upaya penyelundupan kayu (Ilegal logging) ke Timor Leste baik melalui jalan utama (pos Libas) maupun jalan tikus. Hal ini dilakukan dengan mengatas namakan asosiasi masyarakat setempat maupun masyarakat secara perorangan. Penyelundupan kayu ke luar ini dilakukan, dikarenakan penjualan dapat dilakukan dengan cepat dan pembeli selalu siap menerima kayu setiap saat dengan harga yang lebih tinggi; 2) illegal trading, masih banyak ditemukan adanya pengiriman pupuk bersubsidi ke Timor Leste dengan harga jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan harga di dalam negeri termasuk masuknya barang-barang illegal ke wilayah NTT/Indonesia khususnya sembako seperti gula yang harganya lebih murah dibanding produk lokal, demikian juga barang-barang lainya yang dibutuhkan oleh masyarakat perbatasan; 3) illegal traficking , adanya hubungan keluarga / persaudaraan yang kuat antara masyarakat perbatasan yang berada diwilayah Indonesia dengan masyarakat yang berada di wilayah Timor Leste. Hal ini dikarenakan kedua kelompok masyarakat tersebut masih terdiri dari satu suku dengan budaya yang dilakukan bersama-sama. Dengan adanya kegiatan ini mengakibatkan banyaknya jalan setapak / jalan tikus disepanjang perbatasan yang memberikan kerawanan terhadap pengamanan perbatasan; 4) private farming, adanya perkebunan penduduk kedua wilayah yang telah melewati garis perbatasan, dapat menyebabkan adanya kegiatan keluar masuk perbatasan sehingga ikut mempengaruhi pengawasan perbatasan karena wilayah perkebunan ini pada beberapa wilayah masih di klaim tidak melewati perbatasan dan dampak yang ditimbulkan dengan adanya kegiatan ini dapat mengakibatkan terjadinya pergeseran patok perbatasan secara sengaja untuk menguntungkan pihak tertentu dan 5) border lossing, pergeseran patok perbatasan sengaja maupun tidak sengaja oleh oknum tertentu khususnya Warga Negara Timor Leste yang dilakukan guna kepentingan pribadi terjadi pada beberapa tempat yang dilakukan untuk private farming dan illegal logging.
3. Analisa. Masalah sosial diwilayah perbatasan Nusa Tenggara Timur semakin menjadi perhatian serius pemerintah, baik daerah maupun pusat. Selain permasalahan batas wilayah yang dikaitkan dengan adanya ancaman yang mungkin datang dari luar wilayah masing-masing negara, tetapi juga tidak dapat dapat dipisahkan dari masalah sosial masyarakat di daerah perbatasan seperti realita aktual yang ada diperbatasan RI-RDTL saat ini. Dengan demikian diperlukan analisa secara logis untuk mengatasi permasalahan sosial masyarakat diwilayah perbatasan sehingga akan terbangun ketahanan sosial diperbatasan yang muaranya akan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat diperbatasan dan lebih luas lagi maka pertahanan negara akan semakin kuat. Dalam tinjauan 3 (tiga) aspek tersebut diatas maka dapat dilakukan suatu analisa akademi sebagai berikut:
a. Dalam tinjauan aspek Ekonomi. Akibat dari permasalahan tersebut jika tidak cepat ditangani oleh pemerintah maka akan dapat menimbulkan konflik baik dari dalam maupun adanya intervensi pihak luar (Timor Leste) dengan menyebarkan opini-opini yang dapat mempengaruhi masyarakat di wilayah perbatasan. Permasalahan dari aspek perekonomian masyarakat dikawasan perbatasan RI-RDTL akan menjadi suatu kerawanan yang terkait dengan kehidupan sosial masyarakat itu sendiri. Dengan demikian akan sangat berpengaruh terhadap terbentuknya ketahanan sosial masyarakat diperbatasan. Apabila masalah perekonomian masyarakat tidak dapat diatasi oleh pemerintah daerah maka dari tahun ketahun akan selalu terjadi permasalahan klasik yang berdampak kepada taraf hidup masyarakat, sehingga masyarakat akan kurang kepeduliannya terhadap rasa nasionalisme kebangsaan atau bahkan masyarakat akan apatis terhadap pemerintahan. Kemiskinan akan menjadi kelemahan bagi pemerintah untuk membangun kekuatan pertahanan diperbatasan, karena kemiskinan tersebut merupakan suatu ancaman terhadap rasa nasionalisme masyarakat.
b. Dalam tinjauan aspek sosial. Permasalahan sosial akibat kesenjangan ekonomi tentunya akan mengundang terjadinya konflik yang berbentuk kerusuhan massa hal ini menimbulkan permasalahan yang cukup pelik bila dimanfaatkan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab dalam menciptakan situasi yang tidak kondusif. Meningkatnya angka laju pertumbuhan jumlah penduduk sudah tentu akan diikuti oleh meningkatnya jumlah keluarga dalam kehidupan sosial komunitas masyarakat khususnya diwilayah perbatasan, dengan demikian menuntut meningkatnya kebutuhan hidup masyarakat khususnya dalam bidang sarana dan prasarana umum. Perbauran antara masyarakat lokal NTT dengan WNI eks Timor Timur menjadi persoalan tersendiri yang menjadi perhatian pemerintah pusat dan daerah. Terbatasnya Sarana dan Prasarana pendukung untuk kepentingan kebutuhan hidup, tersedianya sarana dan prasarana yang diperlukan untuk meningkatkan SDM dan taraf hidup masyarakat diwilayah perbatasan belum tersedia secara seimbang dengan kebutuhan yang diperlukan masyarakat bila ditinjau dari aspek sosial termasuk kebutuhan sarana dan prasarana pendukung yang diperlukan seperti sarana tekhnologi informasi. Sebagai pintu gerbang negara, sarana dan prasarana ini diharapkan dapat mengatur hubungan sosial dan ekonomi antara masyarakat Indonesia dengan masyarakat lainnya di wilayah NTT. Dengan sarana dan prasarana perbatasan yang memadai akan mengurangi keluar masuknya orang dan barang secara illegal.
c. Dalam tinjauan aspek regulasi. Terjadinya kegiatan illegal dan pelanggaran hukum merupakan dampak dari tuntutan ekonomi dan keinginan untuk meningkatkan status sosial masyarakat diwilayah perbatasan. Lemahnya penegakan hukum akibat dari rasa kemanusiaan yang lebih menonjol daripada ketegasan untuk menindak masyarakat yang masih sangat meragukan untuk dikategorikan sebagai pelanggar hukum, hal ini menyebabkan makin maraknya pelanggaran hukum di wilayah perbatasan. Sebagai contoh, di wilayah perbatasan darat, berbagai praktek pelanggaran hukum seperti penyelundupan barang (illegal trading), upaya pelintasan batas tanpa dokumen resmi (illegal human trafficking) dan masih adanya permasalahan identitas kewarganegaraan ganda. Demikian pula di wilayah perbatasan laut, masih terjadi pencurian ikan. Selanjutnya dengan belum disepakatinya 5 (lima) titik garis batas dengan negara RDTL secara menyeluruh menimbulkan kerawanan terhadap kemungkinan terjadinya pemindahan tanda atau patok batas yang menyebabkan kerugian negara. Namun secara umum, titik koordinat batas negara di darat sudah disepakati. Permasalahan batas yang perlu diprioritaskan penanganannya saat ini adalah perbatasan laut, di mana garis batas laut, terutama Batas Landas Kontinen (BLK) dan batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) sampai dengan saat ini belum disepakati secara hukum. Belum jelas dan tegasnya batas laut antara Indonesia dan beberapa negara tertentu serta ketidaktahuan masyarakat, khususnya nelayan menyebabkan terjadinya pelanggaran batas oleh para nelayan Indonesia maupun nelayan asing. Apabila ketentuan hukum yang mengikat antar kedua negara tidak segera dituntaskan dan disosialisasikan kepada masyarakat yang bermukim dikawasan perbatasan khususnya dan masyarkat NTT pada umumnya maka akan selalu terjadi dan akan terus berulang permasalahan illegal diperbatasan darat maupun laut. Dengan demikian akan membingungkan masyarakat dan akan melemahkan ketahanan sosial masyarakat khususnya pada kehidupan ekonominya.
4. Pemberdayaan Wilayah pertahanan di perbatasan. Dari analisa tersebut bila dihadapkan dengan pembangunan ketahanan sosial masyarakat NTT maka perlu adanya upaya untuk melakukan percepatan pembangunan diantaranya melalui pemberdayaan wilayah pertahanan diperbatasanNTT (RI-RDTL). Selaras dengan tugas atau urusan pemerintah di daerah dalam menyiapkan potensi daerah menjadi kekuatan pertahanan sebagaimana dinyatakan pada pasal 10 ayat 4 dan 5 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, pelaksanaannya saling berhubungan dengan institusi fungsional departemen terkait termasuk TNI dengan kekuatan wilayahnya. Wilayah pertahanan mencakup aspek geografi, demografi dan kondisi sosial yang dikelola, dibina dan didayagunakan menjadi kekuatan pertahanan dalam bentuk ruang, alat dan kondisi juang yang tangguh, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai ruang yang memberi keleluasaan bermanuver dan beraktifitas dengan aman bagi komponen sistem pertahanan Negara, serta menjadikannya sebagai tumpuan Logistik wilayah guna kelangsungan perang berlarut, menjadi alat kekuatan pertahanan dan menciptakan kondisi yang kondusif. Sehingga dengan pemberlakuan Undang-undang Republik Indonesia nomor 32 tahun 2004, memberi wewenang yang seluas-luasnya kepada Pemerintah Daerah beserta seluruh komponen masyarakat setempat untuk mengatur kepentingan masyarakat di daerahnya dengan cara sendiri, sesuai per Undang Undangan yang berlaku. Selanjutnya diperbaharui kembali melalui Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2008 khusus pada pasal 26 ayat (1) Wakil Kepala Daerah mempunyai tugas pada huruf b adalah membantu Kepala Daerah dalam mengkoordinasikan kegiatan instansi vertikal di daerah, menindak lanjuti laporan dan/atau temuan hasil pengawasan aparat, melaksanakan pemberdayaan perempuan dan pemuda, serta mengupayakan pengembangan dan pelestarian sosial budaya dan lingkungan hidup. Selanjutnya dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Peraturan Mendagri No 13/2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah yang di antaranya melarang bantuan keuangan/hibah/sosial secara terus-menerus kepada lembaga di luar pemerintahan, sudah direvisi oleh Mendagri Mardiyanto dalam surat edaran No 900/2677/SJ tertanggal 8 November 2007 yang dikirimkan kepada Gubernur, Bupati/Walikota dan Ketua DPRD se Indonesia, menjelaskan bahwa hibah dapat diberikan kepada instansi vertikal (untuk kegiatan TMMD, pengamanan daerah, penyelenggaraan Pilkada), serta organisasi semi pemerintahan seperti PMI, KONI, Pramuka, Korpri, dan PKK, juga ke organisasi non-pemerintahan (ormas, LSM) dan masyarakat. Dalam butir ke 2 surat edaran itu disebutkan, pemberian hibah dan bantuan tersebut sifatnya tidak mengikat atau terus-menerus yang diartikan bahwa hibah dan bantuan itu sangat tergantung kepada kemampuan keuangan daerah. Butir ke-2 itu berbeda dengan penjelasan Permendagri No 13/2006 yang menyebutkan bahwa hibah/bantuan keuangan/sosial yang terus-menerus dan mengikat tidak diperbolehkan. Dalam Permendagri No 59/2007 ini bahwa hibah tetap diperbolehkan jika keuangan daerah memang mampu.
Mengacu kepada pemberlakuan Undang-undang dan Peraturan Mendagri tersebut maka untuk peran Pemerintah Daerah ditingkat provinsi maupun kabupaten di Nusa Tenggara Timur dalam rangka membina dan pendayagunaan potensi sumber daya nasional untuk kepentingan pertahanan negara dapat dilakukan diantaranya dengan cara sebagai berikut: pertama, memberikan bantuan off budget dari pos APBD yang dilakukan dalam kerangka yang tidak bertentangan dengan per Undang Undangan; kedua, meningkatkan kekuatan pertahanan negara dengan didukung oleh kemampuan Sumber Daya Manusia , Sumber Daya Alam dan Sumber Daya Buatan dan sarana serta prasarana ( Sumdanas ); ketiga, melibatkan berbagai pihak (sebagai stickkeholders) dari kalangan pemerintah dan masyarakat guna membangun kebersamaan dan kesatuan dalam menghadapi segala bentuk ancaman dan gangguan keamanan serta kejahatan bersenjata maupun non bersenjata dan keempat, memberdayakan keberadaan jajaran Korem 161/WS dalam tugas bantuan diwilayah Nusa Tenggara Timur untuk percepatan pembangunan sosial didaerah perbatasan, daerah tertinggal/pesisir dan pulau-pulau terluar. Selanjutnya untuk merealisasikan upaya-upaya tersebut maka peran yang dapat dilakukan oleh Korem 161/WSI diantaranya adalah dengan cara sebagai berikut:
a. Tugas bantuan Korem 161/Wirasakti kepada pemerintah daerah provinsi Nusa Tenggara Timur dalam Pemberdayaan Wilayah Pertahanan di kawasan perbatasan dan daerah tertinggal/pesisir. Tugas Korem 161/Wirasakti dalam memberdayakan wilayah pertahanan dan kekuatan pendukungnya harus selaras dengan tugas pemerintah daerah Nusa Tenggara Timur dalam mempersiapkan sistem pertahanan negara secara dini yang melibatkan seluruh warga negara, wilayah dan sumber daya nasional lainnya. Penyelenggaraannya dilakukan secara total, terpadu, terarah dan berlanjut sebagaimana dinyatakan pada pasal 1 ayat 2 UU RI Nomor 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Realitanya, tugas Korem 161/Wirasakti dalam memberdayakan wilayah pertahanan dan kekuatan pendukungnya itu dilaksanakan di daerah-daerah, mengingat penggelaran kekuatan Korem 161/Wirasakti tersebar diseluruh daerah, baik itu kekuatan komando kewilayahan maupun kekuatan satuan tempur. Korem 161/Wirasakti sebagai bagian dari Kodam IX/Udayana bertugas pokok menegakkan kedaulatan negara dan keutuhan wilayah daratan NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 serta melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia di wilayah daratan Nusa Tenggara Timur dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara serta memantapkan stabilitas wilayah didaratan Nusa Tenggara Timur yang memiliki perbatasan secara langsung dengan Australia dan RDTL. Tugas lainnya adalah melaksanakan pengamanan wilayah perbatasan darat Indonesia dengan RDTL di wilayah daratan Timor, melaksanakan pembangunan dan pembinaan kekuatan TNI Matra Darat di wilayah NTT, melaksanakan pembinaan teritorialdi wilayah NTT untuk kepentingan Pertahanan Negara di darat serta melaksanakan tugas-tugas lain sesuai dengan peraturan Perundang undangan yang berlaku. Dalam tugas perbantuan Korem 161/Wirasakti berdasarkan UU RI Nomor 34 tahun 2004 adalah merupakan tugas bantuan TNI dalam kerangka keselamatan umum yang pelaksanaannya melalui OMSP. Penyelenggaraannya berdasarkan permintaan bantuan militer oleh Pemerintah Provinsi untuk menangani suatu tindakan darurat, termasuk dalam kerangka pelaksanaan program TNI yang terkoordinasi seperti bantuan pengamanan tamu negara, bantuan kepada pemerintah provinsi, bantuan SAR, dan bantuan pemberdayaan wilayah dalam rangka pertahanan. Selanjutnya tugas Korem 161/Wirasakti dalam pemberdayaan wilayah negara di NTT dilaksanakan oleh Korem 161/Wirasakti sebagai pengemban fungsi pelaksana tugas dan fungsi pertahanan negara di daerah. Dihadapkan kepada tugas-tugas tersebut maka dalam era otonomi daerah, Korem 161/Wirasakti dituntut memiliki peran yang strategis dan pro aktif, terutama dalam hal peningkatan pertahanan negara diwilayah melalui pemberdayaan wilayah pertahanan yang berorientasi kepada pendekatan kesejahteraan dan pendekatan keamanan termasuk pengawasan pengelolaan dan penyelamatan sumber daya alam. Namun di sisi lain, untuk melaksanakan peran tersebut, Korem 161/Wirasakti dihadapkan pada kesulitan yang menyangkut kelembagaan, sumber daya manusia dan kesulitan lainnya menyangkut anggaran. Sejalan dengan tuntutan reformasi sebagai satuan kewilayahan maka Korem 161/Wirasakti memiliki tugas pembinaan dan operasional satuan TNI di daerah. Dalam hal pembinaan wilayah (Binwil) yang sekarang dinyatakan sebagai wilayah tugas dan tanggung jawab pemerintah/Pemerintah Provinsi, namun demikian dihadapkan dengan kerawanan serta ancaman faktual dan potensial, maka keberadaan Korem 161/Wirasakti masih sangat diperlukan. Oleh sebab itu pengelolaan Pertahanan Negara (hanneg) merupakan salah satu fungsi pemerintahan negara yang tidak diotonomikan. Di sisi lain pengelolaan pertahanan negara ini merupakan tanggung jawab bersama segenap instansi pemerintahan dan seluruh komponen bangsa. Oleh karena itu, tugas Korem 161/Wirasakti selaku lembaga pemerintah di daerah pemegang otoritas pengelolaan pertahanan negara dikatakan luas dan berat karena menyangkut pembinaan semua aspek sumber daya nasional yang terdiri dari sumber daya manusia (SDM), sumber daya alam (SDA), sumber daya buatan (SDB), sarana prasarana (sarpras) wilayah untuk jangka panjang, yakni untuk kepentingan pertahanan negara bila saatnya diperlukan. Semua sumber daya tersebut tersebar di seluruh wilayah NTT yang dalam keadaan damai sehari-hari dikelola oleh intansi/lembaga departemen dan non departemen (LPND), Pemerintah Provinsi serta semua komponen masyarakat untuk kepentingan kesejahteraan dan kemakmuran. Untuk dapat melaksanakan hal tersebut maka Korem 161/Wirasakti harus mampu mewujudkan koordinasi dengan semua pihak (intansi/lembaga departemen, non departemen, swasta, LSM, dll) yang terkait agar manajemen dan kinerja masing-masing organisasi tersebut selaras dan serasi dengan kepentingan pertahanan negara sesuai Doktrin Pertahanan Rakyat Semesta (Hanrata) dan UU No. 3 /2002 tentang Pertahanan Negara. Berkaitan dengan hal tersebut diatas maka tugas Korem 161/Wirasakti dalam rangka pemberdayaan wilayah pertahanan di darat adalah dengan menyelenggarakan perencanaan, pengembangan, pengerahan, dan pengendalian wilayah pertahanan untuk kepentingan pertahanan negara di darat sesuai dengan Sistem Pertahanan Semesta (Sishanta) melalui: pertama, membantu pemerintah daerah untuk menyiapkan potensi nasional menjadi kekuatan pertahanan aspek darat yang dipersiapkan secara dini, yang Meliputi wilayah pertahanan beserta kekuatan pendukungnya, untuk melaksanakan Operasi Militer untuk Perang, yang pelaksanaannya didasarkan pada kepentingan negara sesuai dengan Sishanta; kedua, membantu pemerintah daerah menyelenggrakan pelatihan kemiliteran secara wajib bagi warga negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan ketiga, membantu pemerintah daerah memberdayakan rakyat sebagai kekuatan pendukung.
Dalam menetapkan bentuk pemberdayaan wilayah pertahanan di Nusa Tenggara Timur melalui peningkatan ketahanan sosial maka solusi yang dapat dilakukan diantaranya melalui: a. Pembangunan dan peningkatan infrastruktur kawasan perbatasan dan daerah tertinggal, fungsi pembinaan potensi Nasional di daerah untuk didayagunakan guna mendukung upaya pertahanan negara. Fungsi ini adalah dalam rangka mempersiapkan wilayah dalam upaya pertahanan negara, termasuk mengumpulkan data dan informasi medan (aspek geografis, demografis dan kondisi sosial), membina dan mempersiapkan rakyat terlatih (Hansip, Wanra dan Kader Bela Negara), mempersiapkan logistik wilayah serta membina ketahanan wilayah guna kepentingan pertahanan. Adapun beberapa pokok kegiatan yang dapat dilakukan dalam mempertahankan kedaulatan NKRI antara lain: pertama, pembangunan dan peningkatan prasarana Jalan (Prioritaskan Pembangunan) di Sepanjang Perbatasan Darat. Pemerintah daerah Nusa Tenggara Timur memiliki wilayah perbatasan darat dengan negara Timor Leste sehingga harus memprioritaskan pembangunan prasarana jalan di sepanjang perbatasan. Jalan tersebut menghubungkan antar daerah diperbatasan dan meningkat ke pusat kota atau pusat pemukiman terdekat. Tujuan pembangunan jalan tersebut adalah untuk merangsang pembangunan kota atau pemukiman baru di dekat perbatasan. Kelak, sarana transportasi darat itulah media "perkuatan" ketahanan ekonomi (juga sosial budaya) di daerah-daerah tersebut; kedua, pembangunan dan peningkatan pemukiman penduduk dikawasan perbatasan dan daerah tertinggal. Setelah di sepanjang perbatasan dibangun jalan yang terhubung ke pusat kota atau pusat pemukiman terdekat, pemerintah daerah memperhatikan pembangunan pemukiman kawasan perbatasan dan daerah tertinggal lainnya/pesisir. Pemerintah Daerah harus menyusun konsep pengembangan wilayah perbatasan secara komprehensif agar wilayah baru yang dibentuk dapat hidup baik secara ekonomi maupun sosial; ketiga, pembangunan Pangkalan (Pos Pamtas) dan sarana Militer. Sistem Pertahanan Negara adalah suatu sistem yang berdasarkan undang-undang untuk menyelenggarakan pertahanan negara, melalui suatu kebijakan pertahanan yang ditetapkan untuk melakukan upaya nasional secara terpadu dan terus menerus dengan melibatkan segenap unsur dan potensi agar dibina menjadi suatu kekuatan pertahanan nasional dalam rangka mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dihadapkan kepada keterbatasan anggaran negara yang dialokasikan untuk kepentingan pertahanan, maka diperlukan peran aktif dari Pemerintah daerah untuk Ikut serta membantu penyiapan sarana pertahanan di wilayahnya seperti pembangunan sarana prasarana latihan militer di daerah latihan maupun perbatasan serta ikut membantu penyiapan dislokasi bagi pembanguann pangkalan militer baik berupa dislokasi Satuan baru maupun penyiapan daerah pertahanan. Selain solusi diatas untuk mendukung penyiapan potensi ketahanan sosial masyarakat diwilayah perbatasan dapat dilaksanakan dengan upaya lain, diantaranya adalah melakukan penghijauan, pemanfaatan lahan tidur, penyiapan dan pengembangan lahan, perbaikan lahan kritis, perbaikan sarana umum, Penyiapan sarana pertahanan, apabila upaya ini dapat dilakukan secara sinergi dan berkesinambungan maka ketahanan sosial masyarakat akan dapat diwujudkan; b. Pembinaan Teritorial di wilayah perbatasan, pembinaan kemampuan pertahanan wilayah pada hakekatnya merupakan pembinaan segenap sumber daya nasional, dilaksanakan sejak dini ke dalam komponen-komponen pertahanan negara, yakni komponen utama, Komponen Cadangan dan Komponen Pendukung dalam rangka mewujudkan suatu sistem pertahanan negara. Pertahanan wilayah diarahkan untuk mewujudkan daya tangkal nasional, baik secara militer maupun nirmiliter. Pembinaan kemampuan pertahanan di wilayah perbatasan dilaksanakan secara bersama-sama oleh pemerintah daerah dan pusat melalui Departemen pertahanan dan TNI. Perbatasan antar negara memiliki makna yang luas, yakni mencakup batas hukum teritorial suatu negara dan juga berarti salah satu simbol eksistensi dan kedaulatan negara. Penegasan garis perbatasan juga berarti pengakuan internasional terhadap kedaulatan negara tersebut. Perbatasan dalam perspektif konvensional yang didominasi oleh pemahaman perbatasan sebagai domain yang harus di jaga secara strategis oleh militer dari berbagai kemungkinan infiltrasi dari luar. Untuk itu pembinaan kemampuan pertahanan wilayah diarahkan untuk membina komponen utama pertahanan negara, yakni TNI yang profesional untuk memiliki kemampuan yang andal dalam menjalankan fungsinya sebagai penangkal , penindak dan pemulih NKRI yang meliputi : pertama, kemampuan pertahanan di wilayah perbatasan yang dikembangkan adalah sebagai berikut : a) Kemampuan pertahanan udara yang mampu mengamankan wilayah perbatasan yang terdiri atas kemampuan pertahanan udara area, pertahanan udara terminal dan pertahanan udara titik; b) Kemampuan pertahanan udara yang mampu memberikan keleluasaan bagi matra laut dan darat dalam mengemangkan strategi pertempuran; c) Kemampuan pemukul strategis yang mengintegrasikan pertahanan udara, laut dan darat yang dapat menghancurkan atau menghambat musuh yang hendak melakukan invasi ke wilayah kita; d) Kemampuan pertahanan wilayah yang bertumpu pada pertahanan pulau-pulau yang ada di daratan NTT dan e) Kemampuan perlawanan teknologi dan elektronika strategis untuk mengamankan sistem komunikasi dan pancaran elektronika sendiri, serta mengacaukan sistem komunikasi dan pancaran elektronika lawan; kedua, kemampuan Pemberdayaan wilayah, salah satu tugas Korem 161/Wirasakti adalah membantu pemerintah daerah Provinsi NTT dalam pemberdayaan wilayah pertahanan dengan cakupan potensi nasional menjadi kekuatan pertahanan, pelatihan dasar kemiliteran, serta pemberdayaan rakyat sebagai kekuatan pendukung. Tugas pemberdayaan membutuhkan kecakapan atau keahlian khusus, yang mencakup penguasaan karakteristik wilayah serta sumber daya alam yang ada di wilayah perbatasan. Pemberdayaan wilayah pada dasarnya akan dapat dilaksanakan apabila kehidupan sosial masyarakat diwilayah tersebut dapat berjalan dengan baik, artinya kebutuhan dasar masyarakat diwilayah tersebut dapat dipenuhi, seperti kebutuhan primer dalam kehidupan sehari-hari, kebutuhan dasar akan kesehatan dan kebutuhan dasar akan pendidikan. Adapun implikasinya terhadap ketahanan sosial masyarakat diwilayah perbatasan dalam pembangunan segala aspek kehidupannya sangat ditentukan oleh kondisi stabilitas keamanan wilayah perbatasan NTT. Apabila terjadi konflik, maka akan berpengaruh terhadap ketahanan nasional bangsa Indonesia, terutama pada ketahanan wilayah perbatasan. Oleh karena itu, pada saat konflik timbul dipermukaan, maka ketegangan-ketegangan yang terjadi membawa pengaruh terhadap ketahanan wilayah perbatasan, menyangkut aspek politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan yang saling berintegrasi satu sama lainnya. Implikasi tersebut diantaranya adalah: a) aspek politik: 1) perhatian Pemerintah Daerah terhadap wilayah perbatasan sekarang ini semakin meningkat, terbukti dengan berbagai kebijakan pemerintah daerah tentang rencana tata ruang wilayah yang memprioritaskan pada wilayah perbatasan sebagai fokus pembangunan ekonomi. Selain itu, pihak pemerintah daerah, telah berencana membentuk kantong-kantong ekonomi di wilayah perbatasan; 2) meningkatnya rasa nasionalisme, tumbuhnya rasa nasionalisme khususnya dikalangan masyarakat perbatasan, menimbulkan gelombang pasang surut rasa nasionalisme bangsa yang tergugah oleh adanya konflik. Meningkatnya rasa nasionalisme, dapat dibuktikan dari langkah nyata masyarakat di sekitar wilayah perbatasan untuk memberikan dukungan moril dan informasi kepada TNI dan POLRI dalam mengamankan wilayah perbatasan dan 3) Kesadaran warga terhadap pentingnya perbatasan sebagai simbol kedaulatan negara. tergugahnya hati nurani masyarakat tentang pentingnya wilayah perbatasan sebagai simbol kedaulatan negara yang harus dijaga sampai akhir hayat. Masyarakat mulai menyadari bahwa perbatasan bukan urusan TNI-POLRI semata, tapi urusan seluruh bangsa Indonesia; b) aspek ekonomi: Di wilayah perbatasan NTT, kehidupan masyarakat sangat miskin dan terbelakang jika dibandingkan wilayah-wilayah lain di Indonesia. Dengan demikian membawa implikasi yang signifikan terhadap ketahanan wilayah perbatasan dalam bidang ekonomi. Beberapa hal menonjol dalam bidang ekonomi sebagai berikut: 1) tingkat ekonomi masyarakat masih rendah di bandingkan dengan wilayah yang berada di luar perbatasan sehingga berdampak pada kondisi sosial masyarakat dengan meningkatnya angka kemiskinan dan penyakit busung lapar; 2) meningkatnya kerawanan di wilayah perbatasan maka menimbulkan ekses negatif terhadap investor asing, para investor mengkhawatirkan timbulnya gangguan keamanan yang berdampak pada dunia usaha mereka dan 3) pembangunan wilayah perbatasan mendapatkan kenaikan anggaran untuk digunakan dalam meningkatkan bidang infrastruktur wilayah perbatasan sehingga dapat bersaing dengan daerah-daerah lain yang berada di luar wilayah perbatasan; c) aspek Sosial Budaya, masalah tapal batas menjadi issu yang rawan dan perlu segera dicari solusinya, mengingat kesenjangan sosial yang telah tercipta, akibat kebijakan pemerintah pusat dalam beberapa dasawarsa belakangan ini belum juga diperbaiki, akibatnya mobilitas penduduk Indonesia di wilayah perbatasan lebih tinggi ke wilayah luar (RDTL), menjadi masalah yang cukup memprihatinkan, sebab dalam jangka panjang dapat berubah menjadi ancaman disintegrasi, mengingat masyarakat tersebut akan semakin longgar dan mudah melepaskan identitasnya dan d) aspek Pertahanan dan keamanan, sementara ini di wilayah perbatasan sering terjadi pencurian sumberdaya alam, penyelundupan serta lintas batas orang secara illegal, merongrong otoritas negara dan pemerintah, baik pusat maupun daerah setempat. Upaya yang dapat dilakukan oleh jajaran Korem 161/Wirasakti untuk mengantisipasi peningkatan pertahanan dan keamanan diwilayah perbatasan dilakukan melalui: 1) kegiatan pembinaan teritorial dalam lingkup ketahanan sosial, sebagai satuan kewilayahan maka Korem 161/Wirasakti membantu pemerintah provinsi NTT dalam kegiatan pembinaan teritorial. Adapun dalam pelaksanaannya setiap prajurit Korem 161/Wirasakti sebagai aparat teritorial harus mampu secara profesional untuk menjabarkan 5 (lima) kemampuan teritorial sebagai pedoman tugasnya adalah sebagai berikut : (a) kemampuan temu cepat dan lapor cepat, kemampuan untuk dapat menyelenggarakan penginderaan terhadap lingkungan sehingga setiap perubahan dan perkembangan dalam masyarakat dapat diketahui sedini mungkin; (b) kemampuan manajemen teritorial, kemampuan untuk dapat mengikuti perkembangan dalam kehidupan masyarakat yang mencakup bidang IPOLEKSOSBUD dan Hankam serta psikologi massa untuk menemukan hal-hal yang dapat menimbulkan gejolak yang mengakibatkan gangguan terhadap keadaan serta mampu mengambil tindakan pencegahan dalam rangka memelihara stabilitas didaerah; (c) kemampuan penguasaan wilayah, kemampuan untuk dapat mengikuti perkembangan dalam kehidupan masyarakat yang mencakup IPOLEKSOSBUD dan Hankam serta psikologi untuk dapat menentukan hal-hal yang dapat menghambat jalannya pembangunan dan ikut serta dalam menggerakan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan sesuai dengan lingkup tugas tanggung jawabnya diwilayah; (d) kemampuan pembinaan rakyat terlatih, kemampuan untuk dapat membina dan memproyeksikan segenap potensi wilayah beserta rakyatnya dalam rangka menyelenggarakan sistem pertahanan rakyat semesta dan (e) kemampuan komunikasi sosial, kemampuan komunikasi sosial untuk mampu menterjemahkan program pembangunan nasional maupun daerah dengan bahasa yang sederhana serta dapat menggugah keinginan dan keikut sertaan masyarakat dalam bidang pembangunan sesuai dengan strata SDM diwilayah; 2) Pembinaan wilayah oleh pemerintah dalam bidang kesejahteraan, untuk dapat mewujudkan pembangunan ketahanan sosial dalam rangka pembinaan wilayah, maka pemerintah dipandang perlu melakukan upaya-upaya pembinaan dan peningkatan penanganan sebagai berikut : (a) meningkatkan pendidikan yang berkualitas, relevan, efisien dan efektif yang dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Melalui peningkatan kesempatan berpendidikan bagi masyarakat diperbatasan dengan meningkatkan fasilitas pelayanan pendidikan dari segi kuantitas dan kualitas terutama penyebarannya, namun perluasan kesempatan belajar harus di ikuti pula dengan relevansi jenis dan jenjang pendidikan dengan kebutuhan masyarakatnya sehingga dapat lebih efektif dan efisien; (b) meningkatkan derajat dan kualitas kesehatan masyarakat melalui pelayanan yang dapat dijangkau seluruh masyarakat. Melalui peningkatan derajat kesehatan masyarakat dengan pola hidup sehat, pemerataan pelayanan kesehatan, meningkatkan fasilitas sarana dan prasarana kesehatan serta peningkatan kualitas gizi masyarakat yang tiap tahun melanda wilayah perbatasan dan berdampak pada penurunan kualitas sumber daya manusia; (c) memberdayakan ekonomi rakyat dengan mengembangkan pelaku ekonomi yang mampu memanfaatkan keunggulan potensi lokal. Melalui peningkatan kesejahteraan penduduk yang saat ini cukup memprihatinkan akibat masih tingginya angka kemiskinan dan disebabkan oleh rendahnya pendapatan perkapita, meningkatya angka pengangguran, belum berkembangnya sektor riil serta rendahnya pertumbuhan dan produktivitas UKM dan Koperasi, untuk itu perekonomian di wilayah perbatasan saat ini masih mengandalkan sektor-sektor tradisional harus juga memperhatikan sektor-sektor non tradisional seperti industri dengan memanfaatkan potensi lokal yang ada; (d) meningkatkan infrastruktur yang memadai agar masyarakat dapat memiliki aksesibilitas untuk memenuhi kebutuhan hidup yang layak. Melalui peningkatan kesejahteraan masyarakat juga perekonomian, sangat bergantung pada kelayakan infrastruktur pembangunan yang ada. Untuk itu pemerintah akan meningkatkan penyediaan sarana dan prasarana infrastruktur baik dalam jumlah, kualitas serta penyebarannya terutama sarana dan prasarana air dan listrik, transportasi perumahan dan pemukiman; (e) meningkatkan penegakan supremasi hukum dalam rangka menjelmakan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN serta mewujudkan masyarakat yang adil dan sadar hukum. Melalui penataan dan pembinaan hukum tingkat daerah serta pemerintah ingin menempatkan supremasi hukum sebagai landasan pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahan, dengan mengedepankan norma/kaidah hukum dalam masyarakat serta nilai-nilai sosial dan rasa keadilan masyarakat; (f). meningkatkan pembangunan yang berbasis tata ruang dan lingkungan hidup, melalui penanganan masalah penataan ruang yang merupakan salah satu matra dalam perencanaan pembangunan daerah, serta masalah lingkungan hidup yang erat kaitannya dalam mendukung kehidupan masyarakat sehari-hari dan (g) mempercepat penanggulangan kemiskinan dan pengembangan kawasan perbatasan, melalui percepatan penanggulangan masalah yang mendasar pada masyarakat di perbatasan yakni masalah kemiskinan dengan sejumlah rentetan ikutannya yang rawan terhadap masalah-masalah lintas batas termasuk penyelundupan; 3) Pembinaan oleh Komponen bangsa lainnya sesuai profesi, peran serta komponen bangsa lainnya sesuai dengan bidang tugas dan tanggung jawab masing-masing sangat berpengaruh terhadap percepatan pembangunan ketahanan sosial masyarakat diperbatasan, diantaranya adalah sebagai berikut: (a) DPRD sebagai Lembaga legistlatif didaerah, anggota legislatif adalah wakil-wakil rakyat yang dipilih melelui Pemilu, diharapkan dapat mengatur dan menetapkan peraturan daerah melalui regulasi yang efektif terutama yang terkait dengan memperjuangkan nasib rakyat di daerah perbatasan, melaksanakan peninjauan secara langsung sehingga dapat mengetahui kondisi nyata ketahanan sosial masyarakat diperbatasan (dilapangan), sehingga dapat diperjuangkan kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan agar hidup setara dengan mereka yang tinggal di perkotaan. Permasalahan yang ada dapat dimusyawarahkan untuk dicarikan solusinya terutama peningkatan taraf hidup menuju masyarakat sejahtera; (b) LSM, sebagai lembaga non pemerintah berkewajiban melakukan upaya menampung aspirasi masyarakat untuk dikomunikasikan dengan pemerintah setempat dalam penentuan prioritas pembangunan dan melakukan kontrol terhadap pelaksanaannya bukan tendensius kepada provokasi dan bukan mencari solusi; (c) organisasi kepemudaan, dapat membantu pemerintah dengan melakukan kegiatan kepemudaan sebagai wujud mempererat persaudaraan yang dapat menumbuhkan rasa nasionalisme kebangsaan, sehingga tidak mudah dipengaruhi oleh bangsa lain, wujud kegiatannya diantaranya adalah mengaktifkan kegiatan kepramukaan diwilayah perbatasan; (d) Aparat penegak hukum, dapat memberikan perlindungan dan kepastian hukum terhadap pelaku kejahatan, jangan berpihak kepada kelompok yang kuat, karena dimata hukum semua manusia memiliki kesempatan yang sama untuk dibela kebenarannya (mengutamakan azas keadilan dan kebenaran); (e) Imigrasi, memberikan pelayanan yang professional, jangan mudah dipengaruhi oleh kekuatan finansial, teliti dalam memeriksa administrasi lintas batas, bekerjasama dengan pihak imigrasi RDTL terutama terkait dengan masyarakat (WNI) yang dianggap masih memiliki masalah/catatan hukum dengan pemerintahan RDTL sehingga masyarakat (WNI) tidak terjebak oleh kelemahan imigrasi yang terkait dengan masalah hukum; (f) Pengusaha, agar lebih banyak melibatkan penduduk setempat sebagai tenaga kerja dalam mengerjakan usahanya, sehingga masyarakat setempat tidak hanya menjadi penonton yang pemarah; (g) Kaum intelektual, akademisi dan pemberhati, hendaknya membuat suatu kajian ilmiah yang dapat disumbangkan kepada pemerintah daerah sebagai solusi untuk mengatasi masalah sosial diperbatasan dan sekaligus solusi untuk dapat membangun ketahanan sosial diwilayah perbatasan sehingga dapat digunakan sebagai bahan referensi yang dapat dipedomani dan (h) Insan Pers/media masa (cetak dan elektronik), memberikan pemberitaan yang bersifat membangun, media cetak dan elektronik dapat melakukan fungsi kontrolnya melalui pemberitaan, tetapi pemberitaan harus berimbang dan tidak bersifat menyudutkan atau bersifat provokasi yang dapat merugikan pihak-pihak tertentu secara perorangan maupun institusi kelembagaan. Insan pers sangat diperlukan untuk memberitakan hal-hal yang tidak diketahui oleh aparat pemerintah maupun aparat penegak hukum tetapi harus teruji kebenarannya.
5. Penutup.
Kesimpulan. Wilayah Nusa Tenggara Timur yang berbatasan secara langsung dilaut maupun didaratan dengan Negara Timor Leste dan merupakan garis depan pertahanan NKRI saat ini masih memiliki permasalahan diperbatasan terutama yang terkait dengan ketahanan sosial masyarakat di perbatasan, terutama mengenai pelintas batas penduduk tradisional dan lalu lintas barang-barang selundupan serta pelarian pelanggar hukum sehingga perlu dilakukan peningkatan pembangunan ketahanan sosial di wilayah perbatasan agar terwujud kesejahteraan masyarakat dengan melakukan upaya – upaya yang meliputi ; peningkatan pendidikan, pelayanan kesehatan, memberdayakan ekonomi rakyat, peningkatan infrastruktur, penegakan supremasi hukum, peningkatan pembangunan dan penanggulangan kemiskinan. Pembinaan kemampuan pertahanan di wilayah perbatasan dilaksanakan secara bersama-sama oleh pemerintah daerah dan pusat melalui Departemen pertahanan dan TNI serta komponen bangsa lainnya dalam rangka percepatan perkembangan pembangunan di wilayah perbatasan sehingga berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat yang berimplementasi terhadap ketahanan sosial di perbatasan. Melalui kemampuan manajerial dalam menyelesaikan persoalan kawasan perbatasan di NTT untuk kepentingan negara apabila dapat direalisasikan, maka rasa cinta terhadap tanah air akan tertanam dalam sanubari setiap anak bangsa yang berdomisili di wilayah perbatasan tersebut. Semua ini dapat diwujudkan apabila ada kepedulian dari seluruh komponen bangsa dengan melibatkan unsur-unsur terkait sebagai aparatur pemerintahan (pusat dan daerah) termasuk seluruh jajaran Korem 161/Wirasakti dengan tugas pokoknya menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia di wilayah NTT dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan Negara dalam rangka mendukung tugas pokok Kodam IX/Udayana, selanjutnya dijabarkan dalam tugas pengamanan perbatasan, pemberdayaan wilayah pertahanan dan tugas bantuan kemanusiaan yang dikelola dengan metode penerapan sistem manajemen modern oleh unsur-unsur pimpinan didaerah.