Selasa, 25 Mei 2010

makna dasar otonomi daerah yang masih salah kaprah, latar belakang dari otonomi daerah tersebut, dan dampak dari otonomi daerah itu sendiri.

makna dasar otonomi daerah yang masih salah kaprah,
latar belakang dari otonomi daerah tersebut,
dan dampak dari otonomi daerah itu sendiri.


– Makna otonomi daerah hingga saat ini masih sering salah kaprah, dimaknai sebagai otonomi pemerintahan, bukan otonomi yang menyasar kesejahteraan masyarakat. Kondisi ini memungkinkan timbulnya pelanggaran, seperti pembebanan pajak dan retribusi berlebih, maupun kerusakan lingkungan dan praktik korupsi.

Demikian diutarakan pengamat otonomi daerah Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, Umbu Rauta, di Salatiga, Jawa Tengah, Rabu (8/10). Menurut Umbu, salah satu implikasi salah kaprah otonomi daerah terlihat dari upaya pemerintah kabupaten dan kota untuk menggali pendapatan asli daerah yang justru memberi tambahan beban kepada masyarakat.

Sebagai contoh, lanjut Umbu, pemerintah kabupaten dan kota berlomba membuat peraturan daerah yang bertujuan menarik pajak dan retribusi dari berbagai sektor. Akibatnya, kesejahteraan masyarakat yang menjadi sasaran otonomi daerah justru tertinggal karena mereka harus terbebani pajak dan retribusi yang bertambah banyak. Kondisi ini terutama banyak terjadi pada kurun waktu 1999-2004, sebelum terbit UU Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.






Latar Belakang

Baik pada tingkat semangat maupun pada tingkat regulasi, aspek pemerintahan daerah atau lazim disebut dengan istilah otonomi daerah, sering mengalami goncangan-goncangan hingga sampai kepada mengalami perubahan-perubahan kebijakan. Pada waktu UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, telah menjadikan pusat sebagai titik sentral dan penentu gerak pemerintahan di daerah yang pada akhirnya sangat bertentangan dengan semangat demokrasi dan keadilan. Memasuki era reformasi yang ditandai oleh bangkitnya demokrasi, dimana Negara menjadi titik sentral yang menentukan gerak kehidupan daerah, harus segera diakhiri. Maka, lahirlah UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yang memberikan kewenangan luas kepada daerah untuk mengatur serta mengurus kepentingan masyarakat setempat, sesuai dengan prakarsa, aspirasi masyarakat yang sejalan dengan semangat demokrasi. Sejalan dengan perjalanan waktu, kebijakan tersebut menuai banyak persoalan, antara lain masalah kordinasi antar daerah otonom tingkat provinsi dan kabupaten, munculnya “raja-raja kecil” di daerah yang cenderung melakukan abuse of power yang mengabaikan nilai etik dalam berpolitik, sulit melakukan supervisi daerah otonom dan lain sebagainya. Kemudian Pemerintah mengeluarkan kebijakan baru mengenai Otonomi Daerah, yakni dengan pemberlakuan UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintahan Pusat dan Daerah. Semangat yang terkandung dalam Undang-Undang tersebut tidak ditujukan untuk melakukan “resentralisasi” atas apa yang telah didesentralisasikan, namun lebih ditujukan untuk mengurangi dampak negatif dan menambah manfaat positif dari otonomi daerah sebagai salah satu agenda utama reformasi. Untuk membangun tata pemerintahan yang baik bagi kebaikan dan kesejahteraan rakyat, implementasi otonomi daerah perlu terus dicermati, dievaluasi dan disempurnakan.


masalah dalam pelaksanaan otono,i daerah adalah :

keinginan yang bertentangan antara pihak pemerintah pusat dan pihak pemerintah daerah.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar